KPK Cokok Jaksa Korup Patut Didukung

Penyidik KPK saat menggeledah kantor Kajati DKI
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Reno Esnir

VIVA.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menangkap aparat hukum karena diduga terlibat kasus suap. Dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Senin pagi, 11 April 2016. Tim Satuan Tugas KPK menangkap tangan Bupati Subang, Ojang Sohandi, dan dua jaksa dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat.

Kasus Suap Kajari Pamekasan, Kejagung Panggil Kajati Jatim

KPK sampai saat ini belum memberikan keterangan resmi terkait penangkapan dua jaksa ini. Pasalnya, penyidik punya waktu 1 x 24 jam untuk mencari bukti permulaan terhadap para pihak yang ditangkap. Setelah bukti permulaan itu ditemukan, KPK bisa meningkatkan status hukum kasus ini, dan menetapkan tersangka. Jika tidak, mereka yang ditangkap harus dibebaskan.

Ketua KPK, Agus Rahardjo, mengkonfirmasi adanya penangkapan jaksa oleh anak buahnya di Jawa Barat. Sayangnya, dia mengaku belum mendapatkan informasi rinci mengenai penangkapan ini karena berada di luar kantor. "Betul (telah melakukan tangkap tangan), detail nama dan jabatan, saya masih menunggu," kata Agus saat dikonfirmasi Senin, 11 April 2016 lalu.

Jadi Tersangka di KPK, Kajari Pamekasan Dinonaktifkan

Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, yang menjelaskan siapa saja oknum yang ditangkap. "Jaksa di Kejati Jabar, kepala daerahnya salah satu Pemda di Jabar," kata Saut dalam pesan singkatnya saat dikonfirmasi Senin, 11 April 2016.

Tak hanya itu, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Feri Wibisono, juga mengakui adanya penangkapan oleh KPK terhadap anak buahnya. Dia pun mengakui anak buahnya menerima uang dari pihak tersangka yang kasusnya sedang ditangani Kejaksaan Tinggi DKI.

Begini Aksi Bulus Jaksa Fauzi Saat Ambil Uang Suap

Namun menurutnya, uang itu merupakan pengembalian kerugian negara yang harus diserahkan terdakwa pada jaksa. "Ini adalah proses standar, sejak penyitaan kami imbau untuk menunjukan itidak baik mengembalikan kerugian negara, kami imbau untuk melakukan secara itikad baik, menyetorkan kerugian keuangan negara, setelah itu kami laporkan ke pengadilan terkait itikad baiknya ke negara," jelasnya dalam perbincangan dengan tvOne, 11 April 2016.

Feri tak mempermasalahkan proses penangkapan ini, dan meminta KPK mengungkap ada tidaknya praktik suap di instansinya. "Mungkin KPK mendapatkan laporan pengaduan atau informasi lain dari hasil penyadapan dan lainnya, sehingga menilai penyerahan uang ini bagian dari suap," ungkapnya.

Feri pun menceritakan proses terjadinya penangkapan KPK. "Jadi tadi pagi sekitar 06.30 WIB, tim KPK datang ke Kejati Jawa Barat, ke kantor sini. Saat itu, kebetulan baru diserahkan sebagian pembayaran cicilan pengganti."

Setelah sampai, tim KPK langsung mendatangi ruang kerja jaksa yang menangani perkara itu, menangkapnya, dan menyegel ruangan tersebut. Pihak Kejati Jawa Barat pun sempat menanyakan mengenai surat tugas mereka.

"Tetapi dari tim KPK tidak mau menunjukan surat perintahnya, setelah selesai mereka juga menyegel ruangan, sementara ruangan itu kami gunakan untuk bekerja," sesal mantan Direktur Penuntutan KPK ini.

Pada kesempatan terpisah, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jawa Barat, Raymond, mengungkapkan salah satu jaksa yang ditangkap berinisial D.

Penangkapan ini diduga terkait dugaan penyelewengan pengembalian kerugian negara sebesar Rp685 juta. Uang tersebut merupakan kerugian negara dalam kasus korupsi Dana BPJS Kesehatan di Kabupaten Subang, Jawa Barat, yang sedang dalam proses persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung.

Pembayaran uang ganti rugi negara ini, terkait kasus penggelapan dana BJPS yang menjerat Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Subang, Budi Subiantoro dan Kabid Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Subang, Jajang Abdul Kholik.

Diduga, suap diberikan terkait rencana penuntutan (rentut) yang akan diajukan jaksa di persidangan ini, sehingga nama Bupati Subang, Ojang Sohandi, tidak turut serta dalam kasus ini.

Benar tidaknya dugaan itu, akan dijelaskan KPK dalam konferensi pers, Selasa 12 April 2016. Hal ini, setelah proses pemeriksaan pada para pihak yang tertangkap selesai dilakukan. "Benar ada OTT jaksa yang bertugas di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Konferensi pers besok pagi. Sabar saja," ujar Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarif lewat pesan singkat, Senin 11 April 2016.

Dua Kali OTT Jaksa Kurang dari Sebulan

Belum genap dua minggu berlalu, KPK kembali menangkap jaksa di sebuah kejaksaan tinggi, karena diduga terkait kasus suap. Persis pada 31 Maret 2016 lalu, KPK juga menangkap Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Sudung Situmorang, dan Asisten Pidana Khusus Kejati DKI Jakarta, Tomo Sitepu.

Keduanya diamankan setelah KPK menangkap Senior Manager PT Brantas Abipraya (BA) Dandung Pamularno, Direktur Keuangan PT BA, Sudi Wantoko dan seorang perantara bernama Marudut. Ketiganya telah ditetapkan menjadi tersangka percobaan suap, dan ditahan KPK.

Uang sebesar US$148.835 yang disita dari tangan Marudut diduga akan diberikan kepada oknum jaksa di Kejati DKI untuk menghentikan penyelidikan atau penyidikan kasus korupsi yang membelit PT BA. Setelah diperiksa, Sudung dan Tomo dilepaskan karena dinyatakan kurang bukti. Keduanya saat ini masih berstatus saksi.

Melihat perkembangan kembali adanya penangkapan jaksa oleh KPK, Komisioner Komisi Kejaksaan RI, Ferdinand T. Andi Lolo, mengungkapkan keprihatinannya. Meski begitu, dia meminta masyarakat tidak lantas menuding korps Adhyaksa sebagai institusi yang korup.

Ferdinand meminta masyarakat menunggu selesainya proses penyelidikan yang saat ini masih berlangsung di KPK, dan menanti pengumuman resmi tersangka. "Itu OTT belum ditemukan bukti aktif," jelas Ferdinand saat dihubungi VIVA.co.id, Senin 11 April 2016.

Komisi Kejaksaan pun tak mau gegabah dengan menyatakan telah terjadi suap di kasus ini, sebelum KPK menyatakan demikian. 

Menurut Ferdinand, terungkapnya dugaan suap ini menunjukan adanya celah dalam sistem pengawasan Kejaksaan Agung pada jajaran internalnya. Hal ini dikarenakan pengawasan terhadap jaksa tidak bisa melekat pada setiap pegawai. Celah ini bisa dimanfaatkan oknum jaksa untuk menyalahgunakan jabatannya demi keuntungan pribadi mereka.

"Pengawasan tidak bisa satu arah, kita (Komisi Kejaksaan dan Kejaksaan Agung) terbatas. Pengawasan sudah maksimal sudah diberikan sanksi, tapi kita tidak bisa pantau satu-persatu," terang Ferdinand.

Sementara,"jaksa itu bertindak ada kebebasan profesi sehingga tidak selalu bisa diawasi," tambahnya.

Pada 2015, Komisi Kejaksaan menerima 812 pengaduan masyarakat, terkait kinerja kejaksaan di seluruh Indonesia. Sebanyak 630 pengaduan sudah dibahas dan ditindaklanjuti komisi. Dari laporan itu sudah ada beberapa yang diteruskan ke Korps Adhyaksa.

Dia pun mengakui, selama ini Komisi Kejaksaan juga kerap menerima pengaduan mengenai adanya upaya suap untuk mengarahkan sebuah perkara di pengadilan. Pelaporan ini diajukan para pihak yang merasa dirugikan karena namanya tersangkut sebuah perkara. Sayangnya, jarang sekali ada pihak yang bisa membuktikan telah terjadinya suap, sehingga laporan itu akhirnya menguap tak terbukti, benar atau tidak telah terjadi.

"Laporan pengaduan banyak, sebagian besar merekayasa kasus, meringankan atau melebihkan pidananya, tapi tidak ada buktinya," jelas Ferdinand.

KPK Tidak Tebang Pilih

Penangkapan jaksa oleh KPK ini pun mendapatkan kritik dari Indonesia Court Monitoring (ICM). Lembaga swadaya masyarakat yang memang menaruh perhatian pada proses peradilan di Indonesia.

Menurut Direktur ICM, Tri Wahyu, oknum di kejaksaan akan terus memanfaatkan jabatannya untuk mencari keuntungan pribadi, jika Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan Agung tak pernah tegas dalam memberikan sanksi. Lembaga ini tak bisa lagi berkelit dan bersembunyi dengan menyatakan pengawasan internal mereka sudah memadai dan maksimal.

Dia pun menjelaskan, selama ini penanganan kasus di internal kejaksaan tak berjalan transparan, sehingga publik tak bisa ikut memantau proses perkembangan laporan mereka. Tri khawatir, ungkapan 'jeruk makan jeruk' diterapkan sehingga pengawasan tidak kukuh.

Sebagai contoh, ICM pernah melaporkan pada Jamwas mengenai dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Yogyakarta, I Gede Sudiatmaja, karena menghentikan kasus dugaan korupsi dana hibah ke Persatuan Sepakbola Bantul (Persiba). Kasus ini diduga melibatkan Ketua DPD PDIP Yogyakarta saat itu, Idham Samawi.

"Ini sudah dilaporkan ke Jamwas, sudah diperiksa, tapi berbulan lamanya kasus itu tidak ada perkembangannya. Jadi saya khawatir, Jamwas bekerja, ada kasus diperiksa, tapi tidak ada hasilnya dilansir ke publik," tutur Tri.

Alhasil, kasus-kasus itu lambat laun akan terlupakan oleh masyarakat, dan bisa ditutup tanpa memiliki kesimpulan yang jelas. "Kami mengindikasikan, ini solidaritas korps," ungkapnya.

Di sisi lain, dia juga meminta KPK bertindak transparan terhadap perkembangan kasus yang menyangkut jaksa. Pasalnya, pada kasus yang menyangkut penanganan perkara di Kejati DKI Jakarta, pihak penerima suap sampai sekarang belum terungkap, walaupun KPK menyatakan adanya indikasi kuat keterlibatan oknum di Kejati DKI.

Selain itu, KPK juga mesti bersikap adil pada lembaga penegak hukum lainnya. Tri tak mau lembaga antikorupsi itu berani menindak jaksa, disaat tidak ada perwakilan unsur jaksa di pimpinan KPK. Hal ini juga terjadi pada periode sebelumnya, dimana kasus korupsi yang melibatkan perwira Polri terungkap, saat tidak ada unsur polisi menjadi pejabat pimpinan KPK.

"Kalau konkritnya, KPK buktikan ke publik tidak hanya menangkap jaksa yang mengkhianati rakyat. Kalau kemudian ada anggota Polri, ya harus tidak tebang pilih," tutur Tri.

Seperti diketahui, lima pimpinan KPK saat ini tidak ada yang dari unsur jaksa. Menurutnya, kecurigaan publik ini hanya bisa terjawab setelah periode jabatan Agus Rahardjo selesai. "Kalau sinyalmen sampai akhir periode mungkin publik akan berpikir demikian," kata Tri.

Terlepas dari itu, untuk jangka waktu dekat, Tri juga mendesak Presiden Joko Widodo membuat konkrit wacana revolusi mental, dengan mempraktikannya di lembaga penegak hukum.

Pasalnya, sejak dulu penegak hukum selalu mendapatkan nilai yang rendah dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK), tapi tak juga menunjukan adanya perbaikan signifikan. "Presiden juga mesti memperbaiki mental aparat hukum," terang Tri.

Dalam peluncuran IPK yang dikeluarkan Transparency International (TI) pada 27 Januari 2016 lalu, poin Indonesia naik dari 34 menjadi 36, dan menempati urutan 88 dari 168 negara yang diukur.

Menurut Transparency International Indonesia, posisi ini menunjukkan konsistensi Indonesia dalam pemberantasan korupsi, namun terhambat oleh masih tingginya korupsi di sektor penegakan hukum dan politik. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya