Tjahjo: Saat Berkuasa Demokrat Pakai PT 20 Persen

Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Yasir

VIVA.co.id – Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo tak mempersoalkan rencana Partai Demokrat yang akan menggugat pasal Presidential Treshold (PT) 20 persen dalam Undang-Undang Pemilu yang baru disahkan DPR RI.

Pertimbangan MK Tolak Gugatan Gatot Nurmantyo Soal Ambang Batas Capres

"Nggak ada masalah. Silakan saja. Dulu Demokrat pas mimpin juga 20 persen," kata Tjahjo Tjahjo usai mengisi materi dalam Workshop Satgas Saber Pungli se-Indonesia di Ancol, Jakarta, Rabu 2 Agustus 2017.

Mantan Sekretaris Jenderal PDIP ini menganggap, perbedaan pendapat saat ini wajar, namun ia mengingatkan tidak ada partai politik, tokoh masyarakat atau anggota DPR yang boleh menentukan hal tersebut salah atau benar.

MK Tolak Gugatan Gatot Nurmantyo Soal Ambang Batas Capres

"Soal nanti ada persepsi berbeda PT itu melanggar konstitusi atau tidak, itu bukan parpol, bukan tokoh masyarakat, bukan anggota DPR, bukan menteri. Yang berhak menentukan adalah Mahkamah Konstitusi (MK)," ujarnya menegaskan.

Selain itu, Tjahjo, menolak tuduhan beberapa pihak yang menganggap logika pemerintah salah terkait PT 20 persen dalam undang undang Pemilu. Menurutnya apa yang diputuskan pemerintah telah melalui berbagai tahapan dan mempunyai dasar hukum yang kuat.

Ketua MK Sebut UU Pemilu dan UU Cipta Kerja Paling Sering Digugat

"Pemerintah itu gak bodoh ya. Pemerintah pasti tahu undang-undang. Kami punya biro hukum. Tidak mungkin pemerintah memaksa pasal atau ayat yang bertentangan dengan konstitusi," katanya.

Sebelumnya, Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan berkonsultasi dengan MK untuk pengajuan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Pemilu yang disetujui oleh DPR pada 21 Juli 2017 lalu.

"Posisi kami tetap seperti kemarin untuk melakukan upaya hukum yang tersedia. Yaitu uji materi ke MK karena sampai hari ini kami belum dapat informasi yang valid Undang-Undang tersebut sudah ditandatangani Pak Jokowi (Joko Widodo) apa belum. Yang seharusnya juga ditempatkan di lembaran negara baru bisa disidangkan ke MK, karena objek sengketanya UU itu sendiri," ujar dia di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu 2 Agustus 2017. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya