PBNU Dukung Amandemen UUD 45

LKKNU dan BKKBN Bangun Keluarga Terintegrasi
Sumber :
  • VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id
PBNU Kutuk Perusakan Vihara di Tanjung Balai
- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendukung gagasan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam mengamandemen Undang Undang Dasar (UUD) 1945. 

Perangi Terorisme, NU Kumpulkan Pemimpin Islam Moderat Dunia
NU setuju jika konsep Garis Besar Haluan Negara (GBHN) diaktifkan kembali dan kekuasaan negara tertinggi dikembalikan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) seperti di jaman orde baru dan awal reformasi.

PBNU Tawarkan Diri Jadi Juru Damai Iran Vs Arab Saudi
Hal itu diungkapkan oleh Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siraj, usai menerima Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, beserta rombongan di kantor PBNU, Jakarta, Jumat, 8 Januari 2016.

"Kami mendukung gagasan PDIP terkait GBHN (Garis Besar Haluan Negara), kami dukung MPR sebagai lembaga tertinggi negara, di amandemen lagi UUD 1945 tidak apa-apa," kata Said.

Menurut Aqil, PBNU mendukung ide mengembalikan gagasan GBHN, seperti di jaman orde baru karena kondisi dan kebijakan pembangunan pemerintah saat ini dianggap tidak jelas. Pemerintah disebut tidak punya konsep pembangunan menghadapi era globalisasi.

Belum lagi, buruknya komunikasi antarmenteri dan kepala daerah dengan pusat juga dituding sebagai akibat tidak adanya GBHN.

"Setelah tidak ada GBHN kebijakan kita arahnya tidak jelas, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Kalau tidak memperkuat watak kepribadian, kita akan terlindas globalisasi," tambahnya.

Sekadar informasi, GBHN adalah haluan negara tentang penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu. 

GBHN ditetapkan oleh MPR untuk jangka waktu lima tahun. Dengan adanya amandemen UUD 1945, di mana terjadi perubahan peran MPR dan presiden, GBHN tidak berlaku lagi.

Sebelumnya, Indonesia telah mengamandemen UUD 1945 sebanyak empat kali. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain, karena pada masa orde baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR, kekuasaan yang sangat besar pada Presiden.

Selain itu, adanya pasal-pasal yang terlalu luwes sehingga dapat menimbulkan multitafsir, serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi. (one)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya