Ritual Minum Darah dan Bersetubuh Raja Kertanegara

Arca Jokodolog, perwujudan Raja Kertanegara
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dody Handoko

VIVA.co.id - Berabad-abad silam, konon tertulis bila Raja Kertanegara dari Kerajaan Singasari tewas dibunuh oleh tentara Kerajaan Kediri dalam sebuah pesta besar.

Kala itu, Kertanegara bersama para patihnya didapati sedang berpesta pora. Mereka makan dan minum sebanyak-banyaknya, mabuk-mabukan hingga bersetubuh dengan para perempuan sepuasnya. Kertanegara pun lengah, dengan mudahnya mereka pun diserang oleh tentara Kediri.

Sesungguhnya apa yang dilakukan Kertanegara kala itu, adalah ritual biasa bagi penganut aliran Budha Tantra atau Tantrayana. Sebab itu mereka pun kerap menggelar upacara memuja Bhairawa.

Dalam praktiknya, upacara memuja Bhairawa mengharuskan penganutnya untuk melakukan ritual Pancamakarapuja. Yakni melakukan melakukan lima hal keharusan yang dikenal dengan sebutan Batara Lima atau Ma-Lima.

Ma-Lima, cukup fenomenal. Sebab semuanya 'terlarang', namun harus dilakukan sebanyak-banyaknya oleh penganutnya. Ma yang pertama adalah Mada atau menenggak minuman keras atau mabuk-mabukan.

Kemudian, ma yang kedua adalah Maudra atau melakukan tarian yang melelahkan hingga pingsan. Lalu, ma yang ketiga yakni Mamsa atau memakan daging mayat dan meminum darahnya.

Dan ma yang keempat yakni memakan ikan gembung beracun dan ma yang kelima adalah Maithuna atau bersetubuh secara berlebihan.

"Istilah Tantrayana ini berasal dari akar kata Tan, yang artinya memaparkan kesaktian atau kekuatan daripada Dewa itu. Di India penganut Tantrisme banyak terdapat di India Selatan dibandingkan dengan India Utara,” ujar Dani Maharsa, budayawan yang mempelajari tentang Tantrayana.

Berkembang Pesat

Ajaran 'kontroversial' sekte Tantrayana cukup banyak termuat dalam kitab. Di antaranya yakni Maha Nirwana Tantra, Kularnawa Tantra, Tantra Bidhana, Yoginirdaya Tantra, Tantra sara.

Penyebarannya pun cukup mengejutkan. Tercatat ajaran ini pernah berkembang luas hingga ke China dan Tibet selain di Indonesia.

Di Bali, Tantrayana pernah berkembang dalam bentuk Siwa Tantra atau lebih dikenal dengan Siwa Bhairawa.

Perkembangannya telah mulai terlihat sejak pemeritahan Raja Dharma Udayana Warmadewa yang didampingi permaisurinya Mahendradhatta sekira abad kesepuluh.

Dalam hal ini Mahendradhatta sebagai Calon Arang atau Rangda ing Girah bersama murid-muridnya sebagai penganut Tantrayana memuja Dewi Durga untuk mendapatkan ilmu gaib, kesaktian agar terkabul segala kehendaknya.

Cerita Calon Arang yang sangat terkenal di Bali dihubungkan dengan kehidupan Mahendradhatta. Di dalam Lontar Calon arang ada diuraikan bagaimana memuja Hyang Bhairawi atau Dewi Durga untuk mendatangkan wabah penyakit di dalam negeri Kerajaan Airlangga.
 
Calon arang dan muridnya menari-nari di atas mayat-mayat yang telah dihidupkan kembali untuk persembahan Dewi Durga sebagai korban agar semua kehendaknya bisa dikabulkan. Cara-cara seperti itu adalah hal yang biasa di dalam Tantrayana.
 
Dani menguraikan, pada masa pemerintahan Raja Sindok di Jawa Timur Tantrayana juga telah berkembang. Pada waktu itu telah disusun kitab Sang Hyang Kamahayanikan yang menguraikan soal-soal ajaran dan ibadah agama Budha Tantra.
 
“Sesudah abad ke XIV tidak terdapat bukti-bukti lagi mengenai perkembangan Tantrayana itu. Kemungkinan setelah mengalami perkembangan di Jawa, Sumatera, maupun di Bali, Tantrayana setelah abad XIV mengalami kemunduran bahkan punah,” katanya.