Aceh Dahulu Punya 100 Kapal Perang

Lukisan Laksamana Malahayati di Museum Bahari
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dody Handoko
VIVA.co.id
Kelenteng Ini Jadi Simbol Perlawanan Tionghoa Surabaya
- Di ujung utara Ibu Kota Jakarta, tepatnya di kawasan kuno Pelabuhan Sunda Kelapa, berdirilah Museum Maritim atau Museum Bahari. Salah satu obyek yang paling diminati pengunjung adalah lukisan Laksamana Malahayati, perempuan pejuang dari Kesultanan Aceh, di lantai dua. Konon, katanya, bagian matanya bisa melirik.

Kisah Pelukis Arwah Si Manis Jembatan Ancol

”Dari biasanya cuma 30 pengunjung per hari, melonjak jadi 200 pengunjung per hari. Saya sampai capek mengantar tamu ke atas melihat lukisan itu. Akhirnya lukisan itu saya sembunyikan saja,” kata Sukma, penjaga museum.  Baca: Malahayati menjadi Panglima Angkatan Perang kerajaan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Al Mukammil (1589-1604). Ia mendapat kepercayaan menjadi orang nomor satu dalam meliter dari Sultan karena keberhasilannya memimpin pasukan wanita, Inong Bale.
Cerita Bung Karno Jadi Model Patung Bundaran HI


Ia berasal dari keturunan sultan. Ayahnya, Mahmud Syah, seorang laksamana. Kakeknya dari garis ayah, juga seorang laksamana bernama Muhammad Said Syah putra Sultan Salahuddin Syah yang memerintah tahun 1530-1539. Sultan Salahhuddin sendiri putera Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530), pendiri kerajaan Aceh Darussalam. Dilihat dari asal keturunannya, darah meliter berasal dari kakeknya.


Pembentukan pasukan wanita yang semuanya janda yang disebut Armada Inong Bale itu merupakan ide Malahayati. Maksud dari pembentukan pasukan wanita tersebut adalah agar para janda tersebut dapat menuntut balas kematian suaminya. Pasukan tersebut mempunyai benteng pertahahanan. Sisa–sisa pangkalan Bale Inong masih ada di Teluk Kreung Raya.


Dalam satu catatan, John Davis, nakhoda kapal Belanda yang mengunjungi Kerajaan Aceh pada masa Malahayati menjadi laksamana, melaporkan, Kerajaan Aceh pada masa itu mempunyai perlengkapan armada laut terdiri dari 100 kapal perang, beberapa di antaranya berkapasitas 400-500 penumpang.


Masa itu Kerajaan Aceh memiliki angkatan perang yang kuat. Selain memiliki armada laut, di darat ada pasukan gajah. Kapal-kapal tersebut bahkan juga ditempatkan di daerah-daerah kekuasaan Aceh diberbagai tempat. Kekuatan Keumalahayati mendapat ujian pertamakalinya ketika terjadi kontak senjata antara Aceh dengan pihak Belanda.


Pada 21 Juni 1599, dua kapal Belanda yang dipimpin dua bersaudara Coernelis de Houtman dan Federick de Houtman berlabuh dengan tenang di Aceh. Laksamana Malahayati menyerang kedua kapal tersebut. Dalam penyerangan itu, Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh. Sedangkan Federick de Houtman ditawan dan dijebloskan ke tahanan kerajaan Aceh.


Sesuatu yang menggegerkan bangsa Eropa dan terutama Belanda sekaligus menunjukkan kewibawaan Laksamana Keumalahayati ketika Mahkamah Amsterdam menjatuhkan hukuman denda kepada van Caerden sebesar 50.000 gulden yang harus dibayarkan kepada Aceh.


Uang sejumlah itu benar-benar dibayarkan kepada yang berhak. Denda tersebut adalah buntut tindakan Paulus van Caerden ketika datang ke Aceh memakai dua kapal, menenggelamkan kapal dagang Aceh serta merampas muatannya berupa lada, lalu pergi meninggalkan Aceh.


Peristiwa penting lainnya selama Malahayati menjadi Laksama adalah ketika ia mengirim tiga utusan ke Belanda, yaitu Abdoelhamid, Sri Muhammad dan Mir Hasan ke Belanda. Ketiganya merupakan duta-duta pertama dari sebuah kerajaan di Asia yang mengunjungi negeri Belanda.


Banyak cacatan orang asing tentang Malahayati. Kehebatannya memimpin sebuah angkatan perang ketiga itu diakui oleh negara di Eropa, Arab, China dan India.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya