Peter Singer

Berderma di Tengah Krisis Global

VIVAnews - Saat promosi buku terbaru, "The Life You Can Save: Acting Now to End World Proverty," saya sering menerima pertanyaan seperti berikut: apakah waktunya saat ini tidak tepat untuk mengimbau negara-negara maju untuk meningkatkan bantuan kepada yang kurang mampu untuk mengatasi kemiskinan?

Dengan perasaan empati, tentu saya menjawab, "Tidak." Tak diragukan lagi bahwa ekonomi dunia sedang dirundung krisis. Namun, bila pemerintah atau individu menjadi krisis ini sebagai alasan untuk mengurangi bantuan kepada masyarakat miskin di negara-negara lain, mereka hanya menambah masalah.

Krisis keuangan telah memberi kerugian yang lebih besar kepada kaum miskin ketimbang kaum kaya. Kendati mengalami pukulan ekonomi dan psikologis saat mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), para penganggur di negara-negara maju masih mendapat jaminan pengaman sosial (JPS).

Mereka masih menerima pembayaran JPS sekaligus layanan kesehatan dan pendidikan gratis bagi keluarga dan anak-anak. Mereka juga masih bisa menikmati sanitasi yang layak dan fasilitas air bersih. 

Namun, fasilitas seperti itu tak bisa dinikmati rakyat di negara-negara miskin. Tingkat kematian di negara-negara miskin pada akhirnya meningkat menjadi sekitar 18 juta orang per tahun. Jumlah itu sudah melebihi jumlah korban tewas selama Perang Dunia Kedua (1939-1945) dan sebenarnya bisa dicegah. 

Menurut data UNICEF (lembaga PBB untuk masalah anak-anak), hampir 10 juta orang yang tewas akibat sebab-sebab yang sebenarnya bisa diantisipiasi adalah mereka yang berusia di bawah lima tahun. Mereka meregang nyawa akibat penyakit seperti campak, diare, dan malaria. Padahal penyakit-penyakit seperti itu bisa dicegah dan hanya memerlukan perawatan yang berbiaya murah.

Mungkin kita saat ini merasa menderita karena tidak bisa lagi menikmati taraf hidup seperti yang terjadi sebelum krisis keuangan global. Namun sebagian besar warga di negara-negara maju masih memiliki kehidupan yang lebih baik.

Masih bisakah kita membeli sebotol air mineral, sebotol bir, atau cegelas kopi saat air ledeng di rumah masih bisa diminum langsung dan tidak perlu bayar? Kalau iya, berarti itulah kemewahan yang tidak bisa dinikmati oleh miliaran orang miskin di belahan lain dunia. Mereka harus bertahan hidup sepanjang hari dengan uang yang nilainya setara dengan yang kita pakai saat membeli minuman di toko.

Satu alasan mengapa kita masih bisa menambah jumlah bantuan kepada mereka yang membutuhkan adalah dengan membandingkan anggaran yang telah kita keluarkan untuk keperluan lain. Keperluan itu justru merupakan hal yang kurang penting.

Contohnya, pemerintah Amerika Serikat (AS) menganggarkan sekitar US$22 miliar untuk bantuan luar negeri. Di sisi lain, warga Amerika secara pribadi menyumbang US$10 miliar. Bila digabung, total bantuan mencapai US$32 miliar.

Dibandingkan dengan program stimulus ekonomi yang dilancarkan Presiden Barack Obama Februari lalu sebesar US$787 miliar, angka 32 miliar bukan apa-apa. Bila dihitung-hitung, sama saja dengan menyisihkan 25 sen dari pendapatan US$100 setiap warga Amerika.

Sejumlah negara maju lainnya justru menyumbang lebih besar. Swedia, Norwegia, Denmark, Belanda, dan Luksemburg menyisihkan lebih dari 0,7 persen dari pendapatan domestik bruto (GDP) masing-masing. Artinya melebihi target yang dipatok Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kepada negara-negara maju dalam menyisihkan sebagain GDP mereka untuk bantuan luar negeri.

Namun, tetap saja angka 0,7 persen dari GDP (sama dengan 70 sen dari US$100) masih kecil dibandingkan dengan besarnya masalah-masalah moral yang kita hadapi saat ini.   

Bila kemiskinan ekstrim dibiarkan meningkat, masalah-masalah baru bisa bermunculan. Salah satunya yaitu meluasnya wabah penyakit dari satu negara ke negara lain karena pemerintah setempat tidak mampu memberi layanan kesehatan yang layak kepada rakyat mereka. Kemiskinan juga akan membuat banyak warga miskin memilih pindah ke negara makmur, baik secara legal atau ilegal.

Padahal, sekitar sembilan tahun lalu di Konfrensi Tingkat Tinggi Pembangunan Milenium di New York, para pemimpin 180 negara, termasuk dari kelompok negara maju, bertekad bahwa mulai 2015 jumlah orang miskin akan berkurang sampai 50 persen dan semua anak di dunia bisa menempuh pendidikan dasar. Komitmen-komitmen itu mereka susun dalam Tujuan Pembangunan Milenium.   

Namun, seiring perjalanan waktu, janji-janji mereka untuk mewujudkan Tujuan Pembangunan Milenium masih jauh dari kenyataan. Padahal, 2015 tinggal enam tahun lagi.   

Bila mengurangi bantuan, kita justru akan gagal memenuhi janji. Selain itu, negara-negara miskin lagi-lagi akan memetik hikmah bahwa negara-negara maju ternyata hanya bisa jago melontarkan retorika ketimbang beraksi dalam mengentaskan kemiskinan tingkat global. Situasi demikian tak akan bisa mendukung kerja sama antara negara maju dengan yang miskin dalam mengatasi tantangan-tantangan lain, khususnya perubahan iklim.  

Akhirnya, krisis keuangan global menelurkan hikmah bahwa kita harus meninjau kembali nilai-nilai dan prioritas dasar. Kita perlu menyadari bahwa yang penting bukanlah mendapatkan lebih banyak barang, melainkan lebih banyak keluarga dan sahabat. Selain itu, mengurangi dampak buruk kemiskinan global juga harus menjadi pertimbangan untuk mengkaji kembali nilai-nilai dan prioritas dasar kita. 

Peter Singer adalah profesor bioethics di Universitas Princeton, Amerika Serikat, dan penulis buku "The Life You Can Save: Acting Now to End World Poverty" yang bisa diakses di laman www.thelifeyoucansave.com. Artikel ini merupakan saduran dari laman Project Syndicate, 2009 (www.project-syndicate.org)

3 Jenderal Hantu Laut Pamit Tinggalkan Marinir, Salah Satunya Intelijen Kakap TNI
Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, saat memimpin pemusnahan 11 jenis komoditi impor ilegal dengan nilai pabean mencapai Rp 9,33 miliar, di wilayah Citereup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis, 28 Maret 2024.

Perdagangan Pakaian Bekas Impor Kembali Marak, Mendag Zulhas: Tunggu Tanggal Mainnya!

Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan alias Zulhas mengatakan, pihaknya kembali menyelidiki kembali maraknya perdagangan pakaian bekas hasil impor.

img_title
VIVA.co.id
28 Maret 2024