Komnas HAM Beberkan Lima Cacat Perppu Ormas

Unjuk rasa ribuan anggota ormas Islam di Jakarta pada Jumat, 4 November 2016.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVA.co.id - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah mengkaji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Demo Sempat Ricuh, Mobil Komando Buruh Ditabrakan ke Kawat Berduri

Sebagaimana diungkapkan Maneger Nasution, Komisioner Komnas HAM, dalam keterangan tertulisnya kepada VIVA.co.id pada Minggu, 16 Juli 2017, ditemukan sedikitnya lima hal yang disebut sebagai "lima cacat Perppu Nomor 2 Tahun 2017".

Pertama, cacat lahir. Penerbitan perppu itu tidak memenuhi tiga syarat sebagaimana dinyatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang, kekosongan hukum karena undang-undang yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai, dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembuatan undang-undang.

Kapolri Gelar Lomba Orasi Gara-gara Indeks Demokrasi RI Melorot

"Syarat tersebut tidak terpenuhi karena tidak ada situasi kekosongan hukum terkait prosedur penjatuhan sanksi terhadap ormas," kata Maneger.

Kedua, cacat substansi. Perppu itu, menurut Maneger, mengandung muatan pembatasan kebebasan untuk berserikat yang tidak legitimate. Padahal kebebasan berserikat adalah hak yang dijamin konstitusi dan Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia.

Sejumlah Legislator Papua Masih Keberatan UU Otsus, Ini Sebabnya

Pembatasan HAM hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas HAM serta kebebasan dasar orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral-kesusilaan, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa dalam suatu masyakat yang demokratis.

Ketiga, cacat metodologi. Perppu itu menghapus mekanisme due process of law (asas legalitas) dalam pembubaran ormas. "Memang inilah yang menjadi pokok dalam Perppu ini. Perppu tersebut memposisikan ormas sebagai musuh, menurut persepsi pemerintah," kata Maneger.

Berdasarkan perppu itu, ormas yang ditengarai melanggar, Meneger menyimpulkan, "dapat setiap saat dibasmi". Perppu itu juga menegaskan arogansi negara karena mengabaikan serta meniadakan proses hukum dalam pembekuan kegiatan ormas.

Keempat, cacat pikir. Perppu itu memunculkan ketentuan pidana sebagaimana disebutkan dalam pasal 82A. Seseorang dapat dipidana karena secara langsung atau tidak langsung menjadi pengurus/anggota ormas yang terlarang dengan pidana. Bahkan, Perppu itu menambah berat pemidanaan dari maksimal lima tahun menjadi seumur hidup atau minimal lima tahun dan paling lama 20 tahun.

Kelima, cacat paham. Perppu itu adalah perubahan UU Ormas. Mengutip pendapat yang dikemukakan, Prof Syaiful Bakhri, Guru Besar Hukum Pidana pada Universitas Muhammadiyah Jakarta, perubahan yang pada pokoknya hendak menerapkan asas contrarius actus dalam pembubaran ormas menunjukkan kesesatan pemerintah terhadap konstitusi dan UU HAM serta UU Ormas.

"Penerbitan Perppu ini sebagai jalan pintas, syahwat kekuasaan dalam mengintervensi kebebasan bersyarikat warga negara," kata Maneger.

Terlepas berbagai cacat ketentuan yang diatur yang diharapkan sebagai jalan pintas, Maneger berpendapat, Perppu tersebut solusi yang terlalu mewah. Seharusnya pemerintah lebih fokus dalam mengakselerasi pengesahan KUHP dan KUHAP yang baru dan modern.

Dia menngingatkan, "sebuah negara yang menisbikan penegakan hukum yang adil dan beradab jelas akan mengantarkan sebuah rezim ke pintu gerbang otoritarianisme. Ini malapetaka, apabila tidak segera direnungkan."

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya