idEA Dukung Pajak Barang Tak Berwujud Buatan Asing

Ilustrasi video.
Sumber :
  • www.pixabay.com/septimo77

VIVA – Kementerian Keuangan sedang menggodok pungutan bea masuk barang tak berwujud (intangible goods) seiring dengan perkembangan e-commerce di Indonesia. 

Integrasi Tiktok Shop dan Tokopedia, DPR: Harus Bantu UMKM Adaptasi dengan Teknologi

Kementerian yang dipimpin Sri Mulyani itu menargetkan barang tak berwujud seperti piranti lunak, film, musik, dan lainnya untuk dikenai pungutan bea masuk. Barang tak berwujud yang kena bea terutama yang berasal dari luar negeri dan tersedia di platform marketplace atau e-commerce di tanah air. 

Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Aulia Marinto setuju dengan rencana pengenaan bea masuk untuk barang tak berwujud dari luar negeri. 

Sambut Mudik Lebaran, Perusahaan Ban Ini Rambah Dunia eCommerce

"Itu saja setuju saya mendukung. Karena semua kita harus mendukung, dia memanfaatkan pasar Indonesia," ujarnya kepada VIVA, Senin 11 Desember 2017. 

Untuk barang tak berwujud hasil atau buatan lokal, menurutnya, belum perlu dikenai pungutan skema pajak atau yang lainnya. Alasannya, industri lokal masih tahap tumbuh dan berkembang. 

Shopee Luncurkan Program Baru, Garansi Tepat Waktu

Secara lebih umum, Aulia berpandangan, semua hal yang memanfaatkan pasar, kekayaan dan sumber daya di Indonesia sudah seharusnya memberi kontribusi balik kepada tanah air ini. Entah itu dalam kategori bisnis barang tak berwujud maupun barang berwujud. 

Dia mengatakan, untuk pungutan bea masuk atas barang tak berwujud yang masuk ke Indonesia, sebaiknya tidak membatasi pada medium e-commerce saja. Sebab dia beralasan, sebelum munculnya tren e-commerce, bisnis barang tak berwujud sudah muncul di Indonesia.

"Jangan dibedakan, cuma yang nampang di e-commerce (yang dikenakan bea masuk) sebab sebelumnya (bisnis ini) sudah ada," tuturnya. 

Terkait isu pemajakan bisnis e-commerce, Aulia mengatakan saat ini idEA sedang intens berdiskusi dengan Kementerian Keuangan, untuk persoalan pungutan pajak tersebut. Jika pemajakan dikenakan pada penyedia platform, idEA kurang sepakat. Sebab selama ini perusahaan platform atau e-commerce dalam menjalankan bisnisnya sudah membayar pajak. 

"Kalau misalnya ada marketplace yang sudah bayar pajak, kemudian penjual yang belum membayar pajak dan pemerintah berpikiran memungut pajak mereka melalui perusahaan e-commerce atau marketplace, itu yang diskusikan dengan Dirjen Pajak," ungkapnya. 

Mengenai skema pungutan pajak kepada bisnis e-commerce, idEA berpandangan pemerintah harus menerapkan aturan yang setara ke semua platform atau equal playing field

Tanpa kesetaraan aturan ini, Aulia khawatir, dampaknya nanti bisa mengganggu pada platform penyedia.

"Jadi aturan yang berlaku untuk semua hal tentang platform. Kedua, itu (aturan) pun kalau diberlakukan, risiko kita kalau berlaku tidak berlaku semua. Contoh, aturan itu berlaku platform A, dan kemudian pelanggan lari dan menjangkau ke platform yang tak terjangkau aturan tersebut," jelasnya. 

Pemerintah Indonesia sedang memperjuangkan tidak diteruskannya moratorium internasional terkait pengenaan bea masuk untuk barang impor tak berwujud. Sebab, pengenaan bea masuk pada produk ini bakal mendongkrak penerimaan negara. 

Lobi-lobi terus dilakukan pada pertemuan World Trade Organization (WTO) yang dihadiri para menteri bidang terkait. Pertemuan tersebut saat ini sedang digelar di Buenos Aires, Argentina. 

Indonesia meminta moratorium pengenaan bea masuk atas barang tak berwujud yang diperdagangkan secara elektronik, tidak dilanjutkan pada tahun depan. Kebijakan itu diketahui diberlakukan mulai 1998 dan berakhir pada tahun ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan pemerintah akan mengawal peninjauan kembali moratorium ini, sehingga bisa lebih mendongkrak penerimaan negara.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya