Penerima SK Trimurti Award 2015, Hana Salomina Hikoyabi

Kebenaran Tak Berjenis Kelamin

Hana Salomina Hikoyabi
Sumber :
  • Dokumen Pribadi/Dokumen Pribadi

VIVA.co.id- Nama lengkapnya Hana Salomina Hikoyabi. Wanita yang biasa dipanggil Hana ini merupakan perempuan aktivis dari Papua yang lahir pada 7 Juni 1966. Ia pernah menjadi Wakil Ketua II Majelis Rakyat Papua pada medio 2006-2011.

Papua Bangun Kompleks Olahraga Mewah untuk PON 2020

Selain menjadi aktivis, Hana juga mendirikan dan menjadi pemimpin Tabloid Suara Perempuan Papua (TSPP). Melalui TSPP, ia banyak menyuarakan keanekaragaman hayati, penolakan kekerasan terhadap perempuan, pembelaan terhadap orang dengan  HIV/AIDS (ODHA) dan keadilan HAM bagi Papua.

Hana tak gentar mengambil risiko dan mempertaruhkan nyawanya demi kecintaannya kepada Indonesia. Ia terus berjuang dengan menulis sebagai salah satu medium pergerakan. Melalui TSPP, Hana mengubah cara pandang perempuan maupun laki-laki di Papua soal pentingnya kesetaraan gender. Tak hanya itu, lewat jurnalistik, ia juga mendorong masuknya aturan keterwakilan perempuan 30 persen di parlemen.

Selundupkan Kayu, 8 Warga Papua Nugini Dicokok TNI AL

Ketekunan dan konsistensinya memperjuangkan hak perempuan dan anak di Papua, membuat ia diganjar sebuah penghargaan bergengsi dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yakni SK Trimurti Award. Penghargaan yang digagas AJI sejak tahun 2008 ini merupakan upaya penghormatan terhadap perjuangan perempuan. Anugerah ini merupakan penghormatan terhadap pahlawan nasional perempuan, yang juga  jurnalis perempuan Indonesia pertama: Soerastri Karma (SK) Trimurti.

AJI memberikan anugerah ini khusus kepada perempuan yang memperjuangkan demokrasi, HAM dan kebebasan pers di Indonesia. Juga menjadi  bagian dari upaya AJI  dalam mendorong kesetaraan gender di media massa.

Pendidikan di Kawasan Indonesia Timur Masih Timpang

Jurnalis VIVA.co.id, Khalisotussurur menemui dan melakukan wawancara dengan dengan aktivis dari Bumi Cenderawasih ini. Wawancara dilakukan di sela-sela acara resepsi HUT ke -21 AJI di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu. Brikut petikan wawancaranya:

Perasaan Anda menerima penghargaan SK Trimurti ini?

Sejak 2004 sampai sekarang kami melakukan kerja-kerja advokasi. Penghargaan ini menjadi sesuatu yang memberikan penguatan pada kami. Karena kami merasa tak sendiri bekerja untuk sebuah kebijakan dan kerja yang mendorong keberpihakan kaum yang termarjinalkan seperti perempuan dan anak-anak.

Kami mendapatkan kesempatan diberikan penghargaan. Berarti negara, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan pers ikut mengakui kerja-kerja kami dalam keberpihakan pada perempuan dan anak-anak di Indonesia.

Anda sangat gigih memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak, alasannya?

Sejak Orde Lama, dan Orde Baru, ada pemberlakuan otonomi khusus di Papua. Namun, keberpihakan terhadap perempuan dan anak dalam konteks pembangunan sangat kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Kami bertekad melakukan sesuatu agar dapat membantu advokasi. Kami gunakan media sebagai alat merangkai suara perempuan dan anak untuk mempengaruhi perubahan kebijakan dan pembangunan di Papua.

Sebenarnya bagaimana kondisi perempuan di Papua?

Kondisi perempuan jauh dari yang diharapkan. Masih banyak ketertinggalan seperti pendidikan. Karena akses pendidikan kurang, kesehatan juga kurang mendukung, dan juga pemberian jabatan yang sangat terbatas untuk perempuan. Perempuan kurang dipromosikan untuk jabatan tertentu. Padahal, perempuan dan anak adalah dua sosok yang memiliki peran penting dalam mendukung pembangunan agar generasi ke depan bisa maju, sehat, kuat, dan cerdas.

Bagaimana kondisi pendidikan di Papua saat ini?

Kalau untuk pendidikan sekarang sudah mulai agak baik. Perhatian mulai ada. Kita lihat dari keadaan sebelumnya, baik dalam struktur adat dan masyarakat peluang ternyata lebih diberikan pada laki-laki. Kondisi ini ada dimana-mana. Kita di Papua juga merasakan seperti itu. Misalnya di lembaga legislatif, nyatanya laki-laki menguasai semua.

Apa yang Anda lakukan untuk memperbaiki kondisi tersebut?

Melalui advokasi kita mendorong perubahan paradigma dan mindset dari pengambil kebijakan untuk membuka diri dan memahami sesungguhnya apa yang kita lakukan adalah sesuatu yang perlu didengar. Sehingga perubahan kebijakan berpihak terhadap perempuan.

Contoh konkrit advokasi yang Anda lakukan?

Kita bermain di media dan advokasi, mempengaruhi opini masyarakat untuk memberikan dukungan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dan perempuan tidak ketinggalan dengan laki-laki karena punya intelektual yang sama dan kepangkatan yang sama. Kenapa tidak diberikan proporsi yang sama dengan laki-laki?  Dengan hadirnya otsus di Papua, maka hadir lembaga kultural, maka kita lihat ada prosentase yang tegas.

Maksudnya?

Komponen perempuan 14 persen, adat 14 persen, agama 14 persen. Dari undang-undang (UU) sudah memberikan peluang untuk perempuan. Maka harus kita manfaatkan dengan baik. Hadirnya UU Otsus dan peraturan pemerintah Nomor 54 yang mengatur Papua dan prosentase, kita melihat ini ada jalan yang terbuka untuk perempuan bisa memanfaatkan peluang untuk mengembangkan diri dan menguatkan agar pintu-pintu lain bisa kita buka melalui advokasi lewat media.

Mengapa Anda memilih jalur media?

Karena untuk mengubah suatu paradigma berpikir dan kebijakan yang terlalu kaku, kekuatan media sangat hebat. Melalui media kami memberikan proses pembelajaran dan kepercayaan untuk jabatan tertentu harus bekerja dengan baik dan teladan. Sehingga para pembuat keputusan yang banyak laki-laki dapat meyakini kita sudah memberikan kesempatan pada perempuan dan mereka berhasil.

Selain menerbitkan tabloid, apa lagi yang Anda lakukan?

Kita juga lakukan focus group discussion (FGD) dengan masyarakat setempat dan aktivis. Kita ambil dari representasi aktivis HAM, aktivis gereja, dan perempuan PNS. Pesertanya bukan saja perempuan, hampir lebih banyak laki-laki. Mereka justru bicara lebih gigih.  Semua level kita libatkan.

Apa hasil nyata dari advokasi yang Anda lakukan?

Gereja Kristen Indonesia di Papua selama 50 tahun tidak ada pemimpin perempuan. Lewat advokasi media, kita pancing masyarakat dengan menurunkan laporan utama tentang perempuan di gereja. Karena ada sidang untuk memilih kandidat. Maka opini kita memengaruhi masyarakat di tempat pemilihan dan strategi yang dibuat perempuan naik khotbah hari Minggu. Khotbah sudah dipersiapkan, begitu masyarakat di gereja mendengarkan, malam itu juga pemilihan.

Lalu?

Kita cetak tabloid 3 kali. Tiap minggu berturut-turut kita jadikan sebagai laporan utama. Perempuan di gereja saat itu menyepakati siapa yang tampil agar suara tidak pecah. Itu dilakukan dan keterwakilan kami menjabat dua periode sebagai wakil ketua. Ada aliran gereja perempuan tidak boleh berkhotbah. Kita lakukan advokasi sekarang. Kebenaran kan tidak berjenis kelamin.

Anda hanya fokus memperjuangkan hak anak dan perempuan?

Kami angkat juga seni dan budaya masyarakat yang kurang diberikan perhatian dari pemerintah. Mereka punya kekayaan tapi kurang dipromosikan menjadi sesuatu yang menarik. Kita lakukan satu gelaran festival. Jadi perempuan dan anak dilibatkan dengan tampilan adat masing-masing. Itu sungguh luar biasa perempuan memberikan respon dan laki-laki juga ikut terlibat gerakan itu.

Festival seni budaya tiap tahun?

Sejak 2005. Tidak setiap tahun karena hampir dari kita semua ini menyebar kemana-mana. Sekarang di Kabupaten Jayapura dengan pemicu yang kita buat. Mereka sekarang tiap tahun selalu buat Festival Danau Sentani. Jadi kita sudah buat pemicu untuk pemerintah ini suatu peluang yang baik sebagai promosi wisata untuk mengangkat dan penguatan masyarakat komunitas terhadap jati diri mereka.

Darimana ide menggelar festival budaya?

Karena masyarakat kurang memiliki aktivitas, mereka tidak bisa menyalurkan kreativitas. Kita lihat ini suatu kondisi yang harus didorong supaya pemerintah membuka ruang supaya masyarakat bisa melakukan inovasi dengan apa yang mereka punya. Maka festival itu hadir.

Selain itu?

Kami juga melakukan capacity building. Kita buka pengumuman untuk mahasiswa, siapa yang minat, kita didik jadi penulis dan wartawan perempuan sejak 2004. Sampai menulis satu berita, kita periksa bagaimana berita ini punya bobot perspektif gender dalam satu berita.

Mengapa Anda memilih jalur jurnalistik untuk memperjuangkan hak perempuan?

Perempuan banyak yang bodoh dan kita lebih melekat pada budaya tutur. Lalu kita gunakan media dan berikan pelatihan. Jadi apa yang kau lihat, alami, dan ada di sekitarmu, tulis dan angkat itu menjadi sebuah berita dan keadaan yang bisa memengaruhi orang lain. Hal seperti itu masih belum banyak di Papua. Dengan galang advokasi seperti ini kami galang partisipasi perempuan di kampus. Dosen perempuan jadi penulis opini di tabloid kami, aktivis perempuan, penulis yang kita latih perempuan untuk jadi pemimpin reaksi dan berjalan baik.

Selain tabloid?

Kita juga tulis buku. Kita juga bagi-bagi buku ke kampung-kampung yang jauh dari kota. Kampung-kampung tersebut memiliki anak usia sekolah yang belum dapat perhatian baik dari pemerintah. Jadi kita beli buku dan buat taman-taman bacaan.

Apa kendala yang dihadapi dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di Papua?

Tabloid baru berdiri 6 Agustus 2004. Sebelumnya ada pemberlakuan otonomi khusus (otsus) 2001. Satu tahun kita sudah berdiri dan advokasi, di 2005 ada pembentukan Majelis Rakyat Papua lewat kewenangan otsus. Mereka pilih majelis rakyat Papua seperti Aceh Kano dan MRP. Karena advokasi kita begitu kuat, para aktivis perempuan mendorong saya untuk masuk menjadi anggota MRP.

Saat itu saya juga PNS. Saat masuk untuk pencalonan MRP mendapat perlawanan dari laki-laki. Mereka lakukan demo terang-terangan. Saya berdiri hadapi. Mereka turun berdemo meminta saya harus turun. Saya beli minum, kasih minum mereka. Tapi mereka tidak tahu yang mana saya. Saya di kampung sendiri mendapatkan perlawanan. Tapi akhirnya setelah tahu Hana yang mana dan diprovokasi. Saya masuk terpilih menjadi wakil ketua.

Ada penolakan?

Ada perlawanan karena saya perempuan. Harusnya laki-laki yang masuk. Tapi dengan dukungan aktivis, saya komunikasi, rapat. Kita maju. Pemilihan mulai dari kampung, saya lolos sampai tingkat distrik. Di distrik kita dapat perlawanan sampai akhir tingkat kabupaten pun dapat perlawanan. Tapi kita terus konsolidasi.

Pandangan Anda, bagaimana keberpihakan pemerintah terhadap hak-hak perempuan di Papua?

Saya lihat ada satu perubahan yang cukup baik dalam pemberlakuan kewenangan otsus. Ada prosentase tegas yang diatur dalam peraturan daerah khusus (Perdasus) untuk perempuan di kampung-kampung. Pembagian dana ada sekian persen untuk perempuan. Hanya implementasinya tidak seperti itu. Dari Rp100 juta terdapat Rp15 juta untuk perempuan. Tapi kadang diberi dan kadang tidak diberikan pada kaum perempuan. Aturannya jelas. Tapi prakteknya belum sepenuhnya menjadi gerakan yang positif untuk perempuan. Belum 100 persen terwujud.

Saat ini menteri PPPA berasal dari Papua. Apakah itu ada dampaknya bagi gerakan kesetaraan gender di Papua?

Sangat berpengaruh. Karena penentuan menteri yang selalu terwakilkan adalah laki-laki. Tapi kali ini ada kesepakatan keterwakilan perempuan di kementerian. Itu suatu kehormatan yang luar biasa bagi perempuan. Di mana struktural formal ini penghargaan luar biasa bagi perempuan di Papua dan penghormatan terhadap pergerakan yang kami lakukan. Jadi kami sangat berterima kasih ada penghargaan yang besar pada perempuan Papua dalam Kabinet Kerja.

Anda juga tercatat sebagai aktivis HAM?

Kondisi wilayah Papua tidak berbeda dengan wilayah lain. Sehingga dalam advokasi yang kami lakukan memang banyak bersentuhan dengan kekerasan terhadap perempuan dan keterlibatan perempuan untuk menjadi penengah dan juru damai. Bagaimana perempuan mengambil peran sebagai juru damai dalam situasi konflik.

Caranya?

Pendekatannya persuasif dan pelan. Kita bicara duduk di para-para, bicara dengan damai, jangan angkat senjata, jangan angkat panah, jangan angkat parang, tapi mari bersuara di para-para dengan damai.

Perempuan di Papua berperan sebagai juru damai?

Kami dalam koalisi kerja ada aktivis-aktivis yang sudah pernah belajar seperti di Finlandia. Mereka belajar soal teori konflik. Mereka punya ilmu itu. Para aktivis dengan talenta masing-masing, kami punya ini, maka kami dorong untuk resolusi konflik dan transfomasi. Kita kumpulkan istri kepala suku. Duduk dengan mereka dan bicara, apa hak-hak yang bisa kita bantu dan perkuat untuk bisa kuatkan perempuan di kampung.

Apa harapan Anda pada pemerintah?
Kalau kita melihat dari regulasi sudah cukup banyak UU yang memberikan perlindungan pada perempuan dan anak. Namun, implementasi dan perubahan mindset pemerintah sebagai pengambil kebijakan harus terus disuarakan, sehingga para penentu kebijakan memiliki paradigma berpikir yang menentukan kebijakan yang tidak keluar dari UU. Kesetaraan, keberpihakan yang tegas dan jelas dapat dilakukan secara sadar dan pada akhirnya kita menuju masyarakat yang adil di mana perempuan dan laki-laki duduk bersama memberikan keputusan bersama yang adil bagi perempuan, laki-laki dan bagi anak.

Harapan Anda sendiri?

Kami tidak akan berhenti untuk memperjuangkan keberpihakan pada perempuan. Kami harap ini bukan akhir untuk berjuang. Kami suarakan terus. Ini harus ada keberlangsungan yang terus menerus. Sehingga ada penyadaran bagi masyarakat dan ada generasi yang cerdas dan kuat yang terlahir dari kondisi yang baik. (umi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya