Pengusaha Ancam Ajukan Uji Materi UU Tabungan Perumahan

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono.
Sumber :
  • Danar Dono

VIVA.co.id - Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang, Dewan Perwakilan Rakyat kemarin, Selasa, 23 Februari 2016, akhirnya mengesahkan Undang-Undang tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera), dalam sidang paripurna ke-19.

Hindari Hal Ini Ketika Beli Rumah Pertama Kali
Aturan tersebut saat ini tinggal menunggu ditandatangani Presiden Joko Widodo untuk menjadi UU.
 
Tata Ruang Pemda Bantu Jaga Harga Rumah Murah
Ketua Pansus Rancangan UU Tapera, Yoseph Umar Hadi, menjelaskan aturan baru itu akan memberikan jaminan hukum pada masyarakat dalam mendapatkan rumah.
 
Mekanisme Pasar Kerek Kenaikan Harga Rumah Murah
"UU ini akan memberi kepastian untuk mendapatkan rumah, tidak hanya mimpi, tapi kepastian," kata Yoseph, di hadapan rapat paripurna.
 
Adapun, beberapa poin penting dalam beleid itu adalah terkait dengan kepesertaan Tapera. Disebutkan dalam Pasal 7, setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum, wajib menjadi peserta.
 
Kepesertaan Tapera berakhir karena telah pensiun bagi pekerja, telah mencapai usia 58 tahun bagi pekerja mandiri, peserta meninggal dunia, atau peserta tidak memenuhi lagi kriteria sebagai peserta selama lima tahun berturut-turut.
 
Simpanan Tapera dibayar oleh pemberi kerja dan pekerja. Untuk mendapat pembiayaan perumahan, peserta harus memenuhi persyaratan, mempunyai masa kepesertaan 12 bulan.
 
Selain itu, termasuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah, belum memiliki rumah, atau menggunakannya untuk pembiayaan kepemilikan rumah, pembangunan rumah, atau perbaikan rumah pertama. 
 
Tanggapan pun beragam muncul setelah disahkannya UU itu. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono, berharap dengan disahkannya UU Tapera, permasalahan perumahan masyarakat, terutama kelas menengah bawah yang selalu susah mendapatkan tempat tinggal yang layak bisa teratasi.
 
"Menyampaikan RUU Tapera yang telah disahkan, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, termasuk mendapatkan tempat tinggal yang sehat, baik, dan layak," kata Basuki, di gedung DPR RI, Jakarta.
 
Menurutnya, adanya Tapera ini, karena berdasarkan jiwa gotong royong yang selama ini ditekankan oleh pemerintah.  
 
"Jadi, kalau FLPP (fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan) sekarang ada Rp24 triliun, dan 2016 dialokasikan Rp9,3 triliun, akan ada Rp33 triliun. Itu menjadi modal buat Tapera, karena nanti semua akan ditempatkan di situ, dan akan menjadi komitmen pemerintah untuk membiayai Tapera," katanya.
 
Pengusaha ancam uji materi
 
Namun, pengesahan UU Tapera menuai kekecewaan dari dunia usaha. Bahkan, pengusaha mengancam akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). 
 
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi B. Sukamdani, mengaku kecewa dengan pengesahan beleid tersebut. Alasannya, mereka merasa tidak dilibatkan dalam pembahasan.
 
"Ini stakeholder (pemangku kepentingan) tidak diajak bicara. Banyak serikat pekerja dan konfederasi pekerja yang tidak tahu," kata Hariyadi, ketika dihubungi VIVA.co.id, di Jakarta, Rabu, 24 Februari 2016.
 
Hariyadi mengklaim, telah memberikan masukan ke pemerintah dan parlemen terhadap rancangan payung hukum UU Tapera namun sepertinya tak dianggap. Apindo, kata Hariyadi, menolak UU Tapera karena programnya dianggap duplikasi dari program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
 
"Yang membuat kami tidak setuju adalah duplikasi terhadap program dan ini dipungut dua kali," katanya menambahkan.
 
Menurut dia, payung hukum tersebut memberikan waktu dua tahun untuk implementasinya. Sementara, pihaknya mempersiapkan langkah selanjutnya, yaitu uji materi ke MK.
 
Saat ini, Apindo tengah mempersiapkan segalanya untuk uji materi, seperti argumentasi dan dalil pengusaha mengapa menolak pengesahan UU tersebut. 
 
"Kami mau uji materi di MK dengan harapan dibatalkan," ujarnya menegaskan.
 
Lantas, bagaimana dengan rencana boikot? Asosiasi ini sempat menghembuskan kabar bahwa mereka akan memboikot UU Tapera kalau parlemen mengesahkannya.  
 
"Nanti kami lihat dulu. Kalau bisa dibatalkan, ya, ngapain (boikot)."
 
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Rosan Perkasa Roeslani, juga mengungkapkan kekecewaannya. Menurutnya, aturan itu justru berpotensi semakin memberatkan kalangan pengusaha, dalam hal biaya operasional perusahaan yang akan semakin tertekan.
 
“Terus terang kami agak kecewa. Ini akan menjadi beban perusahaan, di mana sebenarnya sudah ada di BPJS,” ujar Rosan, saat ditemui di Hotel JW Marriot, Jakarta.
 
Kadin, kata Rosan, hanya bisa pasrah terhadap keputusan pemerintah. Sampai saat ini, pemerintah bersama parlemen pun belum menentukan besaran nominal pungutan yang nantinya akan diberikan kepada pengusaha dan pekerja. 
 
Ia berharap, pemerintah bersama parlemen nantinya mampu mempertimbangkan besaran tersebut, sehingga tidak membebankan biaya operasional perusahaan.
 
“UU sudah disahkan, tapi angkanya belum dipatok berapa persen pengusaha dan pekerja. Pemerintah mungkin punya pandangan lain. Tapi, kalau ditanya beban pengusaha berapa dan pekerja berapa, pasti bebannya kepada perusahaan,” tegasnya.
 
Sementara itu, kendati kecewa, Asosisasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Indonesia (Apersi) masih berharap UU bersebut memberi dampak positif.
 
Ketua Umum Apersi, Eddy Ganefo, mengatakan dampak UU Tapera ini diprediksi terasa lima tahun ke depan. Dengan catatan, jika semua regulasi turunan juga berjalan lancar. 
 
"Jadi, prosesnya masih sangat panjang. Kalau dalam waktu setahun dua tahun ini masih belum terasa dampaknya, terutama untuk pembiayaan perumahan," ujar Eddy. 
 
Sebab, aturan dalam UU Tapera harus menunggu turunannya, berupa Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden atau bahkan Keputusan Menteri. 
 
Eddy menjelaskan, pemerintah juga harus mengkaji matang soal besaran iuran yang akan ditetapkan nantinya. Karena, dalam aturan ini dipastikan akan membebankan iuran ke para pengusaha dan pekerja.
 
Dengan begitu, Apersi berharap, jangan sampai UU ini juga memberatkan masyarakat atau pekerja yang selama ini juga banyak pungutannya seperti ada di dalam BPJS. 
 
Terlebih, tujuan dari UU Tapera ini sangat bagus, terutama untuk pembiayaan perumahan jangka panjang.
 
"Nanti, aturannya jangan terlalu memberatkan masyarakat atau pekerja. Kasihan juga kalau terlalu banyak pungutan justru pekerja tidak bisa bekerja maksimal," katanya.
 
Selain itu, Eddy menambahkan, dengan adanya aturan Tapera ini nantinya tidak terbentur atau terhambat oleh peraturan-peraturan atau regulasi yang sudah ada sebelumnya tentang rumah tinggal.
 
"UU ini jangan sampai berbenturan dengan regulasi lain yang terkait juga soal perumahan," ujarnya.
 
Terkait masih adanya penolakan dari pekerja maupun pengusaha soal adanya RUU Tapera ini, Menteri Basuki, mengatakan hal itu diharapkan tidak berjalan lama. Karena, hal ini bisa memberikan dampak yang baik untuk jangka panjang.
 
"Setahu saya, nanti semua pekerja wajib bayar, tetapi tidak semua berhak memakai, jadi yang pakai Tapera itu yang MBR (masyarakat berpenghasilan rendah). Kalau yang non-MBR ini setelah selesai kepesertaannya baru mendapatkan cost hasil investasinya. Jadi ada nilai gotong royong di situ," ujarnya.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya