YLKI: Pemberian Izin SPBU RON88 Inkonsisten

SPBU
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA –  Pemberian izin operasi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum atau SPBU dengan research octane number (RON) 88 oleh pemerintah dinilai sebagai langkah mundur dalam menerapkan kebijakan Bahan Bakar Minyak (BBM) ramah lingkungan.

YLKI: Harga Rokok Baiknya Rp70 Ribu per Bungkus

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan izin itu bertentangan dengan regulasi yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tentang baku mutu emisi gas buang kendaraan bermotor.

Menurut dia, pada Maret 2017 KLHK telah menerbitkan regulasi soal baku mutu emisi gas buang kendaraan bermotor, untuk tipe baru kategori M, kategori N, dan kategori O.

Konsumen Jadi Korban, YLKI Tolak Revisi UU KPK

Adapun, aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri KLHK Nomor P.20/MENLHK/Setjen/KUM.1/3/2017, di mana pemerintah menetapkan penggunaan BBM tipe Euro4 mulai tahun depan secara bertahap hingga 2021.
 
“KLHK sudah menerbitkan regulasi yang merekomendasikan penjualan BBM harus berstandar Euro 4. Mestinya pemerintah konsisten dengan regulasi lingkungan hidup tersebut,” kata Tulus dalam keterangan tertulisnya yang diterima VIVA, Minggu 19 November 2017.

Ia mengungkapkan, masa depan penerapan BBM ramah lingkungan menjadi suram seiring inkonsistensi pemerintah. Apalagi pemberian izin operasi SPBU yang menjadi BBM dengan research octane number (RON) 88.

Iuran BPJS Naik, YLKI Minta Sistem Kelas Layanan Dihilangkan

Selain itu, lanjut dia, buruknya kebijakan itu membuat Indonesia semakin tertinggal dengan negara-negara ASEAN lainnya dalam penggunaan BBM ramah lingkungan. Sebab, di Malaysia saja BBM yang beredar terendah adalah RON95, di Indonesia yang masih beredar BBM RON88 yang tidak lulus Euro 1.

Perlu diketahui, kebijakan yang dikeluarkan tersebut semakin buruk di tengah sebagian besar konsumen BBM di Tanah Air justru telah beralih dari Premium dan itu ditunjukkan dengan data penjualan BBM jenis Pertalite dan Pertamax yang naik signifikan.

“Mumpung selisih harganya tidak terlalu tinggi, mestinya pemerintah memanfaatkan momentum ini untuk mendorong peningkatan konsumsi BBM dengan RON tinggi,” tegas dia.

Sementara itu, pakar otomotif dari Institute Teknologi Bandung, Tri Yuswidjajanto mengatakan, penggunaan BBM tanpa timbal telah menyebabkan korban cukup besar khususnya pada banyaknya anak-anak menjadi autis.

Menurut dia, polusi yang datang berasal dari minyak, karena mengandung sulpur. Sedangkan, semakin tinggi sulpurnya, makin murah harganya. Begitu pula sebaliknya.

“Regulasi Euro yang makin tinggi bertujuan supaya makin irit. Dengan konsumsi yang makin irit, BBM yang dibakar makin sedikit dan gas yang dibuat juga makin sedikit,” kata dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya