Perppu Ormas Berpotensi Bungkam Gerakan Mahasiswa

Ketua Komnas HAM, Nur Kholis, komentari soal penerbitan Perppu Ormas.
Sumber :
  • VIVA.co.id / Eduward Ambarita

VIVA.co.id - Terbitnya Peraturan Penganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan dianggap bisa berdampak pada keberlangsungan sistem demokrasi. Bermula dari dibubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia, Perppu diminta tidak dijadikan alat politik untuk membungkam kelompok-kelompok tertentu yang kerap mengkritik pemerintah.

Saksi Ahli HTI Tak Tahu Organisasinya Dilarang Banyak Negara

"Ancaman bukan hanya bagi kelompok radikal dan intoleran, juga terhadap kelompok lemah. Mengancam bagi kelompok kritis. Termasuk kawan-kawan kelompok kritis yang masuk dalam sisi kiri dari gerakan pro demokrasi," kata Komisioner Komnas HAM Imadadun Rahmat saat memberikan pernyataan pers di kantornya, Jalan Latuharhary No. 4B, Jakarta Pusat, Selasa, 25 Juli 2017.

Imdadun menyoroti Pasal 59 ayat 3 huruf B dalam Perppu yang menyebutkan tentang penodaan agama. Aturan itu justru bakal mengekang sekelompok orang dengan keyakinan tertentu yang sewaktu-waktu dapat dibubarkan oleh pemerintah.

PKS Dorong Revisi UU Ormas

"Penodaan agama ini dialamatkan ke kelompok minoritas. Kelompok Jehova, Ahamdiyah, Syiah akan dengan mudah dibubarkan oleh permitnah degan Perppu ini. Pada UU ormas lalu, pagarnya agak cukup kuat, pembubaran itu harus melalui proses pengadilan," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Komnas HAM Nur Kholis juga berpandangan sama. Penerbitan Perppu, kata dia, dikhawatirkan akan mengawasi ruang gerak aktivis pro demokrasi ataupun gerakan-gerakan sipil lain ketika mengkritik kebijakan pemerintah.

Tak Masuk Prolegnas, Kegentingan UU Ormas Dipertanyakan

Ia tak mau, adanya aksi massa yang  turun ke jalan dilabelkan sebagai kelompok penentang pemerintah.

"Contoh ada gerakan mahasiswa atau petani atau mungkin di lapangan lepas kontrol. Oleh pemerintah dicap melakukan kekerasan. Dianggap dan dimasukkan dalam kategori misalnya radikalisme," ujarnya.

"Bisa jadi nanti ada aksi mahasiswa ada aksi bakar ban dibilang kelompok radikal. Konsekuensinya nanti apa organisasinya dilarang? Apa kampusnya dilarang?"

Meski demikian, Nur Kholis mengapresiasi sikap pemerintah yang tegas terhadap kelompok radikal dan intoleran. Namun, ia meminta pembubaran HTI yang telah dilakukan  harus melalui jalur pengadilan agar mendapat penjelasan dan hak membela diri.

"Pembatasan tersebut tidak boleh membahayakan perlindungan kebebasan berserikat," kata dia. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya