Industri Pertahanan RI Dipandang Perlu Auditor Teknologi

Parade Alutsista TNI.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

VIVA.co.id – Industri pertahanan Tanah Air sedang mendapat perhatian para pengamat. Hal yang menjadi perhatian bukan soal kualitas alat utama sistem persenjataan atau alutsista industri pertahanan dalam negeri, namun tidak adanya auditor teknologi. 

Pengamat Ingatkan Para Capres soal Pertahanan dan Peperangan Masa Depan

Keberadaan auditor teknologi dipandang penting, untuk membuat industri pertahanan menjadi lebih transparan. Dengan absennya auditor teknologi, kemajuan industri pertahanan dipandang hanya informasi satu arah saja. Auditor teknologi dipandang menjadi tolak ukur sejauh mana kemampuan industri pertahanan dalam negeri. 

Mantan Menteri Riset dan Teknologi, AS Hikam mengatakan, selama ini industri seperti PT Dirgantara Indonesia, PT Dahana, PT Pindad dan lainnya mengaku telah mencapai kemajuan. Tapi menurut Hikam, itu bisa disebut sebagai klaim, sebab warga tak mendapatkan akses tolak ukur kemajuan tersebut. 

Kepala Staf TNI AU Datangi Kantor Prabowo, Jadi Beli Jet Tempur Baru?

"Jadi seolah kita diminta percaya saja pada klaim yang dipublikasikan," kata Hikam pada keterangannya, Rabu 26 April 2017. 

Absennya auditor teknologi di industri ini juga membuat dipandang menutup peluang industri pertahanan untuk makin berkembang. Misalnya PT Dirgantara Indonesia, yang cenderung melanggengkan kerja sama dengan Airbus. 

Asli Buatan Indonesia, Ini Penampakan Radar Canggih Armed TNI

Pengamat militer Connie Rahakundini menyatakan, tak adanya auditor teknologi malah makin memapankan kerja sama khusus PT DI dengan Airbus. 

"Sebab tiap penawaran kerja sama dari produsen alutsista selain Airbus dipandang sebelah mata," ujar dia. 

Ironisnya, kerja sama PT DI dengan Airbus yang berjalan selama empat dekade tapi dipandang minus benefit bagi industri pertahanan Tanah Air. Selama 40 tahun bekerja sama, Indonesia cuma menjadi agen penjual heli milik perusahaan itu, sementara proses transfer pengetahuan Airbus ke industri pertahanan hanya 7 persen. 

Benefit itu jauh dari skema kerja sama Airbus dengan BUMN Tiongkok. Walau kerja sama berlangsung 20 tahun, tapi Airbus sudah memberikan transfer pengetahuan ke Negeri Tirai Bambu itu 100 persen. 

"PT DI harus jelas mau spesialisasi ke mana, agar optimal. Jangan semua diambil sendiri lalu tak ada yang jadi," kata Connie. 

Dia berpandangan, jika ada auditor teknologi dan mendapat sokongan fasilitas dari BPPT, maka industri pertahanan akan lebih makin terbuka dengan klaim kemajuannya tersebut. 

Hikam menuturkan, dengan adanya Auditor Teknologi, industri pertahanan Indonesia bisa benar-benar bersaing di kancah internasional.

"Kalau sekarang, RI klaim unggul, dunia tidak akui, karena tidak ada tolak ukurnya," jelas Hikam.

Wacana auditor teknologi di industri pertahanan itu mendapat dukungan dari Wakil Ketua Komisi I Tubagus Hasanuddin. Menurutnya, auditor itu perlu sepanjang jangan sampai mematikan PT DI, tapi membantu membangun ulang PT DI menjadi lebih baik.
 


 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya