Kemenko PMK: RS Kita Siap Tangani Lonjakan Pasien Difteri

IMUNISASI DIFTERI JAKARTA
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Widodo S Jusuf

VIVA – Penyakit difteri telah merebak beberapa pekan terakhir di Indonesia dan merengut sejumlah korban jiwa. Namun, pemerintah menyatakan siap untuk melakukan penanganan lonjakan dari penderita Difteri ini.

Kemenko PMK: Perusahaan Wajib Sejahterakan Masyarakat, Jangan Hanya Ambil Untung

“Banyak rumah sakit tipe C di sejumlah kabupaten kota sudah siap untuk menangani penyakit tersebut. Kalau RS kelas B di kota-kota besar dipastikan bisa menanganinya karena sudah memiliki fasilitas yang lebih lengkap,” ujar Deputi bidang Koordinasi Peningkatan Kesehatan, dr. Sigit Priohutomo, Senin sore, 11 Desember 2017 di Kantor Kemenko PMK, Jakarta.

Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) berharap agar masyarakat jangan panik dan  mengikuti informasi tentang pencegahan dan penanganan serangan bakteri difteri. "Masyarakat jangan panik, pemerintah akan terus melakukan upaya pencegahan agar penyakit ini tidak menyebar semakin luas," kata Sigit.

Kemenko PMK Usul 5 Provinsi Baru Masuk Prioritas Penanganan Stunting

Sebelumnya, berdasarkan laporan yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan sampai akhir November 2017 menyebutkan, ada 95 kabupaten dan kota dari 20 provinsi yang melaporkan kasus difteri. Secara keseluruhan terdapat 622 kasus, 32 diantaranya meninggal dunia. Perkembangannya yang cepat ini itu membuat 20 provinsi menyatakan status sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri.

"Penyakit ini adalah wabah yang tergolong mematikan yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diptheriae dan pemerintah telah menetapkan statusnya sebagai Kejadian Luar Biasa," ujar Sigit.

Pemerintah Segera Buka Lumbung Pangan Atasi Kelaparan di Papua Tengah, Dijaga Tentara

Sigit menuturkan, untuk menangani hal ini pemerintah telah menetapkan kebijakan dengan melakukan Outbreak Response Imunization (ORI) atau imunisasi ulang secara masal dari umur tertua yang terkena penyakit tersebut. “Misal jika yang terkena paling tua adalah umur 19 tahun, maka kita akan melakukan ORI  mulai umur 19 tahun ke bawah,” jelas Sigit.

Lebih lanjut, Sigit mengatakan bahwa penyakit difteri ini paling sering menyerang tenggorokan. Pada tenggorokan tersebut muncul selaput bening yang sulit untuk dilepas. Jika dilepas akan berdarah. Penyakit ini pada tahap lebih kritis akan menutup jalan napas yang mengakibatkan pada kematian.

Bahkan, tambah Sigit, persoalan selanjutnya yang muncul adalah toksin (zat beracun) dari bakteri difteri ini yang antara lain bisa merusak otot jantung, sel saraf, gagal napas, kelumpuhan saraf tepi, dan infeksi di jantung. “Saya berharap sekali, masyarakat terus mengikuti prosedur yang telah diberikan,” tegas Sigit.

Sebagai pengawal kesehatan di Kemenko PMK, Sigit menjelaskan bahwa ORI ini akan diberikan melalui Imunisasi Dasar pada bayi (di bawah satu tahun) sebanyak tiga dosis vaksin DPT-HB-Hib dengan jarak satu bulan. “Jadi, dalam umur satu tahun ada tiga kali melakukan imunisasi, dari bulan ketiga, keempat dan kelima itu dilakukan imunisasi. Bahkan lebih baik bisa dimulai dari bulan pertama, kedua, ketiga," jelas Sigit.

Selanjutnya, imunisasi tersebut diperkuat (dibooster) pada anak umur 18 bulan sebanyak satu dosis vaksin DPT-HB-Hib; pada anak sekolah tingkat dasar kelas 1 diberikan satu dosis vaksin DT, lalu pada murid kelas 2 diberikan satu dosis vaksin Td, kemudian pada murid kelas 5 diberikan satu dosis vaksin dt (Difteri Tetanus). "ORI ini diberikan pada siapapun, meskipun daya tahan tubuh anak sudah ada tidak ada masalah diberikan vaksin lagi," tambahnya.

Terakhir, Sigit berharap masyarakat jangan ragu-ragu untuk melakukan imunisasi pada anak, terlebih saat ini sudah banyak muncul penyakit ini di sekitar kita. “Kenapa orang bisa terkena penyakit ini? Karena kegagalan protek imunisasinya. Bisa jadi karena masalah pada anak yang daya tahan tubuhnya menurun, atau imunisasinya tidak sesuai dengan yang telah dianjurkan,” terang sigit. (webtorial)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya