SBY: Sulit Atasi Lonjakan Harga Kedelai

Presiden SBY pidato di depan para dubes
Sumber :
  • Dok. Kementerian Luar Negeri

VIVAnews - Melonjaknya harga kedelai di pasar mendapat perhatian khusus dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurutnya, pemerintah sulit mengendalikan harga bahan baku tahu dan tempe itu karena sebagian besar berasal dari impor.

"Kalau kenaikan itu berkaitan dengan Ramadan, seasonal price itu terjadi setiap tahun. Tapi yang saya sampaikan lebih dari itu, ada kenaikan harga komoditas global," kata SBY saat membuka rapat kabinet paripurna membahas RAPBN 2013 di Kantor Presiden, Jakarta 26 Juli 2012.

Menurut SBY, kebutuhan kedelai dalam negeri sekitar 2,2 juta ton. Sementara, produksi dalam negeri hanya sekitar 800-850 juta ton tiap tahunnya. "Sehingga nettnya besar 1,1 juta ton kedelai," ujarnya.

SBY menjelaskan, terganggunya pasokan kedelai di pasar global disebabkan kekeringan yang melanda negara penghasil kedelai terbesar, Amerika Serikat. Akibatnya, harga kedelai di pasaran Indonesia juga ikut terkatrol naik.

SBY menuturkan, akibat terganggunya pasokan itu, harga kedelai yang biasanya berkisar pada Rp5 ribu hingga Rp6 ribu tiap kilogramnya kini melonjak menjadi Rp7 ribu hingga Rp8 ribu. Lonjakan harga itu telah memukul perajin tahu dan tempe.

Namun, tambah SBY, pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan jangka pendek dan menengah untuk menyikapi lonjakan harga kedelai di pasaran tersebut. Untuk jangka pendek, pemerintah menghapus bea masuk impor yang besarnya emncapai 5 persen.

5 Orang jadi Tersangka Baru Korupsi Timah, Siapa Saja Mereka?

"Menyangkut sasaran jangka meneganah, kita harus meningkatkan produksi dalam negeri," ujarnya. Peningkatan produksi itu, SBY minta BUMN Pangan merevitalisasi diri. Menurutnya, Bulog juga harus direvitaslisasi untuk bisa berperan dalam stabilisasi harga. (adi)

Ilustrasi resesi ekonomi/ekonomi global

Ekonomi Global Diguncang Konflik Geopolitik, RI Resesi Ditegaskan Jauh dari Resesi

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) menyebut, risiko RI masuk ke jurang resesi masih jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara lain.

img_title
VIVA.co.id
27 April 2024