Merekam Pesan Suci di Candi Tertinggi Malang

Relief siksa neraka di Candi Jago
Sumber :
  • VIVAnews/D.A. Pitaloka

VIVAlife - Candi sebenarnya adalah tempat persemayaman bagi sosok raja yang dianggap  sebagai penjelmaan dewa Hindu- Buddha tertentu. Di Malang, sejumlah candi yang dibangun sejak abad delapan hingga 16 Masehi itu kini jauh dari kesan angker.

Utang Luar Negeri RI Februari 2024 Naik Jadi US$407,3 MIliar, Ini Penyebabnya

Candi banyak dilihat sebagai karya seni bernilai tinggi sekaligus jejak sejarah nenek moyang sebuah peradaban di masa lalu. Seperti Candi Jago yang merekam akulturasi tiga kepercayaan sekaligus dalam relief dindingnya. Akulturasi kepercayaan dengan cara damai tanpa melalui paksaan dan peperangan.

Candi ini berada di Dusun Jago Desa Tumpang Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang. Candi dengan nama Jawa Kuno Jaghu yang berarti keagungan adalah candi tinggalan kerajaan Singasari yang terakhir.

Seperti candi Hindu Buddha lain di Malang, candi ini juga berkiblat ke arah Timur,  menghadap Gunung Semeru. Puncak Mahameru sebagai puncak gunung tertinggi dipercaya sebagai persemayaman dewa dewi Hindu dan Budha.

Candi ini memiliki luas sekitar 14 meter dan tinggi 10,5 meter. Terdapat tiga teras dengan relief yang terpahat penuh di setiap dindingnya membuat candi Jaghu atau Jago jadi yang tertinggi, terbesar dan termegah diantara candi lain di Malang Raya. 

Inggris, AS Berikan Sanksi pada Tokoh Militer Terkemuka Iran Usai Serangan Terhadap Israel

Diduga ada bagian puncak candi setinggi 11 meter yang telah hancur. Arca Amogapasha diduga duduk sebagai arca utama di puncak yang kini hilang itu.

“Diperkirakan tinggi candi ini awalnya mencapai 21 meter. Sehingga dia akan terlihat dari manapun. Itu sebabnya namanya Jaghu, agung atau keagungan,” kata Suryadi, Juru Kunci Candi Jago, Jumat, 7 November 2014

Candi Jago dibangun sebagai tempat pemujaan pada Raja Wisnuwardhana yang dianggap sebagai perwujudan sang Budha Amogapasha. Raja ke IV Singasari ini diakabarkan meninggal pada 1268 Masehi. Arcanya ada, tetapi bagian puncak setinggi 11 meter itu belum bisa disatukan lagi.

“Akan sulit menyatukan fragmen puncak, karena pasti akan sangat meruncing ke atas dan kemungkinan besar roboh,” katanya.

Fragmen batuan dan arca banyak tersebar memenuhi halaman candi. Ada sejumlah arca besar kalanaga yang diduga jadi hiasan lantai yang hilang. Ada pula sebuah batu teratai besar tempat duduk arca utama Amogapasha dan arca Amogapasha yang bagian kepalanya tak lagi utuh.

Dalam naskah Negarakertagama, empu Prapanca, pengarangnya menyebut dinding Candi Jago sebagai candi dengan relief yang penuh. Nyaris tak ada ruang kosong di setiap dindingnya. Di tiga teras terdapat lima kisah pewayangan berbeda. Masing-masing kisah terdiri dari puluhan adegan yang saling berkaitan jika dibaca dengan cara prasawiya, membaca dengan berlawanan arah dari jarum jam.

Sempat Membaik Sebelum Meninggal, Kondisi Ibu Angger Dimas Drop Lagi Sejak Kematian Dante

Dipahat dua dimensi

Reliefnya pun unik, tidak seperti kebanyakan relif candi di Jawa Tengah yang dipahat dengan gaya tiga dimensi. Di Candi Jago relief dipahat menggunakan gaya dua dimensi serupa dengan boneka tokoh di wayang kulit.

Kisah yang diangkat adalah gabungan dari unsur Hindu dan Buddha. Bahkan pengaruh Islam pun melebur dengan harmonis di kisah yang terpahat di seluruh dinding candi. Dinding lantai pertama bercerita tentang 23 adegan kisah binatang atau fabel dari kisah Pancatantra.

Masing-masing punya pesan bijak agar terhindar dari masalah dalam kehidupan di dunia. “Ada kisah tentang kura-kura yang jatuh saat terbang bersama bangau karena tak teguh pendirian, ada kisah tentang kancil yang suka mencuri. Semuanya bisa dibaca dengan berlawanan arah jarum jam,” ujar Suryadi.

Relief gaya wayang dua dimensi khas Candi Jago

Relief dua dimensi di Candi Jago. Foto: VIVAnews/D.A.Pitaloka

Layaknya tempat suci lain, Candi Jago memuat berbagai kisah yang bertujuan menyucikan hati manusia. Dimulai dari kisah fabel, menggambarkan hubungan manusia dengan manusia. Ada pula kisah Kunjarakarna dan Angling Dharma, yang bisa mendengar bahasa hewan. Kedua kisah ini diangkat dari unsur Hindu.

Beranjak ke dinding lantai dua terdapat kisah Parthayajna dan Arjunawiwaha. Di antaranya  mengisahkan tokoh-tokoh dalam Mahabarata, yaitu Pandawa yang diusir dari istana dan dibuang ke hutan selama 12 tahun akibat kalah bermain dadu melawan Kurawa. Relief dinding tingkat ketiga mengisahkan cerita Kresnayana dengan tokoh Kresna pada masa muda. Ia juga tokoh utama selain Pandawa dalam cerita Mahabharata dari India.  Kisah ini kental dengan unsur Buddha.

Masing-masing lantai menggambarkan hubungan yang terus meningkat, dari hubungan antara manusia yang digambarkan oleh sosok binatang, manusia dengan manusia setengah dewa hingga perjalanan ke nirwana.

“Dengan kisah itu diharapkan ketika sampai di puncak teratas candi, jiwa manusia kembali suci setelah mempelajari kisah-kisah bijak dan berjanji akan menjauhi dosa,” katanya.

Di antara puluhan adegan di dinding lantai pertama, terdapat di antaranya kisah tentang neraka dari perjalanan tokoh Kunjarakarna, tokoh raksasa dari kitab pewayangan karya Mpu Kanwa sekitar abad 11.  Kunjarakarna yang taat beribadah suatu saat dibawa berkunjung ke neraka.

Di sana dia ditunjukkan berbagai jenis siksa. Mulai dari orang yang direbus dalam cawan berbentuk bulan sabit berkepala sapi, orang yang berkepala binatang dan membawa rumah atau tanah di atas kepalanya. Hingga yang berjalan di jembatan jungkit yang bertumpu pada satu batu. Banyak manusia yang tergelincir lantaran tak bisa menjaga keseimbangan saat menyeberang jembatan itu.

“Kisah ini serupa dengan jembatan shiratal mustaqim dalam Islam, ada hipotesa awal bahwa di abad 13 saat relief ini dipahat ajaran Islam mulai masuk dengan mudah melalui beberapa kesamaan, seperti konsep neraka dan surga,” kata arkeolog Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono.

Relief penggambaran Neraka dan Surga juga ada dan digambarkan di Candi Borobudur di Jawa Tengah, Candi Buddha yang dibangun sekitar abad 9. Namun tak ada yang serupa di Jago dan menyebutkan tentang jembatan ogal-agil. Di Brobudur surga dan neraka digambarkan lewat relief yang berkisah tentang karmapala, siapa menanam akan memetik buahnya.

“Wot (jembatan) ogal-agil hanya ada di Jago, yang dibangun sekitar empat abad lebih muda setelah Borobudur.  Masa terakhir kejayaan Hindu-Budha sebelum berganti dengan peradaban Islam. Di awal masuknya, baik Hindu, Budha dan Islam bisa dengan mudah diterima raja dan masyarakat di Malang tanpa melalui penaklukan dan peperangan,” kata Dwi.

Akses mudah

Akses jalan menuju lokasi Candi Jago tersedia dengan kondisi sangat baik. Jika berangkat dari Bandara Abdul Rachman Saleh Malang lama perjalanan bisa ditempuh sekitar 30 menit. Letak Candi Jago yang ada di tepi jalan raya di Tumpang memudahkan pengunjung untuk menjangkaunya.

Sejumlah angkutan kota juga menyediakan jalur sampai di lokasi tersebut. Jika berangkat dari Terminal Arjosari cukup melanjutkan dengan angkutan kota TA (Tumpang- Arjosari) warna putih. Dengan tarif sekitar Rp6.500 pengunjung bisa berhenti di Telkom Tumpang dan berjalan sekitar 100 meter ke arah candi yang sudah terlihat dari tepi jalan raya .

 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya