BPK: Sistem Akuntansi RI Belum Beri Hasil bagi Masyarakat

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan RI Harry Azhar Aziz.
Sumber :

VIVA.co.id – Sistem akuntansi adalah prosedur untuk mencatat dan melaporkan informasi keuangan suatu perusahaan. Sementara itu, dalam pemerintahan, sistem akuntansi mampu memberikan output data terkait jumlah masyarakat miskin yang ada di Indonesia.

Risiko Salah Urus Anggaran COVID-19, BPK: Korupsi Hingga Pemborosan

Namun sayangnya, sistem tersebut hingga saat ini belum mampu memberikan outcome.

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Harry Azhar Azis, menjelaskan, outcome yang dimaksud adalah kebijakan yang diberikan kepada pelaku atau kuasa anggaran di tingkat pemerintahan tersebut hingga saat ini belum bisa dirasakan.

Alasan Deputi Penindakan KPK Sambut Ketua BPK saat Diperiksa

"Contohnya adalah saat seorang bupati baru dilantik, terhitung ada 1.000 masyarakat miskin di daerahnya. Tetapi saat diangkat dan menjabat, total masyarakat miskin menjadi 1.500 orang. Di mata saya, bupati itu sudah gagal,” ujar Azhar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Selasa 21 Februari 2017.

Namun, dia menjelaskan, bupati itu masih ikut mencalonkan diri pada pemilihan bupati berikutnya dan ada kemungkinan terpilih lagi.

Anggota: Hasil Pemeriksaan BPK Sering Dipakai Peras Kepala Daerah

Menurut dia, dengan sistem akuntansi demikian, maka di Indonesia baru mampu menilai sebuah proses dan output jumlah masyarakat miskin serta pendataan masyarakat lainnya. Namun, sistem itu belum mampu memberikan outcome berupa kebijakan dari pemerintah untuk melarang bupati tersebut mencalonkan diri lagi. 

Harry menambahkan, pada Pasal 23 Undang Undang Dasar 1945, disebutkan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dilaksanakan secara terbuka serta bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Harry, pasal tersebut ditujukan untuk menciptakan rakyat yang sejahtera, dengan dihitung dari pendapatan per kapita Indonesia setiap tahunnya.

"Bila dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia, pada tahun 60-an, pendapatan per kapita Indonesia tidak jauh berbeda dengan kedua negara tersebut. Namun, sekarang pendapatan Malaysia sudah berada di angka US$15 ribu, Singapura US$50 ribu, sedangkan Indonesia masih sekitar US$4.700 per tahun," tuturnya.

Dari segi ketersediaan lapangan kerja, Harry menyebutkan ada kurang lebih 2.000 tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Malaysia.

"Itu berarti 2.000 lapangan pekerjaan di Indonesia tidak disediakan atau kurang menarik, sehingga mereka lari ke Malaysia,” ujar Harry. 

Sementara itu, jumlah ketimpangan di Indonesia juga merata. “Jika mengacu pada teori kesejahteraan, seharusnya tidak boleh ada kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan," kata dia.

Harry berharap bahwa jumlah kemiskinan dan pengangguran di Indonesia mampu ditunjukkan pada sistem akuntansi, sehingga masyarakat dapat mengukur tingkat kesejahteraan di Indonesia.

"Ini yang harus jadi perhatian para akuntan saat ini dan di masa datang. Terdatanya masyarakat miskin dan pengangguran akan menunjukkan apakah Indonesia sejahtera atau tidak,” katanya. 

Kemudian, diharapkan pemerintah juga mampu membuat kebijakan berupa outcome atas data atau output yang diberikan oleh sistem akuntansi tersebut. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya