Single Mux Jalan Pintas Lemahkan Industri Televisi

Ilustrasi industri penyiaran.
Sumber :
  • Pixabay/Gadini

VIVA.co.id – Pembahasan mengenai RUU Penyiaran masih menyisakan perdebatan antara pihak regulator dengan para penyelenggara televisi analog. Permasalahan ini muncul akibat revisi Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2012 yang berada di Badan Legislasi dinilai masih jauh dari cita-cita menumbuhkan industri penyiaran sehat dan demokratis.

Komisi I DPR Sempurnakan RUU Penyiaran dengan Target Disahkan pada 2024

Adapun poin yang menjadi sorotan dari revisi UU Penyiaran tersebut, yaitu adanya perubahan yang menetapkan LPP Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) sebagai satu-satunya penyelenggara infrastruktur multipleksing digital, atau dikenal juga dengan istilah single mux operator. Di mana hal ini dinilai akan memberikan celah aksi monopoli.

Badan Legislasi DPR RI tetap bersikukuh bahwa sistem single mux operator dalam draft RUU Penyiaran tersebut tidak akan menciptakan praktik monopoli.

Abdul Kharis Harap RUU Penyiaran Selesai di Periode 2019-2024

Padahal menurut Kamilov Sagala, Ketua Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI), sistem single mux operator ini pada akhirnya tidak akan menciptakan adanya suatu hubungan dan tata kerja yang sinkron bagi semua stakeholder dalam bidang penyiaran televisi FTA (Free to Air atau tidak berbayar),

Dalam Pasal 20 ayat (1) RUU Penyiaran menyebutkan bahwa “Model migrasi dari penyiaran analog ke digital adalah multiplekser tunggal”. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan pula bahwa “Frekuensi dikuasai oleh negara dan pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah”.

Industri Penyiaran Ditegaskan Berperan Penting Dongrak Ekonomi

Kamilov pun menilai jika frekuensi siaran (slot atau kanal) nantinya diserahkan ke satu pihak (RTRI), besar kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang.

"Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) menjadi tidak memiliki kemerdekaan dalam publikasi konten karena berada di bawah bayang-bayang kekuasaan mux operator. Serta tidak adanya jaminan terlaksananya service level agreement, baik terhadap penggunaan slot atau kanal pada infrastuktur multipleksing yang dikelola oleh operator tunggal," ucap Kamilov dalam rilis yang diterima VIVA.co.id, Rabu, 11 Oktober 2017.

Lebih lanjut Kamilov mengatakan, hal tersebut secara terang-terangan telah mengabaikan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

UU tersebut secara jelas mengatur bahwa segala tindakan, kebijakan, dan perbuatan yang mengarah pada praktik monopoli adalah dilarang.

Bukan hanya mengarah pada ancaman monopoli, tetapi proses digitalisasi yang semula diharapkan akan terlaksana dengan lebih cepat, juga dinilai menjadi lambat.

Itu karena, menurut Kamilov, mux operator harus mengakomodasi banyaknya media televisi FTA, yang tentunya akan membutuhkan kapasitas infrastruktur multipleksing (menara, antena, dan lain-lain) dalam jumlah yang sangat besar. Sementara infrastruktur televisi analog yang dimiliki oleh LPS menjadi tidak bermanfaat lagi.

Penerapan kebijakan tersebut dianggap mengorbankan demokrasi penyiaran yang telah dibangun demi mengejar peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Padahal terdapat solusi lain terkait RUU Penyiaran, yakni sistem hybrid.

“Sistem ini mengizinkan LPP dan LPS menjadi operator atau penyelenggara multipleksing untuk mengakomodasi seluruh kepentingan media penyiaran televisi FTA, baik kebutuhan komersil maupun tidak," katanya.

Penggunaan sistem ini dikatakan Kamilov akan menjamin ketersediaan kanal untuk program-program baru, termasuk untuk mengantisipasi perkembangan teknologi penyiaran masa depan seperti UHD4K dan UHD8K.

Bahkan solusi tersebut mampu menyediakan pengembangan ke teknologi Hybrid Broadband Broadcast Television (HbbTV) yang memungkinkan diselenggarakannya layanan M to M application dan interactive yang saat ini sedang diujicobakan di Jerman dan Polandia.

Belajar dari Nasib Single Mux di Malaysia

Penetapan RUU Penyiaran menurut Kamilov seharusnya melihat dari fakta yang sudah terjadi di lapangan. Dari data dari European Broadcasting Union (EBU), Asia Pasific Broadcasting Union (ABU) maupun International Telecomunication Union (ITU), diketahui bahwa sebagian besar negara yang sudah melakukan analog switch off, lebih memilih sistem hybrid dari pada single mux operator.

Hanya negara Jerman dan Malaysia lah yang memilih menggunakan sistem single mux operator. Namun, kedua negara tersebut memiliki hasil yang berbeda. Untuk Jerman sendiri memang berhasil menerapkan, lantaran 90 persen pemirsanya menikmati tayangan televisi melalui sistem kabel dan hanya 10 persen yang menggunakan layanan TV FTA.

Sedangkan Malaysia sampai hari ini gagal melakukan eksekusi analog switch off (ASO). Konsep single mux operator yang ditetapkan di Malaysia mengalami berbagai masalah sejak diluncurkan, yakni tingkat layanannya rendah dan harga sewa kanal yang tidak kompetitif.

Hal ini membuat para stasiun televisi termasuk stasiun televisi yang dimiliki oleh pemerintah tidak mau membayar harga sewa kanal.

"Hal seperti ini harus dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan industri penyiaran di Indonesia. Karena kondisi seperti ini akan berpengaruh terhadap iklim industri penyiaran," kata Kamilov.

Ia pun mengatakan bahwa regulator perlu menjadikan pengalaman Malaysia yang sudah merintis peralihan dari analog ke digital sejak tahun 1998 menjadi bahan pertimbangan.

"Kenyataannya di Malaysia, konsep single mux operator yang secara resmi memulai uji coba siaran digital pada tahun 2006 di Klang Valley sampai saat ini belum bisa berjalan efektif dan maksimal," ujarnya,

Kamilov pun berharap, Indonesia sebagai negara demokrasi mampu menghasilkan kompetisi yang sehat, bukan justru menghalangi. Menurutnya, kompetisi yang sehat akan memberikan layanan yang lebih baik kepada masyarakat dan menghasilkan layanan yang lebih inovatif, serta menggerakkan industri televisi menjadi lebih bergairah.

Ia menilai, regulator seharusnya lebih mengantisipasi hal lain yang dibutuhkan terkait migrasi dari analog ke digital, yaitu availability (ketersediaan layanan) dan affordability (kemampuan daya beli).

"Regulasi yang dihasilkan dalam revisi Undang-Undang Penyiaran seharusnya tetap menjaga iklim persaingan dan inovasi yang demokratis ini tetap berjalan dengan baik. Jangan dirusak hanya karena mengejar peningkatan PNBP semata,” ucapnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya