Ngopi Cerdas di Kafe Buku John Dijkstra

Kafe berkonsep perpustakaan John Dijkstra di Kota Lama, Semarang, Jawa Tengah.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dwi Royanto

VIVA.co.id - Kawasan Kota Lama Semarang menjadi ikon wisata unggulan yang tak pernah habis untuk diceritakan. Daerah yang dikenal sebagai Belanda Kecil atau Litle Netherland itu terus berbenah sebagai kawasan kuno namun juga kekinian.

Kedai Kopi Unggulan Indonesia Villa Sumatra Dibuka di Mesir

Salah satu bangunan bersejarah Kota Lama yang kini berbenah adalah bangunan rumah John Dijkstra di Jalan Taman Sri Gunting 10 Semarang. Orang Semarang menyebut bangunan itu sebagai rumah sosial ekonomi kaum tani nelayan dan buruh. Latar belakangnya karena memang gedung cagar budaya itu memiliki sejarah panjang perjuangan pahlawan pergerakan, John Dijkstra.

Sebagaimana fungsinya, bangunan John Dijkstra kini tetap difungsikan sebagai rumah perjuangan. Bangunan berlantai tiga itu multifungsi, yakni kawasan kantor Lembaga Pendamping Usaha Buruh Tani dan Nelayan serta lantai dua dan tiga sebagai perpustakaan dan kafe.

Bebas Usai 3 Hari Dibui, Asep Si Pemilik Kedai Kopi: Mending Bayar

Saban hari, kafe itu ramai dikunjungi kalangan mahasiswa juga pengunjung umum untuk bersantai, minum kopi hingga memperkaya wawasan dengan koleksi buku. Sebagai rumah perjuangan, kafe perpustakaan itu juga rutin digunakan sebagai tempat rapat para aktivis buruh, tani dan nelayan masyarakat Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Propaganda Jepang

Komentari Soal Asep, Sandiaga: Kalau Penertiban Bawa Bantuan

Elisabeth Yulianti Rahardjo (41 tahun), staf pengelola gedung John Dijkstra, menjelaskan bahwa John Dijkstra adalah seorang tokoh pastur Belanda. Dia juga sekretaris pahlawan nasional serta Uskup Agung pertama Semarang, Monsinyur Albertus Soegijapranata.

"Sejak awal bangunan ini merupakan gedung perpustakaan serta kantor sosial. Itu sesuai dengan perjuangan John Dijkstra yang dikenal sebagai pahlawan sosial," kata Yulianti kepada VIVA.co.id.

Kafe berkonsep perpustakaan John Dijkstra di Kota Lama, Semarang, Jawa Tengah.

Sembari merujuk manuskrip-manuskrip kuno, ia lantas mengisahkan ulang perjalanan hidup uskup agung serta sang sekretaris pribadi yang juga rekan perjuangannya, John Dijkstra. Singkat sejarah, saat sang tokoh menggerakkan aktivis pergerakan perekonomian masyarakat di Gereja Gedangan bersama Soegijapranata. 

Kala itu, aktivis gereja gigih memperjuangkan buruh, tani, nelayan, paramedis, dan pengusaha. Gereja Gedangan serta rumah John Dijkstra bahkan jadi saksi bisu saat rakyat melawan propaganda Jepang.

"Soegijapranata kardinal Jawa pertama di Gereja Gedangan. Beliau menetap di gereja dan jadi pejuang Katolik yang bergerak untuk mencari genjatan senjata dalam pertempuran Lima Hari di Semarang. Sedangan John Dijkstra rumahnya memang di sini, yang dikenal rumah Pancasila," katanya.

Seiring perkembangannya, gedung John Dijkstra dimiliki Konferensi Wali Gereja Indonesia, lalu diberikan kepada Keuskupan Agung Semarang tahun 1955. Sejak saat itu bangunan dikelola oleh Keuskupan Agung sebagai kantor sosial ekonomi.

"Detailnya sebagai kantor pusat gerakan sosial ekonomi Pancasila. Rumah diskusi dan rumah pertemuan. Sampai saat ini masih dipertahankan untuk menggerakkan roh sosial ekonomi melalui gerakan-gerakan riil," katanya. 

Ngopi mencerdaskan

Fungsi Kafe John Dijkstra sebagai penggerak sosial ekonomi masih terjaga. Bentuk gerakan itu karena fungsi kafe yang lebih banyak menjadi tempat berkumpul atau mangkal lintas komunitas. Mulai komunitas fotografi, seni rupa, komunitas lingkungan, pelajar dan para aktivis mahasiswa.

"Memang lebih banyak yang datang komunitas dan gerakan buruh, tani, dan nelayan. Acara beragam, tapi lebih banyak diskusi perjuangan," kata Pristiawan (38 tahun), pengelola Kafe John Dijkstra.

Salah satu yang membedakan Dijkstra Library Cafe dengan kafe-kafe lain di kompleks Kota Lama adalah konsep perpustakaan bacanya yang menyatu dengan kafe. Unsur kolaborasi antara bisnis dan sosial kental terasa jika berkunjung ke kafe itu.

"Kenapa konsep kafe perpustakaan, karena tujuan kita memang untuk meningkatkan minat baca di kalangan anak muda sesuai perjuangan awal Romo John Dijkstra. Jadi, ngopi di kafe kami bisa mencerdaskan," ujar Yulianti.

Sekira 80 persen koleksi buku Dijkstra tentang sosial-humaniora dan selebihnya seputar bisnis. Buku-buku lama kebanyakan bertema sosial berbahasa Jerman, Inggris serta Belanda. 

"Kita juga masih simpan buku soal gerakan ekonomi Pancasila ikatan buruh Pancasila tinggalan Romo John Dijkstra. Itu yang bisa kita selamatkan, ada ratusan, terbitan tertua 1980-an," katanya.

Salah satu koleksi buku yang kuno dan langka adalah berbahasa Belanda dan Inggris berjudul Liddell Harts History of the Second Word War (buku tentang sosial) serta General's Life an Autobigraphy by General the Army Omar N. Brandley and Clay Blair.

"Buku-buku itu yang tertarik justru para bule Belanda atau Inggris. Katanya di negaranya kini langka," ujarnya.

Kopi dan tempe

Meski kafe berkonsep pendidikan, desain ruangan disesuaikan kalangan muda. Konsep gedung masih terus dijaga, tapi juga konsep meja kursi kafe juga klasik. Dinding-dinding kafe juga dihiasi lukisan-lukisan kulit kayu yang merupakan karya seni terkenal dari Sentani asal Papua. Bahkan produk kerajinan tangan lainnya juga mudah ditemui di sini.  

"Gedung tiga lantai kita selalu aktif, kalau awalnya berkutat di karangan gereja tapi sekarang jadi kafe zona budaya tapi tetap gaul," katanya.

Kafe berkonsep perpustakaan John Dijkstra di Kota Lama, Semarang, Jawa Tengah.

Fasilitas kafe buku John Dijkstra dibangun di awal 2017. Kafe itu juga menyediakan tempat untuk penyelenggaraan acara, seperti pelatihan atau pertemuan bagi instansi perkantoran, pemerintahan hingga pelajar dan mahasiswa.

Menu makanan dan minuman di kafe ini pun cukup variatif. Seperti kopi khas petani lokal, makanan ringan ala desa, yakni singkong frementasi yang gurih dan empuk. Ada juga kudapan khas bernama aromatik tempe, yakni makanan tempe ditumis dengan macam-macam rempah. Pengunjung dijamin betah berlama-lama di kafe gedung sejarah itu.

Khusus menu kopi, ada dua varian, yakni kopi jenis robusta dan arabika. Kopi itu langsung diambil dari masyarakat pendampingan komunitas yang kerap berkumpul di kafe. Karena kafe John Dijkstra menjadi tempat berkumpul aktivis tani, nelayan dan buruh.

"Kopi robusta, Seloprojo lereng Telomoyo, Ngablak, Kabupaten Magelang. Kalau arabika kita ambil di petani asli Wirogomo, daerah di atas Gunung Kelir, Kabupaten Semarang," katanya.

Kafe itu dikunjungi rata-rata 50 orang per hari. Kafe dibuka mulai pukul sebelas siang sampai sebelas malam. Paling ramai pengunjung dan komunitas datang jika akhir pekan. Apalagi kafe itu juga menyiapkan housetel atau tempat penginapan bagi backpacker dengan tarif Rp30 ribu per malam. Tempatnya di lantai tiga berkapasitas 200 orang.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya