Keajaiban Dunia yang Hilang Ditemukan Lagi di Selandia Baru

Ilustrasi lahan bertingkat di Selandia Baru
Sumber :
  • www.theguardian.com/Pink and White Terraces (1886) by Charles Blomfield

VIVA.co.id – Peneliti meyakini keajaiban alam kedelapan dunia telah ditemukan kembali, 131 tahun setelah terkubur oleh letusan gunung berapi. Keajaiban dunia yang dimaksud yakni lahan bertingkat di sebuah pulau yang kini masuk kawasan Selandia Baru.

Dokter Indonesia Dapat Kesempatan Berkarier di Korea

Pada pertengahan 1800-an, lahan bertingkat yang disebut sebagai keajaiban dunia itu dipenuhi dengan hamparan merah muda dan putih di pinggir Danau Rotomahana, Pulau Utara, Selandia Baru. Lahan bertingkat tersebut pada masa itu menarik wisatawan dari seluruh dunia. Tapi sayang, lokasi tujuan turis di masa lalu itu hilang terdampak letusan Gunung Tarawera pada 1886.

Dua peneliti yakni Rex Bunn dan Sascha Nolden berpikir, lahan bertingkat itu saat ini terkubur sekitar 10 hingga 15 meter di bawah permukaan, di bawah lapisan lumpur dan abu. Peneliti tersebut mengatakan, diperlukan survei arkeologi untuk menggali lokasi tersebut.

Yayasan Sativa Nusantara Resmi Serahkan Policy Brief Ganja Medis

"Lahan bertingkat tersebut menjadi daya tarik wisata terbesar di belahan Bumi selatan dan kerajaan Inggris, dan melonjaknya turis membuat kunjungan ini berbahaya, seperti dari Inggris, Eropa, dan Amerika yang penasaran dengan teras. Tapi area ini tidak pernah disurvei oleh pemerintah saat itu, jadi tidak ada catatan garis lintang atau bujurnya," kata Bunn, dikutip dari The Guardian, Selasa 13 Juni 2017.

Bunn dan Nolden meyakini, area tersebut tidak hancur atau tenggelam ke dasar danau, seperti yang disarankan oleh penelitian sebelumnya, namun terkubur di tepi danau.

AS dan China Rebutan Lapak di Bulan

Petunjuk buku harian

Dalam menjalankan penelitiannya, Bunn dan Nolden menganalisis buku harian dari ahli geologi berdarah Jerman-Austria, Ferdinand von Hochstetter. Catatan kecil tersebut berisi deskripsi rinci tentang lokasi lahan bertingkat tersebut sebelum letusan 1886. Kedua peneliti itu menggunakan buku harian tersebut untuk menentukan perkiraan keajaiban dunia hilang tersebut.

"Penelitian kami bergantung pada satu-satunya survei yang pernah dilakukan di Selandia Baru, dan oleh karena itu kami percaya kartografi. Hochstetter adalah seorang kartografer yang sangat kompeten," ungkap Bunn.

Setelah makalah penelitian mereka ini diterbitkan di Journal of the Royal Society of New Zealand pada bulan ini, Bunn mengakui dia menerima banyak tawaran bantuan untuk melakukan survei lokasi keajaiban dunia itu. Kini dia sedang dalam proses merakit sebuah tim yang bersedia untuk mulai mengeksplorasi situs tersebut, begitu pendanaan pertama mencapai £40.000 atau Rp675 juta. 

"Kami melakukan pekerjaan ini demi kepentingan umum. Saya telah meminta restu kepada pemilik tanah leluhur, Otoritas Kesukuan Tuhourangi. Mereka mendukung dan senang dengan pekerjaan tersebut," ujar Bunn.

Bunn yakin lahan bertingkat tersebut masih bisa dipulihkan, berpotensi hanya mengalami kerusakan kecil setelah digali.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya