E-Commerce di Indonesia Cenderung 'Perang Harga'

Ilustrasi belanja online.
Sumber :
  • www.pixabay.com/Photo-Mix

VIVA – Hari Belanja Online Nasional kembali digelar pada Selasa 12 Desember 2017 atau hari ini. Sejak digelar pertama kali pada 2012 hingga kini, jumlah e-commerce yang ikut terus bertambah.

Harbolnas, Gramedia Terima Kasih Sudah Kalap Borong Buku

Tahun ini, sebanyak 254 pelaku industri daring ikut berpartisipasi dalam acara belanja online terbesar di Indonesia. Salah satu yang memancing konsumen untuk menggeser pola belanja dari offline atau mendatangi toko ke online yaitu diskon.

Tak bisa dipungkiri, strategi diskon sangat efektif untuk menggoda dan menarik pelanggan baru serta, ujung-ujungnya, mendongkrak keuntungan.

Jangan Khilaf di Harbolnas, Ada 'Ancaman' Lain Mengintai

Namun, diskon dan penawaran khusus yang diberikan para pelaku e-commerce kerap berujung pada perang harga, siapa yang paling murah.

Akibatnya, persaingan bisnis menjadi kurang sehat. Hal ini diungkapkan Chief Executive Officer (CEO) Locale, Fandi Achmad, kala berbincang dengan VIVA, belum lama ini.

Diskon dan Promo Khusus Penyebab Ritel Tutup, Benarkah?

Menurutnya, strategi bisnis e-commerce di Tanah Air sudah salah sejak awal. Ia mengatakan, seharusnya, tujuan konsumen belanja daring adalah karena praktis, tapi dengan harga yang wajar.

"Di luar negeri, konsumen beli barang online, ya, karena praktis. Di sini (Indonesia) cenderung lebih ke perang harga. Siapa yang paling murah," katanya.

Dengan demikian, Fandi melanjutkan, konsumen terjebak dalam 'siapa yang paling murah'. Hal ini membuat bisnis menjadi kurang sehat dan berdampak pada kualitas.

"Kalau pakai jasa transportasi online, misalnya, itu berdampak ke pelayanan. Kalau beli barang, pengaruh ke brand atau merek, khususnya yang sudah punya nama," tutur pria yang merintis bisnis streetwear ini sejak 2012.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya