Petualangan Ratu Hijab Online Cicipi Manisnya Vanilla

Atina Maulina dan Intan Fauzia Kusuma
Sumber :
  • instagram.com/intankf

VIVA.co.id – Di sebuah restoran di kawasan Pondok Indah, seorang wanita muda didampingi sang kakak menyapa hangat VIVA.co.id dan beberapa teman media sebelum membuka pop up store perdananya, beberapa waktu lalu. Setelah mereka duduk di sudut restoran, obrolan pun mulai mengalir.

Gandeng Selebriti, Vanilla Hijab Luncurkan Busana Muslim Siap Pakai

Wanita berhijab itu memulai perbincangan mengenai awal mulanya membangun bisnis hijab online atau daring bernama Vanilla Hijab. Dengan gaya bicara yang luwes, wanita bertubuh mungil ini mengungkapkan jatuh-bangun dan pahit-getirnya merintis bisnis yang kini terasa manis.

Meski masih muda, tapi dia tampak memiliki tekad yang kuat untuk mandiri. Pemikirannya pun sangat dewasa dibanding wanita muda seusianya. Begitu juga dengan penghasilannya yang bisa bikin geleng-geleng kepala.

Laris di Online, Vanilla Hijab Buka Pop Up Store

Usianya baru 24 tahun, tapi sudah berhasil mengumpulkan pundi-pundi rupiah yang nilainya bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah setiap bulannya. Itu semua buah dari ketekunannya berjualan hijab sejak usia cukup muda, 18 tahun.

Dan sosok di balik kesuksesan merek hijab paling diburu pembeli online di Indonesia itu adalah Atina Maulina. Konseptor dan pendiri Vanilla Hijab ini mengaku tak pernah membayangkan produknya akan begitu dicintai Muslimah Tanah Air. Dia juga tidak pernah menyangka, sakit yang pernah diderita hingga membuatnya banting setir berjualan online dengan modal nekat justru membawanya dinobatkan sebagai salah satu pengusaha muda sukses di Indonesia.

Ketua DPRD Jambi Hadiri Akad Nikah Pernikahan Putri Sulung Gubernur Al Haris

Itu lantaran hijab yang dijualnya selalu laris manis bak kacang goreng. Sehingga tak berlebihan rasanya jika Atina bersama kakaknya yang menjabat sebagai CEO Vanilla Hijab, Intan Fauzia Kusuma dijuluki sebagai ratu hijab online Indonesia. Dan berikut ini petikan wawancara dengan Atina.

Bagaimana awal cerita berjualan hijab online (daring)?

Awalnya saya kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan perminyakan. Namun pada tahun 2012, saya sakit rheumatoid arthritis (rematik) sampai tidak bisa jalan. Itu sakitnya berkepanjangan dan tidak sembuh-sembuh. Akhirnya, saya dipindah ke Jakarta dan kuliah di Jakarta mengambil jurusan manajemen tapi tidak suka dengan jurusan itu, sehingga saya cari pelarian dengan jualan hijab. Dahulu cita-citanya jadi insinyur perminyakan, tapi sekarang sudah tidak lagi.

Kenapa pilih hijab karena saya berpikir bahwa hijab itu tidak ribet, tidak ada ukurannya seperti baju ada S, M, L, sepatu ada nomor, kalau hijab itu saja, simple. Dan satu-satunya jalan yang bisa ditempuh saat jadi mahasiswi adalah jualan online, akhirnya bikin jualan hijab online.

Dahulu saya tidak tahu caranya jualan online, berapa ongkosnya dan kirimnya bagaimana. Saya pura-pura jadi pembeli di toko online lain, saya tanya ongkos dari Jakarta ke Balikpapan berapa? Baru saya jawab ke konsumen saya. Saya benar-benar tidak tahu, cuma nekat saja saking inginnya bisa punya uang sendiri.

Berapa modal pertama?

Saya benar-benar tidak pakai modal karena saya berobat sudah menghabiskan uang orangtua sangat banyak, saya mau usaha ini dapat uang, tidak mau mengeluarkan. Akhirnya saya ke Mayestik, ke toko kain, saya cuma foto-foto. Foto-foto itu modalnya.

Saya foto-foto kainnya, saya masukin ke akun saya di Instagram (IG). Saya komentar di IG orang. Akhirnya kalau ada yang beli, mereka bayar dulu. Uang dari mereka, saya pakai untuk beli kain di Mayestik. Seperti itu terus sampai kira-kira dua bulan. Uang terkumpul, baru berani ke Thamrin City, beli hijab jadi.

Beli hijab jadi pun saya tidak berani stok, akhirnya saya cari di Google, saya pasang dahulu fotonya dan kalau ada yang beli, baru saya berangkat ke Thamrin City. Padahal saya juga tidak tahu di sana ada atau tidak yang jual hijab itu. Nekat saja. Saya ambil barang dari Thamrin City, pasar Tanah Abang lalu dijual. Sebelum punya rumah produksi, saya menggunakan jasa tukang jahit keliling yang pakai sepeda, yang saya cari sendiri karena tidak punya kenalan. Saya minta tolong mereka menjahitkan hijab.

Akhirnya, dia panggil temannya-temannya yang lain, dan dikerjakan di kos-kosannya. Lama-lama dia mengumpulkan temannya jadi banyak, berempat atau berlima di tahun kedua. Akhirnya, dia jadi kepala produksinya dan kita bina. Kita belikan mesin potong, mesin jahit. Itu tahun 2014 atau 2015.

Kemudian makin berkembang. Saya blusukan ke mana-mana karena memang benar-benar tidak punya penjahit. Kita kumpulkan dan minta bantuan, kita support, kita sewakan tempat dan kasih modal. Sekarang total penjahit dan finishing hampir 50 orang. Pekerja yang diserap sekitar 60 orang termasuk staf.

Bagaimana tanggapan keluarga?

Mama saya mendukung tapi awal-awal pasti keluarga dan orang terdekat berpikir ini cuma buat main-main saja. Paling angin-anginan tapi saya lakukan saja. Saya juga tidak bilang-bilang saya jualan, diam-diam saja. Bahkan, awalnya cari-cari kain masih ditemani mama. Akhirnya, Kak Intan ikut terjun membantu karena kasihan melihat saya sudah mulai ramai dan capek.

 

????

A post shared by Intan Kusuma Fauzia (@intankf) on

Arti Vanilla

Alasan memilih nama Vanilla?

Awalnya karena vanilla itu kan manis, kita ingin produk kita itu bisa membawa efek yang positif untuk kehidupan para perempuan di Indonesia. Kalau pakai Vanilla itu mood-nya bagus, cheerful, ceria, sweet as vanilla. Mood yang tadinya jelek, jadi bagus lagi karena hijabnya Vanilla karena nyaman, warnanya dan modelnya.

Dari mana inspirasinya?

Dari mana-mana, browsing, pinterest, sering lihat brand luar yang sebenarnya itu bukan brand hijab tapi saya pikir bagaimana caranya diaplikasikan untuk perempuan berhijab. Jalan-jalan ke mal yang paling sering, saya melihat orang-orang pakai apa sekarang.

Apa saja yang dijual di Vanilla Hijab?

Sekarang sudah ada clothing juga, lengkap. Ada blues, dress, pants, rok. Dan baru setahun ini ada produk tas.

Mulai kapan ekspansi ke bisnis clothing?

Akhir tahun kedua. Dan karena saya bukan desainer, saya melihat orang kalau kerja pakai rok, akhirnya produk pertama saya adalah rok. Rok yang superstandar dan ternyata peminatnya sangat banyak. Saya tidak bikin, saya Googling foto rok yang bagus, saya ke Thamrin city, di mana yang jual rok seperti itu dan ketemu. Pas dijual ternyata responsnya luar biasa. Saya berpikir, jual rok polos saja orang suka banget, berarti orang butuh yang simple.

Barulah saya cari bahannya, saya minta penjahit. Awalnya bikin rok soalnya paling gampang. Kalau baju pakai kancing, ritsleting, kalau rok gampang dan saya berjalan sekitar tiga bulan jualan rok. Dari rok ke blus lalu membuat kemeja.

Jumlah produksi dan penjualan dalam sebulan?

Kalau hijab bisa 10 ribu sampai 15 ribu per bulan, baik produksi dan penjualannya. Kalau baju memang lebih sedikit karena membuatnya lebih lama. Baju itu produksi dan penjualan sekitar 4.000-5.000 per bulan.

Berapa kisaran harga hijabnya?

Harga kita bisa dibilang middle, kalau hijab rata-rata harganya Rp65 ribu, Rp70 ribu, kalau premium Rp185 ribu tapi harga premium pun masih di bawah pasaran. Memang kita menargetkan bukan produk yang mahal atau eksklusif, justru saya senang kalau produk saya dipakai semua orang.

Saya senang kalau semua orang bisa beli, bukan mengeksklusifkan diri. Itu juga yang menjadi salah satu keunggulan Vanilla, produknya bagus, desainnya bagus, kualitas bagus, branding bagus. Branding mahal, saat beli ternyata tidak mahal. Ketika orang melihat Instagram, packaging, figur-figur yang dipakai, kita mem-branding Vanilla secara eksklusif dan baik, tapi secara harga kita tidak mengeksklusifkan diri.

Transaksi per bulannya sekarang?

Transaksi per bulan bisa 5.000-7.000. Kira-kira, bisa sampai dua kali lipat kalau Ramadan. Omzetnya dikira-kira saja, saya takut dibilang sombong atau pamer. Tapi Alhamdulillah bisa cukup buat saya yang masih muda ini untuk hidup, menghidupi keluarga dan berbagi untuk sesama.

Segmen yang dibidik Vanilla Hijab?

Perempuan sekitar usia 22 sampai 45 tahun tapi berdasarkan data yang kita punya paling banyak konsumennya adalah ibu-ibu muda, pekerja kantoran, anak SMA masih jarang, usia 40 tahun ke atas juga tidak terlalu banyak.

Kapan menyadari Vanilla Hijab banyak peminatnya?

Sepertinya di tahun kedua. Sadarnya, kok tiap jualan selalu habis. Misalkan, waktu masih ambil barang di Thamrin City, jual 500 habis. Awalnya memang enggak langsung 500 potong, kan berangkatnya dari satu potong, sampai 20 potong. Akhirnya berani beli 20 potong, kemudian 100 potong habis, 300 habis, 500 habis, berarti banyak peminatnya. Kemudian, memutuskan membuat rumah produksi dan cari penjahit.

Sudah punya rumah produksi berapa?

Rumah produksi baru punya di tahun kedua. Di tahun pertama, saya benar-benar dari nol. Sekarang rumah produksinya untuk hijab dan baju ada dua. Untuk yang hijab ada di Jakarta Selatan dan baju di Tangerang.

Apa yang paling disukai pelanggan Vanilla Hijab?

Mereka lebih suka yang simple, basic. Namanya bisnis, pasti ada naik dan turunnya. kalau turun, saya selalu evaluasi, kenapa produk yang ini tidak semeledak produk yang lain. Terus kita bandingkan dari segi model.

Kadang saya juga ingin bereksperimen ingin bikin yang agak unik, ternyata konsumen tidak terlalu suka sama yang unik-unik. Mereka lebih suka yang simple, manis, dan tidak aneh-aneh.

Apa ciri khas Vanilla Hijab?

Ciri khasnya simple dan warnanya. Kita selalu berusaha bikin hijab dan baju yang tidak terlalu ribet. Misalnya bahannya tipis, kita kasih dalaman. Kalau tidak ada tangan, kita kasih sambungan tangan. Jangan sampai orang beli baju saya, dia harus pikir dua kali, harus pakai manset dan pakai dalaman. Jangan sampai produk yang saya jual, orang tidak bisa pakai seperti bahannya terlalu menerawang.

Apakah penjualannya masih pakai sistem flash sale?

Sekarang sudah tidak. Sekarang kita berusaha ada ready stock di website. Kalau dahulu mungkin buat koleksi premium tertentu kita bikin jam-jaman, launching tanggal segini, tapi sisanya kita bisa beli kapanpun. Karena kita menyadari bahwa kita tidak bisa menunda kebutuhan orang, orang butuh hijab sekarang, masa saya suruh tunggu. Kalau dahulu harus seperti itu karena saya juga banyak belajar dari banyak pakar bisnis bahwa yang flash sale terus-terusan itu kurang baik dampaknya.

Strategi bisnis

Bagaimana kompetisi dan strategi bisnisnya?

Yang namanya kompetisi pasti ada tapi itulah tugas kita bisa berinovasi dari model, warna, dengan pop up store meningkatkan engagement, loyalitas, bikin program-program yang menarik. Yang penting adalah kita meningkatkan engagement kita sama konsumen, jadi kita benar-benar merangkul konsumen. Menganggap mereka seperti teman, memperlakukan mereka seperti kerabat dan konsumen sebaik mungkin.

Waktu saya mulai Vanilla, pilihannya memang masih sedikit, tidak seperti sekarang. Makanya Alhamdulillah, saya mulainya waktu itu. Jadi menanjaknya cepat karena belum banyak pilihan pada masa itu. Sampai sekarang kenapa Vanilla tetap eksis karena salah satu pelopor.

Strateginya, selain jualan di Instagram, juga di Facebook. Di Instagram kita bisa merambah negara lain karena kita pakai buzzer, influencer, atau kasih endorse-nya ke buzzer-buzzer yang followers-nya bukan hanya dari Indonesia. Jadi kalau saya memilih buzzer untuk Vanilla, saya selalu cari tahu dahulu buzzer ini tepat tidak buat saya karena sekarang banyak hijabers dan followers tapi tidak semuanya cocok sama saya.

Banyak yang terkenal tapi followers-nya anak SMA, saya tidak ambil. Hijaber ini terkenal tapi followers-nya bukan pembeli aktif, cuma ngefans, saya tidak ambil. Saya lihat followers-nya ada yang dari Malaysia, Singapura, itu yang saya pakai. Jadi pakai buzzer berpengaruh, kita bisa mendatangkan konsumen dari negara lain. Kita pakai buzzer mulai tahun kedua.

Dukanya?

Banyak. Misalnya, beli kain satu model baju bisa sampai 1.000 meter, 500 meternya warnanya luntur. Kita harus quality control dua kali supaya tidak ada barang cacat, warnanya menempel di tangan dan waktu dicelup luntur karena tidak bisa dikembalikan ke supplier karena sudah bentuk baju. Sedih ya sedih, akhirnya saya cuci, lalu kita sedekahkan saja.

Kita juga waktu itu pernah mencoba printing di baju, gagal. Akhirnya diakali, di mana bagian yang gagal diganti dengan batik. Bersedih sih boleh tapi tidak yang sampai mengeluh sekali.

Kapan momen merasa down dan bagaimana caranya bangkit?

Misalnya ketika saya eksperimen bikin baju, laku sih tapi tidak cetar. Balik lagi, saya pikir ini modelnya kurang bagus. Tapi motivasi yang bikin kita bangkit lagi adalah count your blessing not your problem. Di mana saya yakin nikmat yang dikasih lebih banyak. Ibaratnya, tidak laku sekali saja saya mengeluh sama Tuhan, kayaknya tidak pantas. Saya dikasih nikmat yang luar biasa banyak, selalu habis dan pembeli banyak, masa dikasih sepi sedikit sudah mengeluh. Kayaknya kok tidak bersyukur, jadi bagaimana caranya supaya balik lagi mood dan semangatnya, bersyukur saja.

Ada rencana buka toko offline atau luring?

Jujur sepertinya tidak karena modalnya gede banget. Saya menjaga produk saya tetap murah. Kalau buka toko bisa memperbesar biaya jadi harganya tidak bisa semurah sekarang.

Selain itu, saya percaya orang lebih suka beli online karena ke toko bakal kena macet, apalagi di Jakarta kalau buka butik selain di mal, itu keputusan yang agak salah. Sekarang kita beli makanan saja pakai ojek online, apalagi orang beli baju pasti memilihnya kalau bisa klik dari rumah kenapa tidak. Teknologi mempermudah hidup kita.

Pernah terbayang Vanilla akan sebesar ini?

Tidak pernah membayangkan, tapi saya selalu berusaha punya mimpi kalau saya itu harus jadi orang yang sukses, jadi orang yang hebat.

Rencana ke depan?

Sekarang saya bikin printing di hijab, saya mau bikin printing yang premium ada di clothing ke depannya. Di samping itu, saya ingin meluncurkan baju sport untuk perempuan berhijab. Biasanya baju sport warnanya hitam, biru atau yang gelap-gelap, saya mau baju sport yang feminin. Saya juga ingin bisa bikin baju renang. Saya ingin bisa menggaet banyak pasar.

Vanilla ke depan bisa membantu banyak orang, kayak CSR Menggapai Mimpi bukan hanya setahun satu sekolah tapi tiga sekolah. Karena sebenarnya buat Vanilla, esensi bisnis itu adalah membantu orang lain mewujudkan mimpinya. Kami yakin jika kita membantu orang lain, orang lain bakal bantu kita. Jadi apa yang kita mau, pasti kita dapat.

Vanilla ke depan juga mau membantu banyak orang, para UKM baru kita sangat open kalau diundang seminar usaha karena bagi Vanilla jualan itu sudah banyak, brand sudah banyak. Tapi buat saya brand itu bukan sekadar jualan. Kalau jualan, semua brand bisa, tapi brand yang bisa berteman dengan konsumen, brand yang bisa berteman dengan UKM lainnya, brand bisa bantu bangsa Indonesia, itu yang ingin Vanilla wujudkan. (umi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya