Muncul Fenomena Menggeser Cara 'Branding' Masa Depan

Luiz Moutinho, pakar bidang BioMarketing dan Futures Research dari Irlandia
Sumber :
  • dok.ist

VIVA.co.id – Sebuah penelitian yang dilakukan Kantar Worlpanel pada 2016, menyebutkan bahwa di negara-negara berkembang, orang semakin menjauhkan diri dari berbagai brand. Yaitu, 55 persen di Jepang, 54 persen di Inggris, dan 44 persen di Amerika Serikat.

Gak Main-main, Ternyata Jerawat Bisa Bikin Trauma Karena Stres

Yang lebih mengejutkan, barang-barang kebutuhan dengan putaran omzet cepat, atau fast-moving consumer goods (FMCG) dengan merek di masa depan akan kehilangan 50 persen pembelinya.
 
Demikian diungkapkan Luiz Moutinho, pengajar dan pakar bidang BioMarketing dan Futures Research dari DCU Business School, Irlandia, pada seminar Branding Update: A New Perspective in Branding World dengan topik The Future of Branding yang diselenggarakan Program S1 Branding Sekolah Bisnis dan Ekonomi, Universitas Prasetiya Mulya di Kampus Cilandak.
 
“Artinya, branding yang tak memperhatikan konsumen dan semakin jauh dari keterlibatan konsumen adalah lonceng kematian bagi brand sebuah produk. Bila demikian merek menjadi tak berguna lagi”, kata Mautinho melalui keterangan tertulis yang diterima VIVA.co.id, Minggu 4 Juni 2017.

Branding, atau kegiatan penguatan merek yang dilakukan dengan komunikasi satu arah dan sumber yang tak dipercaya konsumen akan mematikan sebuah merek, atau brand.

5 Fakta Siswi SMK di Tuban Curi Uang dan Emas Demi Gaya Hidup

“Era fuzzynomics yang membombardir informasi ke konsumen tanpa arti dan hanya bertujuan untuk mengarahkan publik untuk membeli sebuah produk sedang berakhir. Kondisi itu memisahkan secara tajam hubungan antara produsen dan konsumen. Baik merek maupun konsumen sama-sama tak punya konsep yang jelas”, tambah Moutinho.
 
Kini, konsumen ikut menentukan merek. Era branding dengan iklan monolog, dan berkhotbah gaya megalitik tak tersentuh sementara konsumen hanya boleh mendengarkan, kini sedang dan sudah berakhir.

“Konsumen sekarang berinteraksi langsung dengan merek, lebih aktif memberi masukan, mengusulkan produk dan layanan yang dikehendaki atau sesuai dengan seleranya, menyentuh langsung pembuat kebijakan produk lewat saluran-saluran feedback yang ditawarkan produsen”, kata Moutinho.
 
Era itu dimulai dengan fenomena internet, yang membebaskan konsumen dan membuka semua kemungkinan partisipasi dalam proses branding sebuah produk. “Contoh paling nyata misalnya, 44 persen pengguna internet di AS membagikan pemikiran dan pengalamannya tentang merek lewat media sosial,” ungkap Moutinho menambahkan.

5 Cara Sederhana Terapkan Gaya Hidup Sehat di Tahun Baru

Begitu pentingnya branding untuk produk dan perusahaan, Program S1 Marketing Sekolah Bisnis dan Ekonomi, Universitas Prasetiya Mulya mengembangkan kurikulumnya. Menurut Fredy Utama, Manajer Program S1 Branding Universitas Prasetiya Mulya, sejak 2016 lalu S1 Marketing menjadi S1 Branding, agar menjadi lebih komprehensif dan siap menjawab tantangan industri yang selalu berubah.
 
“Para mahasiswa ditantang untuk menjadi seorang brand strategis handal,  tidak hanya mampu memasarkan produk namun juga piawai mengidentifikasi konsumen, menciptakan produk unik, dan mengkomunikasikan produk secara terintegrasi dan terarah. Hal ini menjadikan konsumen lebih aware, interest dan melakukan pembelian,” ujar Fredy.

Tekanan darah

Jangan Anggap Sepele, Kenali Gejala Hipertensi Sekunder

Tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan komplikasi kesehatan yang lazim, namun banyak kasus yang tidak terdiagnosis.

img_title
VIVA.co.id
10 Maret 2022