JK Akui Syarat Penggunaan Dana Haji Sangat Berat

Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Sumber :
  • VIVA/Fajar GM

VIVA.co.id – Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan rencana pemerintah mendorong investasi dana haji secara langsung ke sektor-sektor produktif, seperti infrastruktur, akan dilakukan supaya ongkos ibadah haji tetap terjangkau.

Cerita Pilu Istri dari YouTuber Palestina, Lebaran Malah Jadi Tahanan Kota

Selama ini, berlandaskan Pasal 48 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Haji, Kementerian Agama sendiri telah menginvestasikan dana haji di tiga instrumen keuangan, yaitu Surat Utang Negara (SUN), Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), dan deposito berjangka berbasis syariah.

Saat ini, melalui Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang pengurus dan dewan pengawasnya baru dilantik, penginvestasian dana haji akan diperluas, yaitu ke investasi langsung yang rendah risiko pula. Sebagai informasi, Pasal 48 UU Nomor 34 Tahun 2014 sendiri memungkinkan hal itu.

JK Ingatkan Umat Introspeksi Diri Sambut Ramadhan

Pasal itu mengatur bahwa penempatan atau investasi dana haji bisa dilakukan dalam bentuk produk perbankan, surat berharga, emas, investasi langsung, dan investasi lainnya yang sesuai dengan prinsip syariah.

JK menyampaikan, tanpa mekanisme itu, besaran ongkos haji yang harus ditanggung setiap jemaah haji bisa membengkak hingga dua kali lipat dari kisaran besaran yang selama ini umum berlaku.

JK Sebut Pemilu 2024 Terburuk Dalam Sejarah di Indonesia

"Kalau dihitung secara normal, ongkos naik haji itu dengan segala macam biayanya, di dalam negeri, ke luar negeri, biaya pesawat, dan makan di sana, itu sekitar Rp70 juta. Yang dibayar riil oleh jemaah haji, itu sekitar 50 persen," ujar JK usai menerima pengurus dan dewan pengawas BPKH di Kantor Wakil Presiden RI, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, 1 Agustus 2017.

Maka dari itulah, JK menyampaikan, perluasan penginvestasian dana haji sejatinya dilakukan untuk kepentingan jemaah haji sendiri.

Sementara, pemilihan investasi langsung sebagai bentuk perluasan itu dilakukan dengan pertimbangan dana haji sendiri adalah dana yang disimpan dalam waktu lama, bisa sampai 20 tahun. Penginvestasiannya ke sektor langsung dianggap bisa membuat nilainya stabil sehingga jumlah biaya yang dibutuhkan bagi jemaah untuk beribadah haji bisa mencukupi.

"Investasi itu bukan kepentingannya pemerintah, kepentingan jemaah ini. Supaya dapat membayar lebih murah. Itu yang terjadi sebenarnya," ujar JK.

Tidak Mudah

JK lantas menyebut contoh jenis instrumen investasi itu diantaranya penanaman saham pada suatu perusahaan, serta sukuk ritel. "Investasi itu memang, dalam undang-undang (persyaratannya) berat. Harus syar'i, harus aman, harus menguntungkan, aman. Ya ini memang, pilihan-pilihannya tidak banyak," ujar JK.

Menurut JK, penginvestasian dana pada sukuk ritel bisa dilakukan karena instrumen investasi itu tidak menghasilkan bunga yang tidak diperkenankan dalam hukum syariah, seperti pada deposito.

Sementara, penginvestasian melalui saham suatu perusahaan, termasuk perusahaan yang bergerak di bidang infrastruktur, bisa dilakukan karena jaminan pemasukan dananya dinilai menjanjikan dengan risiko yang minim.

"Jemaah ini 20 tahun menabung. Maka, begitu dia sampai pada waktunya, dia harus terjamin bahwa dia (jemaah) naik haji," terang dia.

Pasal 48 UU Nomor 34 Tahun 2014 mengatur penginvestasian dana haji bisa dilakukan dalam bentuk produk perbankan, surat berharga, emas, investasi langsung, dan investasi lainnya. Sementara, ayat (2) pasal itu mengatur penginvestasiannya harus dilakukan sesuai dengan prinsip syariah dengan mempertimbangkan aspek keamanan, kehati-hatian, nilai manfaat, dan likuiditas.

Data Kemenag sendiri menunjukkan total dana haji yang berasal dari setoran awal, nilai manfaat, dan dana abadi umat hingga akhir 2016 mencapai Rp95,2 triliun. Saat ini, BPKH masih merumuskan besaran yang akan dimanfaatkan untuk diinvestasikan secara langsung.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya