Bencana yang Muncul Bila Pasal Penodaan Agama Dihapus

Anas Urbaningrum saat masih menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Sumber :
  • ANTARA/Wahyu Putro A

VIVA.co.id - Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum saat ini memang mendekam di balik jeruji besi, Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung. Meski demikian, bukan berarti dia menutup diri dari dunia luar.

M Kece Dituntut 10 Tahun Penjara

Misalnya terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat. Salah satunya adalah soal penodaan agama yang menjadi salah satu topik utama di seantero negeri.

Baru-baru ini, Anas menitipkan pesan kepada para sahabatnya yang menjenguknya di penjara. Pesan tersebut kemudian dipublikasi melalui Twitter pria yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum PB HMI tersebut, @anasurbaningrum.

Marak Kasus Penistaan Agama di Pakistan, Perempuan Muda Divonis Mati

Anas mengakui adanya desakan dari luar dan pemikiran dari dalam negeri agar pasal penodaan agama dihapuskan. Menurutnya, pemikiran dan desakan itu adalah wajar adanya dan harus dihormati karena punya dasar ideologi dan argumentasi alias tidak asal bunyi.

"Tetapi untuk Indonesia, pasal penodaan agama masih relevan. Perlu tetap ada," kata Anas, seperti dikutip VIVA.co.id, Senin, 15 Mei 2017.

Ferdinand Hutahaean Tulis Surat Permohonan Maaf dari Penjara

Anas mengemukakan yang perlu diperbaiki adalah rumusan dan implementasinya. Tujuannya agar lebih ketat, pasti, selektif dan bukan "pasal karet".

"Siapa pun tidak patut melakukan penodaan agama, dengan alasan apa pun. Ini berlaku bagi semua agama," tegas dia.

Anas menuturkan bahwa agama adalah bagian dari kemuliaan yang ditinggikan oleh pemeluknya. Oleh karena itu, wajib dihormati.

"Menghapus pasal penodaan agama berpotensi melahirkan bencana baru. Saling menghina malah bisa marak. Bisa menjadi faktor konflik yang lebih luas dan berbahaya," ujarnya.

Anas berpandangan penyempurnaan pasal penodaan agama adalah demi kepastian dan keadilan. Bukan menghapus. Agar tidak ada lagi kasus penodaan agama dan ribut-ribut karena merasa menjadi korban ketidakadilan.

"Negeri ini majemuk. Harus kuat terbangun spirit pluralisme dan toleransi. Saling hormat dalam kemajemukan adalah dasar yang kokoh untuk kerjasama membangun dan memajukan negeri," tutur pria kelahiran Blitar, 15 Juli 1969 tersebut.

Publik di Tanah Air saat ini masih diramaikan oleh kasus penodaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama. Usai divonis dua tahun penjara, para pendukung Ahok menggelar aksi-aksi demonstrasi di sejumlah wilayah negeri ini.

Meski demikian, tidak sedikit dari masyarakat Indonesia lainnya yang menuntut agar Ahok dipenjara. Sebab, ucapannya terkait ayat suci Alquran, Surat Al-Maidah ayat 51, dengan kata "dibodohi" dinilai sudah menghina dan melecehkan keyakinan mereka.

Kejadian terbaru adalah insiden penolakan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah di Manado, Sulawesi Utara. Massa menilai Fahri sebagai salah satu tokoh intoleran dan anti pemerintahan Jokowi sehingga layak diusir dari wilayah tersebut.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya