Ketua MK Akil Mochtar

"Kalau Saya Brengsek, Delapan Hakim Tak Pilih Saya"

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVAnews – Akil Mochtar terpilih sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pada 3 April 2013. Akil menggantikan Moh. Mahfud MD yang habis masa jabatannya pada 1 April. Sebagaimana Mahfud, Akil terpilih sebagai hakim konstitusi dari unsur Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bila Mahfud berangkat dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Akil tercatat sebagai anggota Partai Golongan Karya (Golkar).
KPU Tolak Tanggapi Tudingan Nepotisme Jokowi ke Prabowo-Gibran

Pria kelahiran Putussibau, Kalimantan Barat, 18 Oktober 1960 itu bergabung ke Partai Golkar pada era reformasi 1998. Maju sebagai calon anggota legislatif dari partai beringin, Akil langsung berhasil duduk sebagai anggota DPR periode 1999-2004.
Jelang Hari Raya Idul Fitri, Persediaan BBM di Bali Masih Aman

Akil yang maju dari daerah pemilihan Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat tempat ia dibesarkan, menang telak di dapilnya dengan mengantongi 80 persen perolehan suara. Ia pun duduk di Komisi II DPR yang membidangi pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur negara, dan agraria.
Tebar Berkah Ramadan 1445 H, Mandiri Group Santuni 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Karir politik Akil berlanjut di Pemilu 2004. Ia kembali terpilih menjadi anggota DPR untuk periode 2004-2009 dengan perolehan suara terbanyak dari dapil Kalimantan Barat. Pada periode kedua masa jabatannya di DPR, Akil kembali bersinggungan dengan bidang hukum. Ia menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR yang mengawasi persoalan hukum dan hak asasi manusia.

Duduk sebagai anggota DPR tak memuaskan Akil. Tahun 2007 ia mencalonkan diri sebagai calon gubernur Kalimantan Barat, namun kalah telak. Selanjutnya tahun 2008 ketika pendaftaran calon hakim konstitusi dibuka, Akil ikut mendaftar. Akil lolos. Dia berkiprah di MK. Sejak 30 Juni 2011, ia didaulat menjadi Juru Bicara Mahakamah Konstitusi.

Kiprah panjangnya sebagai politisi itu mengundang keraguan sejumlah pihak akan independensinya kala memimpin MK. Di antara kewenangan MK, mengadili sengketa hasil pemilu. Tak mengherankan bila ada yang mengkhawatirkan netralitasnya bila menangani perkara partainya.

Tak berhenti di situ, Akil memiliki beban berat melanjutkan kepemimpinan Mahfud MD yang dikenal sangat berpengaruh. Citra MK lekat dengan Mahfud saat menjadi ketua. “Saya dibilang dibawah bayang-bayang Mahfud. Tidak juga, saya punya karakter yang berbeda dengan beliau,” kata Akil menepis anggapan itu.

Seperti apa gaya Akil dalam memimpin MK, VIVAnews berkesempatan mewawancarainya pada 12 April 2013, di ruang kerjanya, lantai 15 Gedung Mahkamah Konstitusi. Berikut petikannya:

Anda  sempat aktif lama di Partai Golkar, sementara Anda akan memimpin MK sampai tahun 2015. Bagaimana menjaga independensi dan netralitas jika ada sengketa pemilu terkait Golkar?
Harusnya itu ditanyakan lima tahun lalu. Akil Mochtar itu begitu masuk di MK, tidak berapa lama kemudian langsung mengadili perkara Pemilu Legislatif. Sudah ratusan perkara pemilukada yang saya adili, mau itu Golkar atau partai lain, yang saya batalkan banyak, yang Golkar juga banyak.

Kalau saya tidak bisa menjaga netralitas atau saya dianggap orang yang tidak bisa menjaga diri, tidak mungkin saya dipilih menjadi Ketua MK oleh delapan hakim. Mereka itu orangnya pintar-pintar, objektif, rasional, dan semua guru besar. Kalau saya tidak netral kenapa mereka pilih saya.

MK itu lembaga yang independen. Harusnya itu ditanyakan lima tahun lalu. Kalau sekarang ini, sudah periode kedua saya menjabat sebagai hakim konstitusi. Lima tahun pertama itulah masa bagaimana orang bisa menilai apakah saya bisa objektif atau tidak, berpihak atau tidak.

Tapi banyak yang meragukan independensi Anda karena Anda berasal dari partai politik. Bagaimana Anda menanggapinya?
Kalau soal ragu sih jangankan orang, jin pun juga ragu barangkali (sambil tersenyum). Itu hak mereka untuk meragukan, silahkan saja.

Hakim MK itu dipilih oleh tiga lembaga (3 dari DPR, 3 dari Mahkamah Agung, 3 oleh Presiden). Lembaganya saja sudah lembaga politik, pasti ada proses politik disana. Lalu apa salahnya orang politik? Memang semua orang politik masuk neraka? Banyak politisi yang baik. Stigma itu ada karena politisi sekarang itu banyak yang bobrok, jadi image orang tidak bagus, padahal Anda jangan lupa, pendiri republik itu para politisi yang piawai semua. Bagaimana Soekarno, bagaimana Sjahrir, bagaimana Bung Hatta, itu politisi semua, bukan jenderal.

Saya menjadi anggota DPR tidak di masa DPR bobrok dan menjadi bulan-bulanan. Saya jusru jadi anggota DPR itu di zaman keemasan DPR. Periode 1999-2004, dan 2004-2009. Kita melahirkan UU KPK, UU PPATK, dan UU Pengadilan HAM, dan semuanya itu sekarang ini kita rasakan manfaatnya. Coba deh suruh DPR sekarang, tidak akan lahir itu Undang-undang, yang ada malah mau dipangkas.

Tapi, lumrah saja kalau masih ada yang meragukan seperti itu. Ketika masih 1,5 tahun lagi saya di DPR, tapi saya sudah cabut ke MK, Di tengah orang takut meninggalkan kenikmatan yang ada di DPR, saya justru meninggalkan itu.

Kita sudah berjuang sekian lama lalu merobohkan harkat dan martabat kita sendiri itu untuk apa. Saya itu miskin sudah sejak muda, SMP kelas 2 ayah saya bilang sudah tidak mampu lagi menyekolahkan saya, lalu mempersilahkan saya untuk maju merantau. Kalau orang yang berlatar belakang miskin itu biasanya tamak dengan harta, tapi itu moralitas, saya tidak diajarkan seperti itu oleh orangtua saya.

Saya mau cari apa? Anak saya dua, yang satu sudah kerja, rumah ada, fasilitas ada, makan gaji saja tiap bulan sebagai hakim itu cukup berlebihan luar biasa, masa saya mau korupsi. Lalu karir yang kita bangun bagaimana, hanya orang bodoh yang mau seperti itu. Tidak semua orang bisa duduk di posisi seperti itu masa kita mau merusak dengan hal-hal seperti itu.

Majalah Tempo sempat menulis nama Anda tersangkut dalam sejumlah kasus. Itu juga turut mempengaruhi keraguan orang terhadap Anda. Tanggapan Anda?
Majalah Tempo itu tidak pernah konfirmasi ke saya, tapi dia tulis, tapi itu hak dia. Kalau saya mau cerita jeleknya Tempo bagaimana mereka menginvestigasi saya, saya akan bongkar habis, tapi tidak apa-apa biarkan saja.

Yang minta saya diperiksa di Majelis Etik itu saya, lalu dibentuk tim investigasi. Saya bicara dalam RPH (Rapat Permusyawaratan Hakim) agar dibentuk tim investigasi. Berdasarkan hasil investigasi, saya tidak diketemukan atau tidak mempunyai bukti yang cukup, dan tidak memenuhi syarat untuk diajukan ke Majelis Etik Kehormatan. Tapi saya tidak mau dan saya tetap mau diajukan ke Majelis Etik Kehormatan walaupun saya tidak memenuhi syarat. Hasil pemeriksaan Majelis Etik saya tidak terbukti, yang terbukti hanya Arsyad.

Jadi kalau opini seperti itu menjadi tafsir kebenaran, saya tidak akan duduk di sini, saya tidak akan jadi Ketua MK. Kalau saya bobrok, kalau saya brengsek pasti delapan hakim yang lain tidak akan pilih saya.

Bagaimana peluang orang luar untuk menitipkan perkara ke MK?
Itu tidak mungkin, bagaimana caranya titip? Wong yang memutus perkara itu sembilan orang. Pilkada itu boleh diperiksa tiga orang, tapi yang memutus sembilan orang, makanya sidang putusannya harus sembilan orang. Kalau soal titip perkara itu saya jamin tidak mungkin bisa.

Selama Anda menjabat apa ada orang partai yang mendekati untuk melobi perkara?
Tidak ada. Teman-teman partai itu ketika Pak Mahfud menjadi ketua lebih nyaman bertandang ke ruang Pak Mahfud daripada ke ruangan saya karena memang saya minta kepada mereka untuk tidak bertemu saya di MK. Kalau bertemu di luar untuk ngopi-ngopi ramai-ramai di tempat umum dan semua orang lihat itu boleh, itu kan pertemanan.

Saya membatasi bertemu di MK itu untuk mernjaga image supaya orang tidak berprasangka buruk. Itu salah satu trik saya untuk menghindar. Menghindar itu dalam arti menjaga semuanya. Itu juga sebenarnya upaya kita untuk membatasi persoalan-persoalan yang ada.

Buat saya itu tidak ada intervensi, tidak ada tekanan, yang ada itu godaan. Karena godaan itu banyak datang karena setannya banyak. Godaan itu ada saja tapi kita harus bisa melewati itu semua. Kalau sudah godaan itu kan berkaitan dengan mental, berkaitan dengan orang dan kemampuan kita, mampu atau tidak kita menahan godaan itu.

Sebagai Ketua MK, bagaimana Anda mengontrol seluruh pegawai di MK agar mereka tidak bermain perkara?
Kita kan punya sistem, sistemnya itu dibangun. Berperkara di MK itu tanpa biaya, cepat, dan tepat waktu. Itu salah satu hal untuk mengeliminir peluang seseorang memainkan perkara. Jangan perkaranya bertele-tele, putusannya lama, nanti masuk angin tuh, orang bisa jual putusan, putusan bisa diubah-ubah oleh orang.

Oleh karena itu ketika MK memutus perkara, kiri kanan itu bisa langsung dibaca, hasil langsung diserahkan ke pihak-pihak, dan 15 menit kemudian muncul di website: mahkamahkonstitusi.go.id.

Begitu hakim konstitusi memutus perkara itu langsung di-keep. Misalnya sidang putusan siang hari, jam 09.00 pagi masing-masing hakim konstitusi baru memberikan berkas putusan untuk diketik. Dia (panitera) sudah tidak bisa lagi menghubungi pihak berperkara. Sistem peradilan modern itu mengikis hal-hal  seperti itu. Dengan hakim yang independen, mahkamahnya modern, teknologinya mendukung, stafnya harus diperbaiki, itu saya jamin tidak ada yang bermain perkara.

Menjaga independensi hakim itu penting, menjaga independensi lembaga MK itu penting. Kita kan tidak mau terulang lagi kasus surat palsu. Tapi penting juga staf-staf itu diperhatikan. Kalau satu orang saja bikin masalah semua orang kena, bukan hanya hakimnya.

Bagaimana kalau staf di MK yang memainkan perkara?
Tidak semua staf berhubungan dengan perkara, itu hanya panitera saja, Cuma 20-25 perkara. Di luar itu tidak ada hubungannya dengan perkara, mereka hanya berhubungan dengan administrasi. Kalau  ada yang percaya staf MK dapat menjanjikan perkara itu hanya orang bodoh saja yang percaya.

Ke depan MK mau seperti apa?
Saya tidak akan one man show karena bagi saya sembilan hakim itulah yang menentukan di MK ini. Karena MK itu dinilai dari produknya yaitu putusan, bukan omongan saya sebagai ketua. Saya tidak mau menonjol-nonjolkan diri. Di dalam MK ini ada sistem kalau itu tidak diperhatikan akan hancur. Kalau hanya mencari popularitas itu tidak usah di MK, kalau mau populer ketika saya menjadi anggota DPR saya bisa saja setiap hari cuap-cuap kan nanti diuber-uber wartawan. Orang tahunya saya orang Golkar, tapi orang tidak tahu saya berkali-kali mengancam minta berhenti dari Golkar.

Banyak yang meminta Anda tidak banyak bicara di media selaku ketua MK, seperti pendahulu ketua MK. Anda keberatan?
Memang saya tentu membatasi diri untuk berbicara, tapi untuk isu-isu yang dianggap perlu dan berkaitan dengan kelembagaan MK tentu saya akan bicara. Kalau menyangkut perkara kita sudah punya komitmen untuk merapatkan dulu dengan sembilan hakim.

Akan lebih baik kurang berbicara, banyak bekerja, dan hasilnya nyata, semua orang gembira dan lembaganya bagus. Kita harus menjaga diri untuk tidak terlalu banyak bicara. Memang saya membatasi diri untuk tidak terlalu banyak bicara.

Citra MK lekat sekali dengan Mahfud MD. Bagaimana Anda mengubahnya?
Itu tidak perlu diubah. MK-nya kan tidak ada cap Mahfud-nya, yang ada Mahkamah Konsituti RI. Mahfud is Mahfud, Akil Mochtar is Akil Mochtar, orang punya karakter masing-masing, saya juga punya cara dan strategi untuk membawa mahkamah ini untuk menjadi lebih baik. Saya on the track, tidak one man show, itu strategi saya.

Silahkan Pak Mahfud dengan nama besarnya berjalan untuk menjadi lebih besar lagi, itu memang kelebihan Mahfud. Kita sebagai manusia pasti ada kelebihan dan kekurangan. Saya dibilang di bawah bayang-bayang Mahfud, tidak juga, saya punya karakter yang berbeda dengan beliau. (eh)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya