Jokowi Siap Tanggung Risiko Polemik Perppu Ormas

Presiden Joko Widodo dalam forum Kongres Trisakti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia di Manado, Sulawesi Utara, pada Rabu, 15 Nopember 2017.
Sumber :
  • VIVA/Agustinus Hari

VIVA – Presiden Joko Widodo menceritakan latar belakang penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas).

Guru Besar UMJ Ingatkan Gerakan Pro-Khilafah Masih Eksis di RI dengan Modus Baru

Kepala Negara berterus terang sudah memperkirakan terjadi protes maupun pendapat pro dan kontra atas penerbitan peraturan itu. Tetapi dia berkukuh memerintahkan pembantunya untuk menyiapkan rancangan perppu itu karena memiliki dasar yang kuat.

Saat berbicara dalam forum Kongres Trisakti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia di Manado, Sulawesi Utara, pada Rabu, 15 November 2017, Presiden berkisah tentang sejumlah kalangan yang mengingatkan potensi polemik memanas jika peraturan itu diterbitkan. Diingatkan juga tentang kemungkinan besar pemerintah digugat hukum gara-gara regulasi itu.

Rektor Universitas Pancasila Dinonaktifkan Buntut Dugaan Kasus Pelecehan Seksual

Tetapi Presiden meyakinkan dengan mengatakan, “Sudah, siapkan (draf Perppu Ormas); nanti saya yang bertanggung jawab (risikonya).”

Perppu itu, kata Jokowi, sesungguhnya berhubungan dengan kebijakannya menetapkan Hari Lahir Pancasila menjadi hari besar nasional. Kebijakan itu bukan seremonial belaka namun bagian dari rencana strategis untuk melestarikan Pancasila sebagai ideologi negara. Salah satunya ialah memberikan dasar hukum yang kokoh untuk menindak tegas kelompok maupun organisasi yang anti-Pancasila.

Menag Yaqut Buka Suara Soal HTI Diduga Gelar Kegiatan di TMII

"Pancasila," Jokowi mengingatkan, "adalah bagian dari sejarah bangsa dan sangat mendasar karena merupakan ideologi negara.”

Pro dan kontra

Presiden menerbitkan Perppu Ormas pada 10 Juli 2017. Segera setelah itu, pemerintah menyatakan membubarkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia karena asas atau ideologinya bertentangan dengan Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kebijakan itu segera menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Hizbut Tahrir, yang tak terima dan merasa dirugikan, menggugat keputusan pemerintah kepada Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Pada 24 Oktober, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan perppu itu menjadi undang-undang, setelah pemungutan suara dalam Rapat Paripurna. Dari total 445 anggota DPR yang hadir dalam rapat itu, 314 di antaranya setuju pengesahan Perppu, dan 131 lain menolak. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya