Ekspor Konsentrat Direlaksasi, Smelter Dalam Negeri Merugi

Kegiatan di dalam smelter. (Ilustrasi)
Sumber :
  • Guardian

VIVA.co.id – Indonesian Resources Studies (IRESS) menilai relaksasi ekspor konsentrat dan mineral mentah kadar rendah yang dilakukan pemerintah melanggar ketentuan Undang-undang Minerba No 4 tahun 2009 sehingga pantas untuk dibatalkan. 

Percepatan Pelarangan Ekspor Nikel Momentum Tepat Perkuat Pasar RI

IRESS beranggapan bahwa dampak dari relaksasi ekspor itu juga tengah dirasakan kalangan industri yang sejatinya telah konsisten mengimplementasikan kebijakan hilirisasi mineral dengan membangun smelter atau pengolahan. 

Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara mengatakan, akibat kebijakan itu beberapa perusahaan smelter terancam gulung tikar. Bahkan, lanjut dia, rencana investasi ke depan, menjadi tidak menentu karena perubahan kebijakan yang signifikan dan hanya menguntungkan pihak tertentu. 

Freeport Dapat Izin Ekspor Konsentrat hingga 2019

"Semula publik menaruh harapan besar kepada pemerintahan Jokowi yang konsisten menjalankan UU Minerba. Namun memasuki tahun ketiga pemerintahan, harapan tersebut mulai memudar terutama dengan terbitnya tiga peraturan itu," kata Marwan di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta, Kamis 20 Juli 2017. 

Ia menguraikan, ketiga aturan itu antara lain adalah Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2017, dan dua aturan turunannya yaitu, Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 tahun 2017 dan Permen ESDM Nomo 6 tahun 2017. 

Pemerintah Izinkan Freeport Ekspor Konsentrat Lagi

Menurut Marwan, ketiga aturan ini pada dasarnya mengizinkan kembali ekspor konsentrat tembaga dan mineral mentah kadar rendah untuk bauksit dan nikel. 

"Penerbitan aturan tersebut melanggar UU Minerba, kami sangat prihatin dan kecewa dengan sikap pemerintah ini, karena IRESS pun ikut bergabung mengajukan uji materil bersama Koalisi Masyarakat Sipil atas peraturan-peraturan tersebut ke mahkamah agung pada akhir maret lalu," kata dia. 

Ia melanjutkan, kebijakan hilirisasi mineral merupakan amanat dalam pasal 33 UUD 1945 yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga, hal ini dapat dianggap sebagai pembangkangan terhadap amanat konstitusi. 

Menurut pasal 7 UUD 1945, lanjut dia, pelanggar konstitusi harus diproses secara politik oleh DPR untuk diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diproses secara hukum. 

Namun, lanjut dia, sejauh ini tidak terdapat tanda-tanda bahwa proses itu akan ditempuh oleh DPR.  "Terlepas dari kecilnya prospek proses politik di DPR, kita pantas mengingatkan pemerintah tentang besarnya kerugian yang dialami negara dan rakyat akibat terbitnya PP relaksasi tersebut," kata dia.

"Hal yang paling mendasar adalah kerugian dari hilangnya kesempatan memperoleh nilai tambah berlipat-lipat dari kegiatan smelting dalam negeri dan hilangnya kesempatan lapangan kerja bagi jutaan rakyat yang saat ini banyak menganggur," ujar dia. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya