E-Commerce Pun Dituding Gerus Pengusaha Jamu

Logo jamu merek Nyonya Meneer.
Sumber :
  • njonjameneer.com

VIVA.co.id – Sepak terjang perusahaan jamu legendaris, PT Nyonya Meneer berakhir pahit. Pengadilan Tinggi Semarang, Jawa Tengah beberapa waktu lalu menetapkan perusahaan yang berdiri sejak 1919 itu pailit, lantaran dianggap tak mampu membayar total utang kepada sejumlah kreditor.

Rahmat Gobel Tak Selamatkan Nyonya Meneer dengan Akuisisi

Lantas, bagaimana perkembangan industri jamu di tengah perkembangan era teknologi?

Ketua Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia Dwi Ranny Pertiwi saat berbincang dengan VIVA.co.id mengakui industri jamu saat ini tengah terpukul. Maraknya pelaku e-commerce yang menjualbelikan produk jamu ilegal, akhirnya menggerus industri.

Utang Nyonya Meneer Membengkak Hingga Rp250 Miliar

“Dua tahun ini memang kami kerepotan. Sekarang industri masih berbenah. Tahun 2014 itu, pelaku usaha jamu ada 1.200. Sekarang tinggal 900,” kata Dwi, Jakarta, Selasa 8 Agustus 2017.

Kalangan pengusaha jamu memandang, ada beberapa e-commerce yang menjualbelikan produk jamu melalui media sosial yang tidak sesuai dengan standarisasi yang ditetapkan alias ilegal. 

Pengacara Sebut Utang Nyonya Meneer ke Karyawan Rp98 Miliar

Hal ini semakin diperparah dengan distribusi penjualan jamu melalui media sosial yang tidak diawasi oleh regulator terkait.

"Kami diawasi, nah yang iklan bombastis di media sosial itu bisa bebas? Maksud kami, yang adil. Sekarang Alhamdulillah, BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) dan Kepolisian sekarang sudah mengawasi itu," katanya.

Selain dari maraknya jual beli produk jamu ilegal, ada beberapa regulasi di kementerian teknis dan pemerintah daerah yang pada akhirnya menyebabkan industri jamu kewalahan untuk tetap eksis. Pertama, dari sisi pemenuhan syarat pembuatan obat tradisional.

Sementara yang kedua, adalah keharusan pelaku industri untuk mengembangkan produksinya di kawasan industri yang sudah ditetapkan. Menurut Dwi, tidak semua pelaku industri jamu bisa memenuhi persyaratan tersebut, lantaran sebagian besar pelaku industri jamu masuk kategori Usaha Kecil Menengah.

“Mengenai syarat pembuatan, kalau kami ubah bentuk itu tidak cukup Rp100-Rp200 juta. Sementara industri jamu ada yang baru dua bulan sekali produksi. Saya sudah meminta ini agar ditunda dulu. Saya juga memahami perbaikan ini agar kualitas jadi lebih baik. Tapi harus diperhatikan,” katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya