Kepala BMKG Andi Eka Sakya

Indonesia 'Supermarket' Bencana

Kepala BMKG Andi Eka Sakya
Sumber :
  • VIVA.co.id/M. Ali. Wafa

VIVA.co.id – Bulan Februari diprediksi menjadi waktu, di mana intensitas hujan di sebagian besar wilayah di Indonesia sedang mencapai puncaknya. Tingginya curah hujan ini berpotensi menyebabkan bencana hydro-meteorologi di sejumlah wilayah, seperti banjir dan tanah longsor.

Cuaca Ekstrem Diprediksi Terjadi Selama Mudik Lebaran 2024, BMKG Minta Warga Waspada

Seperti yang terjadi di Ibu Kota Jakarta pada Selasa lalu, 21 Februari 2017. Hujan yang turun selama beberapa hari belakangan, menyebabkan banjir di sejumlah titik di Jakarta. Meskipun curah hujan yang turun lebih kecil dari tahun-tahun sebelumnya, nyatanya Jakarta tetap saja banjir.

Data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menunjukkan curah hujan yang terjadi di Jakarta pada 21 Februari lalu, berkisar 21 milimeter hingga 118 mm, jauh lebih kecil dibandingkan dengan hujan yang menyebabkan banjir di Jakarta pada tahun 2007, 2013, dan 2014, yang saat itu mencapai 200-350 mm.

Sembilan Daerah Siaga dan Waspada Cuaca Ekstrem, Menurut BMKG

Kepala BMKG, Andi Eka Sakya menyebut, fenomena banjir Jakarta terjadi karena banyak faktor. Tingginya curah hujan di suatu daerah dan sekitar, turut memengaruhi banjir suatu wilayah. Banjir juga bisa dipicu perilaku manusianya yang minim kesadaran terhadap lingkungan dan pola hidup.

Tidak saja Jakarta, faktor-faktor lain juga bisa menjadi pemicu banjir di sejumlah wilayah di Indonesia. Sadar bahwa potensi bencana bisa terjadi setiap saat, maka mitigasi bencana dan pengetahuan terhadap cuaca menjadi penting untuk menjadi perhatian masyarakat.

Gerhana Bulan Penumbra Siap Menyapa Malam Ini, Catat Jam dan Lokasinya

Untuk mengetahui lebih lanjut faktor-faktor apa saja yang menyebabkan banjir Jakarta dan beberapa daerah di Indonesia, termasuk prakiraan meteorologi Indonesia sepanjang 2017 ini, maka redaksi VIVA.co.id berkesempatan mewawancarai Kepala BMKG Dr. Andi Eka Sakya M.Eng untuk membahas persoalan ini.

Berikut, petikan wawancana Kepala BMKG dengan redaksi VIVA.co.id, Jumat 24 Februari 2017:

Bagaimana analisis BMKG terkait banjir yang terjadi di Jakarta 21 Februari lalu? Apa benar dipengaruhi banyak faktor?

Ini lebih banyak dipengaruhi oleh apa yang kami sebut faktor iklim yang berpengaruh, atau yang memengaruhi Indonesia, misalkan pada saat itu ada El Nino, atau La Nina, lalu kemudian di Samudera Hindia ada Indian Dipole Mode, atau kemudian ada Main Geophysical Observatory (MGO), atau kemudian nama-nama yang barang kali tidak begitu dikenal.

Pokoknya, kumpulan awan besar, tetapi membawa tekanan yang berpengaruh terhadap curah hujan di Indonesia, terus kemudian juga harus dilihat SSD (Sea Surface Density)-nya, lalu temperatur permukaan lautnya. Tetapi, kita kan bicara pada bulan Februari. Jadi, kita batasi pada bulan Februari, kemudian di Jakarta dulu.

Jadi, faktor-faktor itu ada banyak. Jadi, tidak kemudian kita hanya bicara satu hal saja. Jadi, multi variabel cost kalau saya bilang. Jadi, disebabkan banyak variabel ini yang belum dilihat oleh masyarakat Indonesia.

Apakah curah hujan tanggal 21 Februari lalu di atas batas normal?

BMKG itu melakukan pengamatan ini setiap 12 jam, kita gabungkan. Nah, hujan di atas 50 mm itu dinyatakan lebat terus, kemudian akan lebat sekali kalau di atas 100 mm.

Kasus kemarin itu, ini kita bisa lihat ini ada 145 titik di sepanjang tol Bekasi, dan di sini artinya di Jakarta saja dan istilahnya tidak ada kiriman, atau ada kiriman tapi kecil. Semuanya, hujan ada di Jakarta semua.

Dengan fenomena banjir Jakarta 21 Februari lalu, bagaimana BMKG menjelaskan intensitas hujan Jakarta dari tahun ke tahun?

Ini yang saya ingin tunjukkan. Ini dari 2002 sampai 2017 (memperlihatkan data curah hujan Jabodetabek kurun waktu 2002-2017). Ini di Tangerang, Curug, Tanjung Priok, Kemayoran, Cengkareng, Darmaga Bogor, di Halim.

Mengapa saya buat begitu? Supaya kita melihat bahwa banjir di Jakarta itu tidak semata-mata disebabkan oleh banjir di Jakarta, dan lihat ini (memperlihatkan data), ini adalah rata-rata 30 tahun yang garis ini. Nah, kita juga melihat pada 2002, 2007. Ini banjir nih, barangkali yang warna-warnanya ini, mulai dari 2002 ini warnanya cokelat, yang cokelat ini 2002, juga waktu itu ingat enggak 2012 banjir juga.

Banjir juga, padahal di bawah rata-rata dia. Ini kecil sekali kan pada 2012, hujan di Tangerang,  Curug, Tanjung Priok, Kemayoran, Cengkareng, tetapi besar di Darmaga, tetapi di Halim kecil. Artinya, pada waktu itu banjir sebetulnya datang dari luar.

2013, banjir juga kan? Halim pada waktu itu di bawah rata-rata masih, terus kemudian di Darmaga agak tinggi nih. Darmaga itu kan Bogor, tetapi di Jakarta sebetulnya kecil, nih artinya apa? Hujannya juga dari sana.

Pada tahun 2007, juga banjir. Pada 2007 itu disebabkan oleh tipologi hujan yang kemudian terjadi di Jakarta. Artinya, banjir disebabkan oleh hujan yang ada di Jakarta. Bagaimana dengan 2017? 2017, yang ungu ini (garis dalam data curah hujan yang ditunjukkan).

Pada Februari yang tanggal 1 sampai dengan 23 memang (intensitas hujan) di atas rata-rata ini di Curug, kecil (intensitas hujan) di Tangerang ya, kemudian di Cengkareng sedikit di atas rata-rata, Kemayoran sedikit di atas rata-rata,  Darmaga Bogor tidak begitu (deras hujannya). Sebetulnya, hujannya di daerah sini aja genangannya, di Jakarta saja.

Kalau dibandingkan dengan kejadian hujan, atau banjir di tahun 2012, 2013, 2015, juga awal pada waktu itu Pak Jokowi (Joko Widodo) menjadi gubernur, atau Presiden, itu kan besar sekali banjirnya. Jadi, kita bisa membayangkan sebetulnya ada permasalahan lain selain hujan itu tadi. Itu yang ingin saya sampaikan.

Data curah hujan Jabodetabek BMKG

Berikutnya, apa penyebab eksternal tingginya curah hujan>>>

Apa mungkin ada penyebab eksternal terkait tingginya curah hujan di Februari?

Nah, kalau kita melihat di Jakarta itu sebetulnya kalau kami membuat prakiraan kan kita melihat, apakah ada faktor iklim dari luar yang berpengaruh? Misalnya di Samudra Pasifik itu El Nino, La Nina, terus kemudian di Samudera Hindia itu ada Indian Dipole Mode-nya, terus kemudian SST (Sea Surface Temperature)-nya seperti apa?

Dan sampai pada kesimpulan bahwa faktor globalnya nggak ada. Karena itu netral semua. MGO (Main Geophysical Observatory) itu bergerak kira-kira 40 hari. Kalau lewat Indonesia hujannya pasti tinggi sekali. Nah, itu juga enggak juga. Karena, mereka masih bergerak di Samudera Hindia. Jadi, di quadran 1.

Nah, oleh karenanya, dalam konteks ini kita mengatakan bahwa faktor lokalnya, atau regional jauh lebih berperan dibandingkan dengan faktor globalnya.

Faktor lokal apa saja yang menyebabkan tingginya curah hujan di suatu daerah?

Faktor lokal ini dipengaruhi oleh misalnya apakah ada badai tropis, ada tekanan rendah, apa tekanan rendah dan segala macam itu. Tekanan rendah itu adalah semacam ada titik yang kemudian dia tekanannya rendah, dan kemudian menghisap hampir semua awan-awan yang berjalan itu ke situ.

Nah, ketika kemudian angin bergerak, awan akan bertemu dan akan mengalami perlambatan. Jadi, kalau itu istilahnya anak muda itu, dalam racing, itu kalau belok tikungan kan enggak mungkin cepet. Awan juga begitu.

Saat belok itu agak pelan sedikit. Nah, ketika dia pelan sedikit, maka kumpulan awannya ya di situ. Dia bergeraknya kan pelan, nah karena interaksinya, kemudian hujan deras dia di situ, kemudian hilanglah dia. Nah, itu yang terjadi dan ini yang kemudian kita lihat yang terjadi di sini.

Nah, inilah yang terjadi di sepanjang ini. Ini disebabkan oleh apa? Kami menyebutnya konvergensi. Jadi, pertemuan angin itu tadi yang disebabkan oleh adanya tekanan rendah di Carpentaria itu di Australia.

Artinya,  dari data-data yang Anda sampaikan tadi membantah apa yang diyakini  orang bahwa ada siklus banjir lima tahunan?

Ya betul, jadi dari penjelasan tadi kita bisa lihat, sebetulnya siklus lima tahunan itu stigma saja , stigma itu adalah bahwa ada gambaran bahwa tahun 2002 banjir, 2007 banjir,  2012 banjir, mestinya 2017 banjir dan seterusnya, itu stigma saja. Itu enggak ada

Letak Indonesia di ekuator, apa ini juga menjadi salah satu sebab intensitas hujan di Indonesia ini tinggi?

Letak kita ini menjadi menarik sekali, di katulistiwa, istimewa. Kita dikaruniai oleh siklus periodik mengenai musim hujan dan kemarau enam bulan sekali, tetapi variasi mengenai lautnya, mempunyai masing-masing pulau mempunyai karakteristik sendiri-sendiri.

Karena itu, kalau dilihat musim kemarau di Aceh, dengan musim kemarau di Merauke tidak sama waktunya, tidak sama awalnya, tidak sama panjangnya. Jadi, di Indonesia, setelah dilihat ada lebih dari 300-an zona musim, yang mempunyai awal musim kemarau dan musim hujan berbeda dan termasuk panjang.

Jadi, Indonesia persis berada di belokan angin, atau streamline (sehingga curah hujannya tinggi).

Beberapa wilayah di Indonesia juga sering terjadi puting beliung, bagaimana BMKG menjelaskan fenomena ini?

Puting beliung itu kejadiannya kan cepat sekali, sebetulnya puting beliung itu satu yang biasa kita kenal di dunia ini Tornado. Kalau di Amerika ada Tornado, jalan agak lama sedikit, kalau di kita Tornado tapi dalam skala yang kecil datang terus hilang

Apa penyebabnya? Yaitu, karena perbedaan tekanan antara satu tempat ke tempat lain, kalau ada bedanya, maka dia ada pergerakan baru. Nah, tetapi ini tuh tekanannya begitu mendadak dan perbedaannya tinggi ada pergerakan, terus kemudian hilang lagi. Nah, perbedaan tekanan disebabkan oleh perbedaan temperatur disebabkan oleh kumpulan awan yang besar sekali, tetapi di sini matahari masuk dia panas terus hilang karena cepat sekali.

Ini (puting beliung) biasanya muncul di daerah, yang katakanlah semi perkotaan.

Pembangunan rumah banyak sekali tidak terbatas itu kemudian men-trigger begitu banyak, selain juga keadaan atmosfer yang memang di-trigger oleh perubahan iklim dan pemanasan global. Segala macam itu men-trigger banyak sekali dan karenanya, selama ini kalau kita lihat tren yang juga dicatat oleh BNPB itu puting beliung semakin banyak dan intensitas skalanya semakin tinggi.

Bagaimana potensi puting beliung di Jakarta?

Sebetulnya, trennya itu semakin banyak dan intensitasnya semakin tinggi, tetapi memang kami ini dalam tanda kutip kesulitan untuk bisa mendeteksi itu. Karenanya, masyarakat diajak untuk bisa memahami tanda-tanda, kalau anginnya tiba-tiba dingin, terus anginnya keluar, tiba-tiba menguap dan terus seperti itu puting beliung itu terjadi.

Ini yang kemudian kita ajak dan biasanya ada kumpulan awan yang kelihatan sekali itu di atas kalau tiba-tiba comulonimbus ada awan yang tebal sekali di wilayah tertentu, ternyata matahari-nya kelihatan. Nah, sudah, tetapi poin-poin daerahnya di mana, kita enggak tahu karena luas sekali, tetapi masyarakat diajak untuk bisa memahami itu.

Karena, bagaimana pun juga dengan intensitas yang semakin tinggi itu tentu merasakan rumah dan segala macamnya di pihak lain, kalau di khatulistiwa ini mudah-mudahan tidak sampai ke skala seperti yang di Amerika seperti badai Katrina. Itu masih belum, tetapi ini hanya bisa dikurangi dengan misalnya kita harus berjaga-jaga dari konstruksi rumahnya dan mitigasi bencananya.

Apa saran BMKG untuk mengatasi banjir di Jakarta dan wilayah lain di Indonesia?

Kalau daya serap permukaan tanah di Jakarta itu semakin berkurang, sekarang ini hitungannya di bawah 20 persen, artinya kalau satu liter air maka kurang dari 0,2 liternya itu diserap, yang lainnya 0,8 liternya itu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Artinya apa? Itu artinya kecuali kalau ada air laut pasang, mereka akan terus mencari tempat-tempat yang lebih rendah.

Nah, kita perlu berpikir jalan-jalan itu dibuatlah yang benar drainase, buang sampah, ya jangan di drainase. Jadi, istilahnya supaya air ini betul-betul mengalir, kita akan melihat dengan Kanal Timur dan Kanal Barat dan segala macam itu sangat mengurangi banjir. Jadi, kalau sungainya bersih sedimentasinya enggak ada, maka akan lancar dia, itu yang pertama.

Yang kedua, bagaimana meningkatkan daya serap permukaan tanah supaya kita bisa mengurangi ancaman banjir. Kalau sekarang, misalnya masing-masing rumah mempunyai biopori, kemudian gedung gedung besar Itu diwajibkan punya sumur resapan berkurang, enggak banjir? Kemungkinan berkurang.

Jadi, sebetulnya mulainya kan mudah, kalau buang sampah ya jangan ke sungai, jadi pupuk organik misalnya, seperti itu jadi it's so simple the starting point is our self, kita mulai dari diri kita sendiri.

Apa saja catatan BMKG sepanjang 2017, terkait ancaman bencana?

Jadi, cara melihat kami begini, sebab kalau kita bicara Indonesia itu luas sekali, itu Anda berbicara wilayah dari Angkara Turki sampai London, karena Indonesia ini kalau saya letakkan di Eropa, dia mencover 28 negara, pertanyaannya sesimpel itu?

Bisa dipegang sebuah patokan yang sederhana, kita pada umumnya mempunyai musim kemarau pada bulan April sampai Oktober. Kemudian, musim hujan November sampai Maret, tetapi ada hal-hal yang istimewa juga misalnya seperti daerah Maluku itu kebalikan. Nah, pada puncak musim hujan masing-masing wilayah itu berbeda satu sama lain. Tetapi, pada umumnya itu pada bulan Januari dan Februari, tapi pada bulan Februari itu ada juga daerah-daerah yang musim kemarau, misalnya Riau yang sekarang sudah melihat hotspot, nah itu malah terjadi

Ketika berbicara dampak atau catatan yang harus diwaspadai itu selalu berbicara dengan musim hujan, jadi tempat-tempat yang mengalami musim hujan itu biasanya selain pada puncak musim hujan yang terjadi pada Desember sampai pada Februari, maka masyarakat juga harus paham bahwa fase pada saat memasuki musim pancaroba itu dibarengi dengan angin yang kencang, terjadi pada bulan Maret-April, nanti juga terjadi pada bulan September-November.  Jadi, mesti sepanjang tahun harus waspada.

Makanya, saya mengatakan Indonesia ini sebetulnya selain cuacanya seperti ini, dia ada di belokan angin. Kan, kita ada di 128 gunung api, terus kemudian kita ada di patahan, atau subduksi jadi kita sebenarnya ‘supermarket’ bencana

Ada semua, walaupun skalanya kecil seperti tornado ada kita, tetapi kecil, gleiser ada di Puncak Jayawijaya, walaupun sudah mulai habis. Jadi, statement saya valid, kita ‘supermarket’ bencana.

Prakiraan Cuaca BMKG

Berikutnya. apa masukan BMKG>>>

Lantas, apa masukan BMKG untuk pemerintah?

Saya kira saya bersyukur bahwa paling tidak, saya mencatat kita mulai ikut di dalam proses itu sejak El Nino, atau bahkan sudah sebelum itulah. Saya ingat betul, ketika ke Gunung Kelud pun kita ikut dalam memberi advice bahwa karena Gunung Kelud itu kan kejadiannya 14 Februari, terus kemudian kita memberi advice bahwa tanggal 18 nanti akan ada huja. Terus, kemudian masyarakat di sekitar situ dievakuasi, dan kami sangat bersyukur masyarakat tersebut dievakuasi sebelum itu dan tidak ada satu korban pun ini salah satu contohnya.

Dalam konteks di El Nino kita juga aktif untuk tidak hanya kemudian dan bagaimana mempersiapkan untuk memitigasi kebakarannya, karena pada waktu itu langsung masuk ke gambut dan segala macam. Tetapi, juga kemudian advice kawan-kawan dari pertanian bahwa El Nino itu dampak ke tidak seluruh Indonesia. Kita ingat betul pada tahun 2015 itu pada bulan Agustus-September itu, saat di mana kawan-kawan di Riau Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat tengah itu kering, Aceh banjir.

Dari situ, saya advice, kalau gitu tata kelola tanam jangan begini dong, jangan semuanya ada di Jawa, jadi kemudian disebar. Termasuk juga, ketika 2016, hujan begitu tingginya di berbagai tempat kita juga ikut meng-advice tidak seluruh Indonesia begini kok. Kemudian, karenanya bawang yang kemudian di Brebes itu habis, kita harus melihat di sebelah timur karena apa? Karena hujannya berkurang, tetapi cukup karena biasanya kering ada tambahan hujan jadi cukup dia.

Masukan BMKG termasuk juga terkait rencana pembangunan pemerintah?

Ya, kebetulan baru saja BMKG bicara ke PU (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) mengenai bagaimana tren DAS (daerah aliran sungai) hujan yang berpengaruh di DAS Musi dan Brantas. Termasuk, juga di Cisadane di Jawa Barat

Karena, mereka bicara mengenai ini kenapa kok tiba-tiba hujannya begitu derasnya dan banjir begitu besar. Kita tunjukkan juga bahwa hujannya enggak begitu tinggi, tetapi vegetasi yang terjadi di hulu itu rusak. Jadi, ketika hujannya sama dia membawa semua problem di sana terus kemudian hujan.

Jadi, there is no one single cause for a disaster. Tidak ada satu sebab tunggal untuk sebuah bencana. Selalu ada kumpulan proses yang begitu lama yang tidak disadari, sehingga membuat itu pernah kita hanya melihat titik dari kritis yang bisa menyebabkan itu.

Terkait penerbangan dan pelayaran, apa support yang bisa diberikan BMKG?

Ya, sudah seluruh Indonesia. Jadi, kalau maritim itu informasi kita setiap hari diberikan, dan dari situlah syahbandar itu memberikan izin bagi kapal untuk melaut.

Penerbangan juga gitu, jadi pilot selalu ada briefing, mereka dapat informasi, mereka akan lihat cuaca dan bagaimana mereka menentukan rute.

Nah, problemnya adalah misalnya sekarang para nelayan itu tidak berangkat dari pelabuhan. Itu problemnya nelayan tradisional mereka tidak mendapatkan informasi itu. Bagaimana untuk mendapatkannya? Ya, tentu dari gadget dan mereka enggak cukup punya uang untuk itu.

Saya hanya bicara, bagaimana mengubah nelayan ini, terutama tradisional fisherman dari mencari ikan. Dia biasanya itu kan, hanya berangkat kemudian melihat biasanya di sana banyak ikan kemudian mencari ke sana.

Tetapi, bagaimana mengubah dari mencari ikan menjadi penangkap ikan. Jadi, ikan-ikan itu kan berkumpul karena klorofilnya banyak, siapa yang tahu klorofil? Karena, dia pengaruhnya pada suhu, jadi semuanya bisa kelihatan. Jadi, nelayan mencari rute supaya menghindari tinggi gelombang dan itu sudah mengkonversikan biaya yang sudah begitu besarnya untuk mencari ikan menjadi langsung ke spot. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya