Dunia Harus Siap Hadapi Tahun Terpanas

Para pengunjuk rasa membawa spanduk dalam demonstrasi perubahan iklim
Sumber :
  • REUTERS/David Gray

VIVA.co.id – Bulan pertama 2016 sudah hampir terlewati. Banyak hal yang sudah dilalui oleh penduduk dunia mengawali tahun ini. Namun ada satu hal yang membuat penduduk dunia patut memperhatikan kekhawatiran peneliti cuaca.

Sri Mulyani Kumpul Bareng Menkeu G20 hingga IMF di AS Bahas Dampak Konflik Israel-Iran 

Dalam konteks kondisi cuaca, peneliti sepakat 2016 bakal menjadi ujian yang makin berat bagi penduduk bumi. Sebab, peneliti menduga kuat tahun ini bakal menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah. Padahal tahun lalu saja, peneliti sudah menetapkan sebagai tahun paling panas.

Kekhawatiran peneliti cuaca atas meningkatkan suhu di bumi sudah lama digemborkan. Pada November tahun lalu, Badan cuaca Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), World Meteorological Organization (WMO) merilis laporan menunjukkan rekor cuaca 2015 melebihi panas tahun sebelumnya. Saat itu, Sekjen WMO, Michael Jarraud sudah melemparkan rasa takutnya.

Finance Minister Held Meeting to Discuss Impact of Iran-Israel Conflict

"Ini adalah semua kabar buruk bagi planet ini," kata Jarraud dalam pernyataannya dikutip Mashable.

Jarraud menjelaskan, suhu permukaan global rata-rata pada 2015 telah mencapai apa yang disebut WMO sebagai 'symbolic and significant milestone', atau sekitar 1 derajat celcius dari era pra-industrial 1880-1899, dan sekitar 0,73 derajat celcius di atas rata-rata 1961-1990.

RI Siap-siap Hadapi Dampak Buruk akibat Konflik Iran-Israel, Menurut Analis

Suhu permukaan 2015 disebutkan makin panas dibanding 2014, yang mana suhu rata-rata globalnya mencapai 14,57 derajat celcius. Sementara catatan  National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menunjukkan, pada Maret 2015, suhu rata-rata global mencapai 13,6 derajat celcius. Dari dinamika bulan ke bulan pada 2015 saja, sudah menunjukkan ada kenaikan suhu rata-rata global.

Tren suhu bumi yang kian panas diduga kuat bakal terus berlanjut pada tahun ini. Dilansir Ecowatch, Minggu, 24 Januari 2016, profesor Geografi dari Victoria University, Australia, James Renwick, mengatakan El Nino di Samudera Pasifik yang akan melanda dalam beberapa bulan ke depan akan sangat kuat pada 2016 ini akan membuat bumi semakin panas. Hal senada juga diungkapkan oleh profesor Adam Scaife dari Met Office.

"Secara keseluruhan, kami menilai El Nino akan memberikan kontribusi hingga 25 persen untuk pemanasan global yang akan mencatatkan rekor baru di 2016," kata Scaife.  

Bagi peneliti, hasil laporan WMO itu tak begitu mengejutkan. Oleh sebab itu, peneliti tak lelah untuk menyuarakan pentingnya negara dunia untuk melakukan aksi.

Peneliti bahkan tak peduli dianggap memberikan ocehan tak bermakna. Banyak penduduk bumi merasa teori mereka tak terbukti. Sebab faktanya, bagi peneliti, perkembangan suhu global kian tahun kian panas. Hal ini setidaknya menunjukkan suara keras mereka adalah benar.

"Jika banyak orang yang bilang perubahan iklim hanya hasil omong kosong manusia, jangan lihat dari sisi tersebut. Lihatlah kenyataan yang ada. Kenyataannya telah terbukti sekarang. Alat pengukuran cuaca, observasi satelit, data kenaikan air laut, tidak mungkin salah," kata Jarraud dikutip Reuters.

Peringatan suhu global yang kian naik juga disampaikan oleh Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) juga sudah mewanti-wanti soal makin panasnya bumi. Badan antariksa pemerintah AS memperkirakan pada akhir abad 21, suhu udara di bumi melampaui 45 derajat celcius.

NASA menyimpulkan, hal ini berdasarkan prediksi dari perubahan iklim yang kerap terjadi setiap waktu. Perubahan iklim mampu menaikkan kadar karbon dioksida dan menciptakan level suhu panas yang berbeda-beda di setiap wilayah, atau kota.

Dari kesimpulan itu, dikutip Daily Mail, NASA membuat sebuah peta yang bisa memperlihatkan gambaran suhu udara suatu wilayah sampai Juli 2100. Saat itu, kadar karbon dioksida di atmosfir akan mencapai 935 parts per million (ppm). Artinya, kandungan gas di atmosfir mencapai 0,1 persen.

Awal 2015, tulis NASA, diketahui bahwa kadar karbon dioksida di atmosfir bumi mencapai 400 ppm. Dalam prakiraan NASA, di akhir abad ini, kadar karbon dioksida di atmosfer akan mencapai dua kali lipat. Hal ini, berarti di beberapa wilayah seperti Afrika, Amerika Selatan, dan India, akan mengalami suhu panas rata-rata mencapai 45 derajat celcius. Demikian juga di New York, Los Angeles dan Mumbai yang hampir mencapai angka tersebut.

Bumi Memanas

Bicara soal musabab suhu bumi yang kian memanas. Para peneliti sepakat penyebabnya adalah faktor alam dan faktor manusia. Dari sisi faktor alam, El Nino jadi 'biangnya'. Diketahui El Nino merupakan fenomena penyimpangan kondisi laut, yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut di Samudera Pasifik, sekitar ekuator, khususnya di bagian tengah dan timur.

El Nino bagaikan dua mata koin, terkadang membantu menghangatkan atmosfer bumi, karena air dingin dari laut yang menyerap panas berlebih. Namun, terkadang pula membawa kondisi musim dingin yang ekstrem ke daratan Eropa bagian Utara.

Kombinasi kedua fenomena itu mendorong suhu global makin panas dibanding sebelumnya.

Adanya fenomena alam tersebut juga membuat perubahan di belahan bumi lain. Misalnya di daerah Samudera Atlantik, dalam beberapa dekade ke depan akan makin dingin dan mungkin hadirnya musim panas yang lebih kering di Irlandia, Inggris, dan Eropa bagian utara.

Peneliti NOAA mengatakan jika EL Nino tidak diantisipasi, selain menimbulkan kekurangan air bersih dan sulitnya pasokan pangan, warga dunia juga bisa terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), karena debu yang ditimbulkan dari lahan kering. Selain itu potensi kebakaran di daerah lahan gambut juga mesti diwaspadai jika kemarau panjang menjelang.

Riwayat El Nino, peneliti mengatakan itu sudah terjadi sejak 10 ribu tahun lalu. Namun observasi mengenai El Nino batu bisa dilakukan sejak adanya satelit cuaca.

Maka tak heran sepanjang sejarah, peneliti NOAA, Stanley Goldenberg, mengatakan baru bisa menentukan adanya dua El Nino paling dahsyat yang terjadi di dunia, yaitu fenomena 1982-1983 dan 1997-1998.

Dijelaskan Goldenberg, saat fenomena El Nino di 1982-1983, wilayah Ekuador dan Timur Peru ditempa hujan deras terus menerus. Hujan berkelanjutan memacu pertumbuhan tanaman dan menarik kawanan belalang. Populasi katak dan burung pun melonjak.

Suhu lembab dan basah menyebabkan nyamuk tumbuh subur dan jentik menyebarkan malaria. Lalu pada 1997-1998, El Nino kembali menyebabkan bencana, khususnya kekeringan, yang melanda banyak negara, khususnya Indonesia dengan suhu udara yang sangat tinggi.

Sama seperti NOAA, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) juga mengakui El Nino yang berkunjung di tahun 1997-1998 merupakan yang terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Saat itu area yang terkena dampak mencapai 11,6 juta hektar dengan total kerugian USD2,75 miliar.

El Nino yang tidak diundang dan kerap datang sekitar 5 sampai 7 tahun sekali, di tahun itu menyebabkan kebakaran lahan gambut sekitar 1,45 juta hektar dan menyumbang 2,5 gigaton emisi CO2.  

Selain faktor alam, biang lainnya yang patut menjadi perhatian yaitu faktor aktivitas manusia.

Data peneliti menunjukkan, penyebab tahun terpanas pada periode lima tahun ke belakang adalah luncuran gas rumah kaca ke atmosfer akibat aktivitas manusia. Peneliti WMO bahkan menyebut itu sebagai faktor dominan tren panjang cuaca panas di bumi.

Data itu sesuai dengan studi pada awal tahun ini yang dilakukan oleh Climate Central. Studi itu menunjukkan, rekor panas 2015 didorong oleh emisi gas rumah kaca. Belum lagi polusi dari kendaraan dan pabrik serta pembakaran hutan yang kini melanda banyak negara turut menyumbang besar untuk pemanasan global.

Jejak emisi gas rumah kaca sudah dimulai sejak Revolusi Industri pada abad ke-18. Dua abad lalu itu, aktivitas industri mulai mencemari iklim global. Efek gas rumah kaca itu awalnya meningkatkan bencana alam dan iklim yang tak stabil. Akibatnya kekeringan panjang, meningkatnya curah hujan hingga menyebabkan banjir besar sudah meraata terjadi di seluruh dunia. Termasuk Indonesia sudah merasakan dampaknya.

Dunia melawan panas

Negara dunia bukan tanpa upaya untuk melambatkan bumi yang kian panas tersebut. Penghujung 2015, 147 pemimpin negara dunia berkumpul di Paris, Prancis menghadiri Konferensi Perubahan Iklim 2015 atau disebut juga Conferences of Parties (COP) ke-21. Forum ini untuk menegaskan upaya negara dunia mengatasi perubahan iklim global termasuk mencegah bumi yang kian panas.

Dimulai dari gagalnya Protokol Kyoto yang berakhir tahun 2012, COP-21 ini akan menjadi titik kesepakatan baru bagi negara-negara di seluruh dunia untuk memenuhi komitmennya menurunkan emisi gas rumah kaca. Pembahasan ini sudah dimulai sejak terbentuknya tim Ad Hoc Working Group on Durban Platform for Enhanced Action (ADP) tahun 2011 di Durban, Afrika Selatan.

Konferensi itu menghasilkan Kesepakatan Paris, yang menegaskan komitmen negara dunia menjaga ambang batas kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celcius dan berupaya menekan hingga 1,5 derajat celcius.

Selanjutnya yaitu dicapainya kesekapakatan sistem perhitungan karbon dan pengurangan emisi secara transparan, upaya memperkuat kemampuan negara unttuk mengatasi dampak perubahan iklim.

Kesepakatan Paris itu juga mencapai memperkuat upaya pemulihan perubahan iklim dari kerusakan. Terakhir, kesepakatan itu juga memuat komitmen memberikan bantuan dana bagi negara membangun ekonomi hijau dan berkelanjutan.

Dalam panggung konferensi itu, Presiden Jokowi turut menyatakan komitmen negara untuk ikut menurunkan pemanasan global. Dia mengatakan Indonesia bertekad berkontribusi dengan mengurangi emisi karbon hingga 29 persen sampai 2030.

Salah satu cara Indonesia untuk memenuhi target pengurangan emisi itu yaitu ada beberapa cara. Untuk di bidang energi terbarukan, menargetkan sebanyak 25 persen sumber energi pada 2015 yang berasal dari energi terbarukan.

Namun demikian, upaya komitmen negara dunia itu masih dikritik oleh pejabat WMO, Michael Jarraud.

Menurut Jarraud, sebuah target untuk mengatasi kenaikan suhu cuaca ekstrem yang dramatis ini telah ditetapkan pada 2010. Sayangnya, tidak ada aksi nyata dari para petinggi untuk menghentikan perubahan iklim.

"Mereka memiliki skenario untuk membuat keputusan yang kuat, upaya untuk mengurangi gas rumah kaca dengan cepat dan tepat. Seiring dengan itu, mereka juga memiliki skenario lain terkait bisnis, dan berakhir dengan prediksi tambahan kehangatan cuaca sampai 5,6 derajat, atau lebih. Ini yang akan menjadi keputusan yang sangat penting ditentukan dalam konferensi di Paris," ujar Jarraud.

Menurut Jarraud, selain kesepakatan di konferensi iklim di Paris, warga dunia juga harus mulai mengupayakan diri untuk mengatasi perubahan iklim bersama. Beberapa cara di antaranya adalah menggunakan transportasi publik ketimbang kendaraan pribadi, dan membuat rumah yang sehat. Selain itu, industri harus bekerja sama mengurangi emisi gas rumah kaca. Mampukah Kesepakatan Paris 2015 kemarin mampu mendinginkan Bumi?

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya