Utang Negara Makin Agresif, Produktivitasnya Melempem

Ilustrasi peningkatan utang luar negeri Indonesia.
Sumber :
  • Halomoney

VIVA.co.id – Total utang pemerintah pusat hingga akhir Juli 2017 tercatat mencapai Rp3.779,98 triliun. Dalam sebulan, utang naik Rp73,46 triliun, dibandingkan jumlah utang di bulan Juni 2017 yang sebesar Rp3.706,52 triliun.

BNI Bakal Terbitkan Global Bond US$500 Juta, Jadi Incaran Investor Asing

Peningkatan utang pemerintah pada Juli ini tentu lebih besar dibandingkan dengan peningkatan utang di Juni yang hanya naik sebesar Rp34,19 triliun dari posisi utang Mei 2017.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai pemerintah semakin agresif menerbitkan utang baru. Ia mengatakan, laju peningkatan utang yang semakin besar memang menimbulkan kekhawatiran.

Polri Ungkap Mahasiswa Korban TPPO di Jerman Banyak Terlilit Utang

"Pemerintah makin agresif terbitkan utang. Dari Januari-Juli 2017 utang baru pemerintah mencapai Rp312,9 triliun. Jumlah penerbitan utang baru setara 67,89 persen dari target utang yang disepakati dalam APBN-P 2017," kata Bhima kepada VIVA.co.id, Senin, 28 Agustus 2017.

Menurut dia, dengan melihat kondisi penerimaan pajak yang kurang menggembirakan sampai semester I 2017, pemerintah terlihat makin agresif menerbitkan utang baru untuk menutup defisit anggaran.

Pemerintah Sudah Tarik Utang Rp 72 Triliun hingga 15 Maret 2024

"Agresivitas pemerintah dalam menerbitkan utang sayangnya tidak sejalan dengan produktivitas penggunaan utang, terutama di bidang infrastruktur," ujar dia.

Menurut Bhima, hal itu terlihat pada realisasi pembangunan infrastruktur yang selesai atau commercial operation date (COD) yang masih di bawah 10 persen. Sisanya masih dalam proses perencanaan dan lelang sebesar 41 persen.

Selain itu, ia menilai penggunaan utang dalam membangun infrastruktur juga menuai pro dan kontra. Hal ini dikarenakan infrastruktur yang dibangun dampaknya ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap perekonomian.

"Misalnya, penyerapan tenaga kerja di sektor konstruksi turun 230 ribu orang di 2016 dibandingkan 2015. Upah riil buruh bangunan juga mengalami penurunan. Sementara industri logam dasar sepanjang 2016 justru tumbuh negatif padahal infrastruktur sedang marak dibangun," ujar dia.

Tak hanya itu, menurutnya, produksi semen juga kelebihan produksi karena tidak semua terserap di proyek infrastruktur. Hal lain yang jadi perhatian, imbuh dia, adalah proyek infrastruktur yang sebagian besar atau sekitar 80 persen dikuasai oleh kontraktor besar.

"Jadi wajar multiplier effect yang diharapkan tidak terasa ke masyarakat. Utang dikatakan sehat apabila menciptakan gerak perekonomian. Faktanya, sejak 2012 Indonesia sudah mengalami defisit keseimbangan primer. Ini artinya utang diambil untuk bayar utang. Gali lubang tutup lubang menjadi semakin parah," tuturnya. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya