Sidang DPR Aceh Diwarnai Pengibaran Bendera Bulan Bintang

Anggota Dewan Aceh mengibarkan bendera bulan bintang dalam rapat paripurna di gedung DPR Aceh pada Selasa, 31 Oktober 2017.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dani Randi

VIVA – Sidang paripurna keempat dalam agenda penetapan qanun Aceh tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (P-APBA) Tahun Anggaran 2017, diwarnai aksi pengibaran dan penyerahan bendera bulan bintang dari Dewan Aceh ke Wakil Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, di gedung utama DPR Aceh, pada Selasa 31 Oktober 2017.

Tak Ada Bank Konvensional, Pemprov Aceh Khawatir Atlet PON Tak Bisa Tarik Uang

Aksi itu dilakukan oleh Dewan asal Partai Aceh, Azhari Cagee. Ia memberikan langsung kepada Wakil Gubernur dengan tujuan agar Pemerintah Aceh membuat Peraturan Gubernur (Pergub) tentang pengibaran bendera Aceh secara legal. 

"Jangan hanya soal anggaran, pemilu dan sebagainya saja yang mengacu UU Pemerintah Aceh, bendera dan lambang Aceh yang sudah memiliki qanun malah dilarang berkibar, ini ada apa?" kata Azhari. 

Pemerintah Aceh Izinkan Bank Konvensional Beroperasi Kembali

Menurutnya, banyak warga yang ditangkap karena mengibarkan bendera bulan bintang. Padahal, katanya, bendera itu sudah memiliki payung hukum, yaitu Qanun Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penetapan Bendera dan Lambang Aceh. 

"Saya meminta agar Pemerintah Aceh segera mem-pergub-kan bendera dan lambang Aceh, agar hal yang tidak kita inginkan tidak terjadi, seperti penangkapan hanya gara gara menyimpan bendera bulan bintang," ujarnya. 

Tak Takut Mati, Jenderal Kopassus TNI Datangi Sarang Teroris Sendirian

Berdasarkan pantauan VIVA, aksi yang dilakukan Azhari dengan memberikan bendera bulan bintang ke Wakil Gubernur Aceh juga diapresiasi anggota dewan lain.

Menurut Ketua DPR Aceh, Tgk Muharruddin, proses lambang dan bendera Aceh sudah melalui proses perundangan, sebagaimana yang termaktub dalam MoU Helsinki. 

"Kita ingin menyatukan hakikat bendera itu, merah putih tetap di atas dan bersanding di bawahnya bendera Aceh," katanya.

Berdasarkan nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani di Helsinki pada 15 Agustus 2005, Aceh diberi sebuah status khusus dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam batas-batas tertentu, Pemerintah Aceh berwenang untuk mengatur diri yang memiliki perbedaan dengan daerah otonomi lain di Indonesia.

Status khusus yang diperoleh Aceh, di antaranya dibolehkan memiliki partai politik yang dilokalisasi keikutsertaannya dalam pemilu di wilayah Aceh, dan dibolehkan memiliki lambang, bendera, dan lagu daerah yang berlaku secara khusus di Aceh.

Setelah penandatanganan nota kesepahaman itu, Pemerintah Indonesia bersama DPR lalu mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada 1 Agustus 2006.

Sebagaimana dalam Nota Kesepahaman, Undang-Undang Pemerintahan Aceh juga mengatur bahwa Aceh berhak memiliki bendera, lambang, dan himne tersendiri, yang tidak boleh dianggap sebagai lambang kedaulatan Aceh.

Pada 25 Maret 2013, Pemerintah Aceh bersama DPR Aceh telah mengesahkan Qanun Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penetapan Bendera dan Lambang Aceh Aceh.

Bendera dan lambang Aceh yang disahkan dalam qanun itu pada dasarnya adalah bendera dan lambang yang dahulu digunakan oleh Gerakan Aceh Merdeka. Pengesahan Qanun tidak berjalan mulus dan menuai kontroversi yang datang dari pemerintah pusat, karena menilai lambang dan bendera Aceh mirip bendera gerakan separatis.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya