Siswa Penganut Kepercayaan Tak Naik Kelas Sesuai Aturan

Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang, Bunyamin, menjelaskan perihal kabar seorang siswa tak naik kelas karena penghayat kepercayaan.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dwi Royanto
VIVA.co.id - Dinas Pendidikan Kota Semarang, Jawa Tengah, bicara soal kabar seorang siswa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 7, yang tak naik kelas karena dia penganut kepercayaan. Siswa itu berinisial ZNR, kelas XII jurusan Teknik Mekatronika.
100 Kilometer Jalan di Jateng Rusak karena Banjir, Perbaikan Dikebut hingga H-7 Lebaran
 
Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang, Bunyamin, menjelaskan bahwa siswa SMKN 7 sudah menjalankan prosedur sehingga tidak menaikkan kelas siswa ZNR. Dinas sudah menerima penjelasan lengkap dari pihak SMKN 7.
Swiss German University Dukung Revolusi Industri 4.0 di Indonesia!
 
"Itu sudah sesuai mekanisme yang dijalankan di sekolah ini. Saya pikir sekolah sudah berkomunikasi aktif untuk memberikan pelayanan terbaik terhadap siswa kita ini (ZNR)," kata Bunyamin di Semarang, kemarin.
Kemnaker Berikan Beasiswa Pendidikan Wujud Kepedulian Generasi Penerus Bangsa
 
Sesuai data di sekolah, kata Bunyamin, ZNR yang mengaku menganut kepercayaan memang mencantumkan agama Islam saat kali pertama mendaftar. Bahkan, ZNR sudah mengikuti materi Pendidikan Agama Islam saat kelas X.
 
"Daftar pribadi siswa isiannya juga sama (beragama Islam) dan ditandatangani sendiri. Karena di pendaftaran online juga muncul diisi sendiri dan diserahkan sekolah," ujarnya.
 
Bunyamin menyebut, ZNR tak naik kelas karena dia memang tidak mengikuti materi pelajaran Pendidikan Agama Islam. Sesuai peraturan kurikulum, siswa itu tidak mendapatkan nilai.
 
"Pada saat penentuan kenaikan kelas yang digunakan aturan kenaikan kelas. Sudah ada peraturan sekolah, sudah ada aturan penentuan naik dan tidak naik. Itu yang digunakan pedoman. Tapi pendidikan agama dan budi pekerti yang seharusnya diikuti ternyata tidak diikuti," kata Bunyamin.
 
Dia menambahkan, sebenarnya sejak jauh-jauh hari sekolah sudah cukup akomodatif menyikapi masalah itu. Sekolah bahkan telah melakukan upaya persuasif kepada siswa maupun orang tua. Namun saat materi praktik agama Islam ternyata siswa tetap tidak mau mengikuti.
 
"Dan setelah itu sampai batas akhir ternyata yang bersangkutan tidak mengikuti sesuai data pilihannya, karena dia memilih agama Islam, guru agama yang mengajar enggak bisa berikan nilai," kata Bunyamin.
 
Selama ini, katanya, standar kompetensi untuk pendidikan penghayat kepercayaan belum ada di dalam kurikulum pendidikan sehingga sekolah sebatas melaksanakan pendidikan enam agama yang diakui pemerintah.
    
"Kalau standar kompetensinya sudah ada, nanti diatur juga siapa yang akan mengajarkan. Tapi untuk kompetensi pendidikan penghayat kepercayaan sampai sekarang memang belum ada (standar kompetensinya)," katanya.
 
(ren)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya