Eksekusi Mati Dikecam, Ini Kata Jaksa Agung

Jaksa Agung HM Prasetyo
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

VIVA.co.id – Kritikan beberapa LSM terkait eksekusi mati yang berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) mendapat jawaban dari Jaksa Agung HM Prasetyo. Menurut Jaksa Agung, pro dan kontra mengenai eksekusi mati menjadi hal yang wajar terjadi.

Survei LSI: Mayoritas Rakyat Percaya Kejagung Bakal Usut Tuntas Kasus Korupsi Rp 271 T

"Kalau ada yang kontra dan lain sebagainya memang seperti itu lah dunia memang seperti itu ada pro dan kontra. Itu yang menjadi pertimbangan kita," kata Prasetyo di kantornya, Jalan Sultan Hasanudin, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat, 13 Oktober 2017.

Prasetyo menjelaskan, sejauh ini hukum positif Indonesia masih memberlakukan hukuman mati. Ketika ada terpidana mati yang sudah berkekuatan hukum tetap dan semua hak pelaku sudah terpenuhi maka dilakukan eksekusi.

Survei LSI: Kepercayaan Publik terhadap Kejaksaan Naik Jadi 74 Persen

"Kita laksanakan, jaksa itu eksekutor melaksanakan apa yang harus dilaksanakan tentunya putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap," katanya.

Beberapa LSM yang getol menolak eksekusi mati salah satunya Institute for Criminal Justice Reform atau ICJR yang memang menolak tegas adanya hukuman mati di Indonesia.

DPR Minta Keluarga Tersangka Korupsi Timah Dicekal: Bisa Hilang dan Operasi Wajah

Peneliti ICJR, Erasmus AT Napitupulu menuturkan bahwa kondisi peradilan dan penegakan hukum belum mampu menjamin keadilan dan perlindungan terhadap HAM.

“Dalam kondisi ketidakpastian dan keraguan terkait eksekusi mati, maka pemerintah segera melakukan moratorium eksekusi mati untuk menghindari semakin banyak besarnya potensi pelanggaran HAM," ujar Erasmus.

Begitu juga Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menolak juga hukuman mati di Indonesia. Karena, dalam proses eksekusi mati yang dilakukan oleh pemerintah terhadap para terpidana mati masih banyak kejanggalan.

Seperti halnya, kejanggalan dalam proses eksekusi mati gelombang dua terjadi  terhadap terpidana mati warga negara Brasil, Rodrigo Gularte. Berdasarkan surat dari dokter kejiwaan Cilacap, saat itu menyatakan bahwa yang bersangkutan mengalami gangguan kejiwaan.

"Tetapi, kejaksaan saat itu tetap mengeksekusi Rodrigo," kata Wakil Koordator Bidang Advokasi KontraS, Putri Kanesia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya