Tujuh Tahun Menunggu Kematian, Ternyata Salah Diagnosis

Ilustrasi jarum suntik/ filler
Sumber :
  • Pixabay/jochenpippir

VIVA – Seorang pria China menyia-nyiakan tujuh tahun terakhir dalam hidupnya hanya untuk menunggu kematian. Ia memilih hal itu lantaran didiagnosis terkena HIV.

Beri Proteksi Cegah HIV hingga Kehamilan Tak Diinginkan, Begini Cara Pakai Kondom yang Benar

Tahun 2008, Zhong Xiaowei divonis terkena HIV. Setelah dua rumah sakit didatangi, Zhong akhirnya percaya dan meyakini di tubuhnya telah bersemayam virus ganas tersebut. Setelah vonis itu, ia memutuskan menghentikan hidupnya, dan hanya menjalani hari-hari sendirian di rumah sambil menunggu ajalnya tiba.

Sepanjang hidupnya, Zhong melalui hidup yang keras. Ia lahir pada tahun 1963, sebagai anak keempat dari lima bersaudara. Saat usia tujuh tahun, ayahnya meninggal karena kanker paru-paru. Ibu Xiaowei harus bekerja keras untuk menghidupi lima anaknya. Ia bekerja di sebuah perusahaan bus. Zhong berhenti sekolah dan ikut bekerja sebagai pelayan restoran.

Bantah Tudingan Venny Alberti Tularkan Penyakit Kelamin, Akash Elahi: Saya Siap Tes HIV Lagi

Zhong menghabiskan masa remajanya dengan mengerjakan berbagai hal dengan bayaran kecil. Ia kerap berkelahi dan berurusan dengan polisi. Tahun 1996, ia merasa bosan dan mulai mengenal heroin. Sepuluh tahun lalu, Zhong mulai lelah dengan hidupnya. Ia memutuskan berhenti menggunakan heroin, mendirikan restoran, dan berniat menikahi pacarnya yang juga pernah menjadi pecandu heroin.

Sebelum menikah, keduanya sepakat untuk melakukan cek medis. Saat hasil tes keluar, tahun 2008, dokter di Chengdu CDC memberitahu bahwa hasil sampel darahnya positif HIV. Ia lalu melakukan tes yang sama di Sichuan CDC, dan rumah sakit ini mengonfirmasinya.

Venny Alberti Ngaku Kena PMS, Akash Elahi Bingung Sudah Lama Tak Berhubungan dengan Istrinya

Dikutip dari Shanghaiist, Zhong akhirnya menerima kabar buruk itu tanpa bertanya lagi. Ia yakin, hasil itu ada setelah bertahun-tahun ia menggunakan heroin. Setelah itu, pacarnya meninggalkannya, dan seluruh keluarga Zhong memutuskan hubungan keluarga.

"Keluarga memperlakukan saya seperti ini, dan itu tak berdampak pada saya. Saya memilih menunggu kematian itu datang," ujarnya.

Zhong lalu memilih menghabiskan hari-harinya di dalam apartemen kecilnya. Selalu menutup gorden, menolak pengobatan, dan berharap segera diambil nyawanya. Zhong mengaku ia sebenarnya takut mati, itu sebabnya ia memilih tidur di sofa. Ia mengaku pernah ingin bunuh diri, tapi tak sanggup ketika membayangkan wajah ibunya.

Tahun 2015, ketika sedang melakukan tes rutin, Zhong  seperti mendapat pencerahan. Saat itu ia sedang duduk di ruang tunggu, ia lalu membaca beberapa artikel tentang HIV. Zhong tersadar, tak ada satu pun dari gejala yang dipaparkan tentang HIV ia alami.

Penasaran, tepat saat Natal, Zhong melakukan tes kembali di rumah sakit Huaxi di Universitas Sichuan. Hasilnya, ia negatif HIV. Bulan berikutnya, Zhong kembali melakukan tes darah di distrik Jinniu dan hasilnya ia tetap bebas HIV.

Pejabat rumah sakit lalu menguji ulang sampel darah Zhong dari tahun 2008, dan hasilnya tetap positif. Satu-satunya penjelasan yang paling masuk akal soal itu adalah darah tahun 2008 itu bukan darah Zhong. Berdasarkan itu, Zhong menuduh CDC sengaja mencampur darah dan menghancurkan hidupnya.

Zhong juga baru sadar, ia tak pernah bisa melakukan cek darah rutin setiap tahun, karena setiap kali ia minta cek darah rutin, maka dokter mengaku tak bisa mengambil darahnya.

Ia berencana menuntut CDC Chengdu dan CDC Sichuan. Ia menuntut dua rumah sakit itu meminta maaf dan memberikan kompensasi atas rasa sakit yang ia alami selama tujuh tahun terakhir.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya