Suku Bunga The Fed Naik, Kado Manis atau Pahit?

Gubernur Bank Sentral AS Janet Yellen.
Sumber :
  • REUTERS/William West
VIVA.co.id
Wall Street Catat Rekor Anjlok Terlama Sejak Krisis 2008
- Untuk kali pertama sejak 2006, Federal Reserve (The Fed), atau Bank Sentral Amerika Serikat, akhirnya mengumumkan bahwa mereka menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin. 

Cari Pemain Saham Baru, BEI Gandeng Indosat dan Trimegah
Ini berarti, kenaikan target suku bunga jangka pendek naik dari 0,25 persen menjadi 0,50 persen.

IHSG Berusaha Bertahan di Atas 5.400, Pilih Empat Saham Ini
Keputusan tersebut, akhirnya mengakhiri perdebatan panjang tentang apakah ekonomi AS cukup kuat untuk pembiayaan pinjaman yang lebih tinggi. 

"Dengan kinerja ekonomi yang baik dan diperkirakan terus membaik, hakim komite telah menetapkan kenaikan FFR (fed fund rate) dalam porsi yang tepat," ujar Gubernur The Fed, Janet Yellen, dalam konferensi pers pengumuman suku bunga itu Rabu waktu New York.

Kenaikan tersebut mempertimbangkan peningkatan yang cukup di pasar tenaga kerja AS, di mana tingkat pengangguran jatuh ke lima persen. Hal itu pula yang menimbulkan optimistis pembuat kebijakan bahwa inflasi akan meningkat dalam jangka menengah sebesar dua persen sesuai dengan proyeksi Fed. 

The Fed menjelaskan, waktu kenaikannya masih tentatif, tetapi akan dilakukan secara bertahap. Sambil mencari langkah selanjutnya untuk memonitor inflasi, agar sesuai dengan target. Namun, ditegaskan langkah ini merupakan siklus dari pengetatan moneter yang akan dilakukan. 

Kenaikan FFR yang secara bertahap merupakan kompromi antara pembuat kebijakan yang siap untuk menaikkan suku bunga untuk bulan ini. Meskipun mereka merasa ekonomi masih berisiko tertekan inflasi yang lemah dan pertumbuhan global yang melambat.

Yellen mengatakan, Fed tidak punya keinginan untuk mengekang konsumen dari belanja, atau bisnis dan investasi. Dia menekankan, suku bunga tetap rendah, bahkan setelah kenaikan suku bunga. "Kebijakan tetap akomodatif, ekonomi AS telah menunjukkan kekuatan yang cukup besar. Belanja domestik terus naik," kata Yellen.

Sementara itu, kenaikkan suku bunga The Fed bak angin segar. Bahkan, indeks harga saham di sejumlah bursa utama Asia Pasifik, berada dalam teritori positif pada sesi pembukaan transaksi Kamis 17 Desember 2015.

, setelah Wall Street juga ditutup naik saat merespons keputusan The Fed tersebut. Seperti diketahui, indeks bursa saham Dow Jones ditutup naik 224 poin, atau 1,28 persen menjadi 17.749. Kenaikkan indeks dipimpin oleh saham Galdman Sachs. Lengkapnya, buka .

"Kenaikan Fed fund rate membuat ketenangan di pasar. Kalau The Fed menaikkan lagi, investor akan lebih tenang," kata Direktur Utama Bursa Efek Indonesia, Tito Sulistio di Gedung BEI Jakarta, Kamis 17 Desember 2015.

Tito mengungkapkan, kenaikan FFR memberi katalis positif ke pasar saham domestik yang tercermin dari kenaikan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang menembus satu persen di sesi pertama perdagangan.

"Kenaikan suku bunga The Fed sudah diprediksi sebelumnya. Jadi, ini justru menjadi bagus, karena ketidakpastian sudah tidak ada lagi," ujarnya.



Berakhirnya ketidakpastian 

Kendati demikian, Bank Indonesia menganggap keputusan The Fed  menaikkan tingkat suku bunga acuannya sebesar 0,25 persen tidak terlalu memberikan dampak yang signifikan kepada sejumlah negara, khususnya Indonesia.

Deputi Gubernur BI, Ronald Waas menjelaskan, keputusan The Fed cenderung tidak terlalu memberikan sentimen positif. Hal ini, karena kenaikan suku bunga telah terlebih dahulu diketahui. Alhasil, sejumlah negara akhirnya sudah mempersiapkan diri sejak awal.

"Dunia sudah menyiapkan diri dengan baik. Sehingga, seolah-olah tidak ada apa-apa. Sudah mempersiapkan diri, baik itu otoritas maupun pelaku pasar," ujar Ronald saat ditemui di Kompleks Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis 17 Desember 2015.

Menurut Ronald, dengan kenaikan ini suku bunga ini, setidaknya telah mengurangi salah satu ketidakpastian perekonomian global. Hal ini, akan memberikan suatu kepercayaan tersendiri untuk menuju ke perekonomian yang lebih baik.

"Ini keputusan yang ditunggu seluruh dunia. Satu hal sebagai sinyal keyakinan. Saya rasa secara umum, kalau ada keputusan pasti mengurangi ketidakpastian," ujarnya.

Meski demikian, tantangan perekonomian ke depan bukanlah dari hasil kebijakan The Fed semata. Ronald menegaskan, perlambatan yang terjadi di Tiongkok, serta ekonomi Eropa merupakan salah satu sentimen yang tetap harus diwaspadai. "Faktor menentukan ekonomi dunia selalu ada. Tiongkok dan Eropa juga menentukan. Kita tunggu saja," tutur dia.

Presiden RI Joko Widodo, menyambut baik langkah The Fed yang menaikkan suku bunga dikisaran 0,25 persen hingga 0,5 persen. Jokowi menilai, dengan langkah The Fed ini, maka perekonomian Indonesia punya kepastian.

"Bagus, sekarang sudah ada kepastian," kata Jokowi, di Hotel Pullman, Jakarta, Kamis 17 Desember 2015.  Presiden yakin, dengan keputusan The Fed in, maka akan berpengaruh positif terhadap situasi di Indonesia.

"Indeks harga saham naik, rupiah menguat, ditanggapi pelaku-pelaku keuangan ekonomi baik, sudah pasti, ada kepastian," kata Jokowi.

Sementara itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menambahkan, kenaikan tersebut sudah diperkirakan oleh pemerintah sejak rencana itu ramai dibicarakan. 

"Soal The Fed, sudah sesuai perkiraan. Dampaknya sudah diantisipasi. Market sudah antisipasi itu," ujar Bambang.

Menurutnya kenaikan tingkat suku bunga ini memang akan memberikan pengaruh tersendiri bagi nilai tukar rupiah. Namun, pemerintah mengklaim telah melakukan langkah antisipasi untuk meredam gejolak yang ditimbulkan dari keputusan tersebut.

"Nilai tukar rupiah itu nilanya sudah terefleksi sebelumnya, dengan antisipasi akan kenaikan ini. Pokoknya sudah diantisipasi," kata dia.

Kado akhir tahun

Dari kalangan perbankan, juga menyambut baik langkah yang diambil bank sentral AS tersebut, yakni menaikkan suku bunganya dari sebelumnya memilih menahan-nahan dan membuat kecemasan bagi negara-negara berkembang.

Adalah Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, Asmawi Syam. Dia berharap, keputusan bank sentral AS itu mampu membawa angin segar bagi perekonomian global, khususnya bagi Indonesia. 

"Dampak kenaikan The Fed ini global. Kalau global, justru memperbaiki ekonomi. Ini akan berdampak langsung kepada kita. Kalau dunia membaik, ini tentu dampaknya akan ada," kata Asmawi, saat ditemui di Kompleks Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis 17 Desember 2015.

Ia menjelaskan, dampak positif yang akan diterima Indonesia secara tidak langsung adalah adanya indikasi perbaikan harga komoditas dunia, setelah keputusan The Fed.

"Komoditi sekarang turun, tetapi kemungkinan akan rebound lagi (usai keputusan The Fed). Kita tidak bisa menganggap ini parsial. Permintaan mereka akan meningkat. Kalau meningkat, ini akan menaikkan ekspor kita," kata Asmawi.

Namun, menurutnya, keputusan The Fed dianggap tidak terlalu mengejutkan para pelaku pasar. Sebab, sinyal adanya kenaikan suku bunga memang gencar sebelum pertemuan akhir tahun Federal Open Market Committe (FOMC).

"Kita lihat, kenaikan The Fed sudah diantisipasi lama. Kita sudah melakukan persiapan. Artinya, sudah siap menghadapi kondisi kenaikan itu," tutur dia. 



Sementara itu, analis LBP Enterprise Lucky Bayu Purnomo menilai, Bank Indonesia sebagai bank sentral yang seharusnya memiliki peran utama yang berpartisipasi mendorong dan menstabilkan perekonomian nasional cenderung malah mencari aman.

Sehingga, kata Lucky, para pelaku pasar kini sudah tidak lagi menjadikan keputusan BI sebagai rekomendasi sentimen positif untuk bertransaksi mata uang Garuda.

"Karena (pelaku pasar) mau ngarepin, tetapi BI sendiri enggak berani mengambil sikap. Berulang kali rapat, yang diambil malah menahan (tidak menurunkan suku bunga BI Rate)," kata dia, saat dihubungi VIVA.co.id, Kamis.

Lucky mengungkapkan, seharusnya secara bijaksana, BI menurunkan suku bunga lantaran pada level saat ini nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat berada di angka Rp14.000, yang dinilai mengkhawatirkan. Sehingga, memengaruhi penurunan daya beli masyarakat.

"Ketika masyarakat mengalami penurunan daya beli, suku bank acuan punya tinggi karena BI Rate. Kalau BI Rate tinggi, artinya kan suku bunga bank antara 13 persen-4 persen. Bagaimana mereka mau mencicil motor, atau melakukan kegiatan usaha. Itu akan menimbulkan perlambatan ekonomi," tuturnya.

Lebih jauh, Lucky mengatakan, seharusnya BI meniru sikap Bank Sentral Amerika, The Fed yang dinilai bersikap tepat kepada negaranya. Sehingga, ia menilai wajar jika The Fed menaikan FFR. Sebab, selama ini The Fed menahan sejak lama.

Namun, Lucky menegaskan, BI jangan sampai ikut menikam suku bunga, lantaran The Fed telah menaikkan suku bunganya. Sebab, kondisi perekonomian antara Indonesia dengan Amerika sangat jauh berbeda.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Anwar Nasution mengungkapkan, banyak dampak terhadap perekonomian Indonesia, lantaran makin tingginya transaksi dolar.

Anwar merincikan, naiknya FFR selain menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, juga akan menyebabkan keluarnya modal dari Indonesia atau capital outflow

Kemudian, surat utang dan surat berharga negara pun kurang dilirik oleh pelaku pasar. "SUN (Surat Utang Negara) enggak laku. SBI (Surat Berharga Indonesia) pun tak laku. Sekarang, Bank Indonesia menjual SBI untuk menumpuk cadangan luar negeri," kata di Jakarta, Kamis.

Kenaikan suku bunga AS yang semakin menekan nilai mata uang Garuda pun berdampak buruk pada dunia usaha dan industri nasional. Sebab, bagi pelaku usaha besar, dan berutang menggunakan dolar, mereka akan terbebani.

"Bunga naik, rupiah melemah, bagaimana dunia usaha bayar utangnya. Siapa yang punya real estate, dari mana uangnya itu. Yang punya tambang, yang punya hotel, yang punya pabrik. Kebanyakan pinjam dari luar negeri, dari Singapura, pakai US$, jangka pendek," ujarnya.

Lebih jauh, Anwar mengimbau, agar Bank Indonesia untuk tidak ikut-ikutan menaikkan suku bunga (BI Rate) jika ingin membantu dunia usaha nasional dan industri sebagai motor penggerak perekonomian.

"Justru itu saya katakan, supaya jangan naikkan suku bunga terus, tingkatkan lagi efisiensi bank pemerintah. Kalau naik terus, ya matilah dunia usaha," kata dia.

Sementara itu, hasil rapat Dewan Gubernur BI, memutuskan tetap mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) untuk tidak berubah, alias masih di angka 7,5 persen.

"Rapat Dewan Gubernur BI pada 17 Desember 2015, memutuskan mempertahankan BI Rate di kisaran 7,5 persen," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Tirta Segara di Bank Indonesia, Jakarta, Kamis sore, 17 Desember 2015.

Tirta mengatakan, suku bunga pinjaman tetap berada di angka 7,5  persen. Sementara itu, suku bunga deposit ditahan di kisaran delapan persen.

Dia mengungkapkan, hal ini seiring dengan terjaganya stabilitas ekonomi, di mana inflasi 2015 diprediksi di bawah tiga persen dan target defisit transaksi berjalan yang mencapai dua persen dari produk domestik bruto (PDB).

"Bank sentral memandang ruang pelonggaran kebijakan moneter semakin terbuka," tuturnya.

Namun demikian, kata Tirta, bank sentral tetap mencermati perkembangan pasar keuangan global. Hal ini, terutama usai kenaikan suku bunga di Amerika Serikat dan kondisi domestik ke depan.

Seiring perjalanannya, bank sentral telah menahan suku bunga acuan BI selama 11 bulan. Sejak Februari 2015, BI Rate berada di angka 7,5 persen. Angka ini, turun 25 basis poin dari BI Rate Januari 2015, yang sebesar 7,75 persen. (asp)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya