Mi Instan Indonesia Jadi Idola di Nigeria

Suasana pasar di Nigeria
Sumber :
  • REUTERS/Akintunde Akinleye

VIVA.co.id – Pemerintah Indonesia terus melakukan ekspansi perdagangan ke pasar Afrika. Salah satunya, adalah ke Nigeria yang dianggap cukup potensial.

Neraca Perdagangan Januari Surplus, BI: Positif Topang Ketahanan Eksternal Ekonomi RI

Menteri Luar Negeri Rento Marsudi, usai melakukan kunjungan ke negara di benua Afrika itu mengatakan, sudah bertemu sejumlah pengusaha Indonesia di mana mereka sudah menguasai pasar Afrika itu.

"Saya juga melakukan pertemuan dengan 14 perusahaan Indonesia yang sudah beroperasi di Nigeria dan sebagian besar dari mereka itu pasarnya akan menguasai pasar dari produk-produk itu," kata Retno, di Istana Negara, Kamis 8 Juni 2017.

Neraca Perdagangan RI Surplus, BI: Topang Ketahanan Eksternal Ekonomi Indonesia

Adapun dari produk-produk yang telah menguasai pasar, menurut Retno adalah produk Indomie. Dengan kemasan yang lebih besar, produk mi instan ini sudah menjadi idola.

"Dan ini menggambarkan pasar kita cukup besar di sana, prospeknya cukup baik," ujar Retno.

Neraca Perdagangan Oktober Surplus, BI: Topang Ketahanan Eksternal Ekonomi

Selain itu, kerja sama melalui PT INKA dengan pemasaran gerbong kereta api maupun bidang minyak juga cukup bagus. Hanya saja persoalannya selama ini, masih melalui pihak ketiga.

Retno mengatakan, itu juga terjadi dalam hubungan perdagangan antara Indonesia dengan negara-negara lainnya. Maka pihaknya sudah melakukan pertemuan dengan Nigeria dan pihak pemerintah, agar bisa langsung antar negara, tanpa perantara.

"Oleh karena itu kemarin sampai kepada acting (pelaksana tugas) presidennya beliau setuju bahwa untuk perdagangan ini sebaiknya kita jajaki perdagangan yang sifatnya langsung sehingga akan memotong dan dari segi harga juga," jelasnya. 

Di Nigeria, lanjut Retno, juga sudah dilakukan penandatanganan antara Garuda untuk maintenance facility dengan salah satu perusahaan penerbangan di negara tersebut. Menurut Retno, ini sangat prospek.

"Nilainya US$3,4 juta untuk dua tahun dan menurut rencana akan dilanjutkan lagi. Jadi itu salah satu hasil yang kelihatan konkret dan yang kelihatan sangat potensial untuk dapat ditindaklanjuti," jelas Retno.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya