Kisruh Transportasi Online, Masyarakat Harus jadi Kiblat

Ratusan supir taksi menggelar aksi demonstrasi menolak keberadaan angkutan umum online .
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id -  Pemerintah dinilai harus mengambil langkah tegas menyikapi kisruh transportasi antara sopir online dan penyedia jasa angkutan umum offline yang saat ini semakin memanas, menyusul penolakan armada taksi Blue Bird dan kawan-kawannya dengan Uber dan Grab, serta ojek online. Persoalan ini perlu ada transparansi kebijakan, khususnya untuk urusan pajak.

Hal itu diungkapkan Pengamat Sosial Universitas Indonesia, Devie Rachmawati, Selasa 22 Maret 2016. Menurut Devie, gejolak terkait transportasi modern berbasis online tidak hanya terjadi di Indonesia namun jauh sebelumnya juga terjadi di Eropa.

"Kita perlu memahami gejolak kegelisahan para sopir taksi ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Tahun lalu, Eropa pun membara, London, Paris, Madrid, Barcelona, Berlin, Milan dan Roma juga mengalami mengalami kondisi protes yang sama," kata Devie.

"Bahkan di Amerika Serikat sendiri, tanah air dari Uber ini sekalipun, pengendara taksi di beberapa negara bagiannya juga melakukan protes yang sama," imbuhnya.

Penolakan terhadap angkutan berbasis aplikasi online di sejumlah negara juga dengan argumentasi yang hampir sama. Bukan karena khawatir kompetisinya, tapi pertarungan menegakkan regulasi, terutama bagi transportasi online ini.
      
"Menurut hemat saya, ekspresi kemarahan ini sebenarnya merupakan katarsis atau penyaluran dari kegelisahan masyarakat dunia, tak terkecuali Indonesia akan perlambatan ekonomi yang belum berakhir. Profesi pengendara taksi di Amerika sekalipun mengeluhkan. Tanpa hadirnya pesaing online, kesejahteraan mereka pun masih dianggap kurang," ujar dia.

Dalam kasus ini, Devie menilai ada tarik menarik kepentingan tiga aktor yaitu penguasa, pengusaha dan masyarakat. Penguasa merupakan salah satu pihak yang memiliki peran paling vital, dan negara tidak bisa membiarkan terjadi kericuhan antara pengusaha dan masyarakat, serta antara masyarakat dengan masyarakat lainnya.

Butuh 50 Tahun

Berkaca dari sejarah transformasi transportasi di AS dari semula penggunaan kuda sebagai transportasi hidup menjadi penggunaan mobil dan transportasi massal, Devie menuturkan, menurut sejarawanan Amerika, butuh waktu 50 tahun untuk bisa mencapai pada kondisi ideal.

Bahkan badan sensus Amerika pernah mengatakan bahwa depresi besar ekonomi Amerika tahun 1930 adalah akibat peralihan moda transportasi kuda ke transportasi mesin. "Perubahan akan selalu menyisakan penderitaan panjang untuk mencapai sebuah kondisi ideal baru," ucapnya.

Dalam konteks ini, Devie yang juga mantan humas UI itu menilai tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat harus menjadi kiblat kebijakan nasional termasuk perseteruan transportasi online vs offline.

"Pertanyaan menggelitik publik tentu saja mengapa kehadiran transportasi gelap yang bahkan melahirkan banyak terminal bayangan yang sudah hadir sebagai alternatif bagi publik, diabaikan oleh pemerintah dan pebisnis taksi dan angkutan umum. Pemerintah harus mampu mendamaikan keduanya, berbasis aturan yang adil," paparnya.             

Untuk itu, Devie menyarankan, berbagai beban biaya perusahaan angkutan harus dievaluasi dengan cepat. Pemerintah harus transparan dengan semua jenis pajak yang dikenakan kepada para pengusaha. Bagi pengusaha aplikasi online mereka tetap harus membayar pajak.

"Ini merupakan kewajiban dan tanggung jawab pengusaha tidak terkecuali online. Evaluasi terhadap pengusaha transportasi mereka juga secara serius harus memperbaiki diri. Tidak hanya layanan kepada konsumen tetapi kesejahteraan para pengendara taksinya," paparnya.

Tarif Taksi Online dan Konvensional Ditentukan Daerah
Menhub Budi Karya (Kiri) dan Menkominfo Rudiantara (kanan).

Kapolri Minta Jajarannya Proaktif Redam Bentrok Pengemudi

"Lakukan langkah proaktif, kalau ada yang melanggar tindak tegas".

img_title
VIVA.co.id
21 Maret 2017