WHO: Lajang Masuk Kategori Infertil

Kasus kanker serviks masih menjadi penyebab kematian tertinggi.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA.co.id – Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) baru-baru ini mengubah definisi infertilitas atau ketidakmampuan menghasilkan keturunan. Menurut standar baru WHO, wanita dan pria lajang sehat yang ingin memiliki anak juga diklasifikasikan sebagai infertil atau tidak/kurang subur.

WHO Sarankan Ukraina Hancurkan Patogen di Lab untuk Cegah Penyebaran

Padahal, sebelumnya WHO mendefinisikan infertilitas sebagai kegagalan mencapai kehamilan klinis setelah 12 bulan atau lebih melakukan hubungan seksual tanpa alat kontrasepsi. Sebagai informasi, infertilitas juga selama ini dinyatakan sebagai disabilitas menurut WHO.

Lebih lanjut, WHO menyatakan, perubahan definisi ini nantinya memberikan setiap individu hak untuk bereproduksi dan memiliki keluarga. "Termasuk pria lajang, wanita lajang, pria penyuka sesama jenis, dan wanita penyuka sesama jenis," ujar salah seorang penyusun standar baru tersebut, Dr David Adamson, seperti dilansir laman Telegraph.

Kejar Target, RI Akan Kedatangan 2,88 Juta Dosis Vaksin Moderna

Adamson memandang bahwa hal tersebut merupakan sebuah perubahan besar. Menurutnya, ini adalah langkah awal dan setiap individu memiliki hak untuk bereproduksi meski tidak memiliki pasangan.

Keputusan WHO mengubah definisi mengenai infertilitas diperkirakan bakal membuat sejumlah negara terpaksa mengubah kebijakan mengenai siapa saja yang berhak mendapatkan program In Vitro Fertilization (IVF) atau bayi tabung. Termasuk salah satunya di Inggris Raya, di mana pengobatan fertilitas hanya diberikan bagi mereka yang terbukti tidak subur.

WHO Peringatkan Pandemi COVID-19 Masih Jauh dari Kata Selesai

Kritik pun berdatangan. Ada yang menyebut keputusan WHO tidak masuk akal dan absurd. Keputusan itu dikhawatirkan justru membuat pasangan yang memiliki masalah infertilitas kehilangan kesempatan untuk mendapatkan anak jika sampai sistem kesehatan yang didanai publik di Inggris, NHS, mengubah aturannya. 

"Saya secara umum pendukung IVF. Tapi saya tidak pernah menganggap infertilitas sebagai disabilitas atau penyakit, namun masalah kesehatan," ujar Gareth Johnson MP, mantan Ketua All Parliamentary Group on  Infertility yang berhasil memiliki anak lewat program fertilitas.

Johnson menilai, definisi baru dari infertilitas berisiko merongrong usaha yang selama ini telah dilakukan oleh National Institute for Health and Care Excellence (NICE) dan pihak lainnya untuk memastikan bahwa program IVF tersedia bagi pasangan infertil.

"Itu seperti menaruh IFV pada kotak yang tidak pas," ujarnya.

Josephine Quintavalle dari Comment on Reproductive Ethics menyebut langkah WHO itu sebagai sebuah omong kosong. Keputusan WHO, kata Quintavalle, bukan hanya mendefinisikan ulang infertilitas, namun juga mengabaikan proses biologis dan makna dari hubungan seksual alami antara pria dan wanita.

Sementara itu Juru Bicara Kementerian Kesehatan Inggris mengatakan akan mempertimbangkan saran terakhir WHO ketika standar baru itu dipublikasikan. Namun, ia menegaskan bahwa NHS tidak memiliki kewajiban untuk melaksanakannya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya