Kisah Nenek Subekti, Akses Keluar Rumah Ditembok Pengembang

Nenek Nunuk Subekti, janda 62 tahun asal Kota Malang
Sumber :
  • VIVA/Lucky Aditya

VIVA – Nasib kurang beruntung dialami nenek Nunuk Subekti, janda 62 tahun warga Jalan Bunga Dewandaru, 63, RT02/RW02, Jatimulyo, Lowokwaru, Kota Malang. Nenek yang tinggal seorang diri ini harus menerima kenyataan pahit. Halaman depan rumahnya ditembok pengembang perumahan.

Banjir Bandang Terjang Kabupaten Malang, 2 Warga Meninggal Dunia

Tembok setinggi dua meter berdiri di depan rumah Nunuk Subekti. Tembok itu dibangun sejak 2015 oleh salah satu pengembang perumahan berinisial DW. Sejak dua tahun terakhir ini lah Nenek Nunuk Subekti tidak memiliki akses untuk keluar rumah.

"Padahal saya punya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan rumah saya ini menghadap ke utara. Tapi justru ditembok dua meter," kata Nunuk Subekti.

Waspada, Anak Usia Ini Rentan Alami Stunting

Nenek Nunuk pun mengaku sejak rumah miliknya ditembok oleh pengembang, ia tidak leluasa untuk melakukan aktivitas di rumah. Selama dua tahun terakhir ia mengaku menumpang akses keluar masuk ke halaman rumah milik Siti Chandra, tetangganya.

"Selama belum dapat jalan dari pak DW saya dikasih jalan sama tetangga Siti Chandra, saya dikasih kunci pagar dan pintu agar bisa keluar masuk. Tanah saya ini dua kavling luasnya 399 dan 174 meter persegi, tapi ditembok semua panjangnya sekitar 25 meter," papar Nunuk Subekti.

Korban Gempa Malang Ditawari Bangun Rumah Instan Sederhana Sehat

Nenek Nunuk Subekti mengaku pernah melakukan komunikasi via telepon dengan DW. Namun DW mengaku menyerahkan semua urusan blokade tembok ke ketua RT dan ketua RW setempat.

"Pertama saya ajak rundingan, kemudian keluar minta uang Rp250 juta, rinciannya untuk beli tanah yang dibangun (tembok) depan rumah itu. Saya tidak punya uang, saya tawar Rp50 juta tapi tidak boleh," ujar Nunuk Subekti.

Nenek yang memiliki tiga putra dan tujuh cucu itu mengaku pernah meminta pertolongan ke Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Malang. Saat itu, Dinas PU membenarkan jika tembok blokade yang dibangun di depan rumahnya seharusnya menjadi fasilitas umum warga setempat.

"Saya sudah minta tolong ke lurah, ke Dinas PU juga, tapi tetap tidak dibongkar. Malah rumah saya pernah ditawar dengan harga per meter persegi Rp800 ribu, padahal di sini pasarannya Rp8,5 juta per meter persegi," ucap nenek Nunuk Subekti.

Kini nenek pun meminta bantuan dari seorang pengacara untuk melakukan gugatan atas perbuatan DW. Ia berharap pagar rumah segera dibuka, agar ia bisa segera melakukan aktivitasnya sebagai seorang penjahit.

"Saya sekarang tinggal pindah-pindah ikut anak. Ngontrak rumah juga pernah, kalau begini terus saya pensiunan kehilangan mata pencaharian. Saya tidak akan menjual karena ini peninggalan almarhum suami saya," kata nenek Nunuk Subekti.

VIVA mencoba menghubungi nomor ponsel DW yang diberi oleh nenek Nunuk Subekti. Namun, pihak DW mengaku nomor telepon yang dihubungi itu adalah nomor kantor, bukan nomor pribadi DW.

Menurut seorang pegawai yang menerima panggilan telepon itu, DW jarang berada di kantor. Seorang pegawai mengaku DW sebagai pekerja lapangan. Saat ditanya alamat kantor milik DW, seorang pegawai mengaku sedang sibuk, sehingga tidak memberi alamat kantor.

"Ini nomor kantor, bukan nomor Pak DW. Saya tidak tahu nomor pribadinya. Pak DW jarang ke kantor, tidak mesti. Maaf saya sedang sibuk," kata seorang pegawai pada DW, Sabtu, 4 November 2017.

Nenek Nunuk Subekti mengaku biasanya berkomunikasi dengan DW menggunakan nomor seluler yang diakui sebagai nomor telepon oleh salah satu pegawai DW. "Saya biasanya telepon pakai nomor itu," kata nenek Nunuk Subekti.

Selain melakukan mediasi dengan DW, nenek Nunuk Subekti pernah membuat surat permohonan perlindungan hukum kepada ketua RT, ketua RW, lurah, kecamatan, serta Dinas PU Kota Malang. "Tapi tidak ada respons semuanya, baik dari kelurahan dan kecamatan," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya