Proyek Senyap Pekerja China di Halim Perdanakusuma

Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Fikri Halim

VIVA.co.id – Di antara sederet kontroversi pembangunan proyek mentereng kereta cepat Jakarta-Bandung, kini muncul masalah baru. Megaproyek itu kembali disorot tatkala Selasa, 26 April 2016, lima warga negara China yang disebut bekerja untuk proyek kirana tersebut, ditangkap pihak keamanan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.

Mengenal 'Tukang Las Asing' Kereta Cepat yang Sempat Bikin Heboh

Di lokasi strategis militer, lima warga asing mengebor secara ilegal bersama dua warga negara Indonesia (WNI) yang turut diamankan aparat.

Petugas pengamanan Lanud Halim Perdanakusuma jelas curiga melihat aktivitas tak biasa di belakang Batalyon 461 Paskhas tak jauh dari jalur Tol Jakarta-Cikampek di zona strategis Angkatan Udara (AU). Tujuh orang pekerja, lima di antaranya warga China, saat diperiksa tak bisa membuktikan dokumen resmi hingga izin dari pihak Halim.

Kereta Cepat Akan Terhubung dengan LRT Jabodebek dan Transjakarta

Dari pernyataan mereka diperoleh informasi bahwa pengeboran dilakukan untuk mendapatkan sampel komposisi tanah untuk kepentingan pembangunan beton penyangga rel kereta proyek kereta cepat.

Dari pemeriksaan, lima warga China bernama Guo Lin Zhong (27), Wang Jun (29), Zhu Huafeng (48),  Cheng Qianwu (49), dan Xie Wuming (41). Kelimanya karyawan PT Geo Central Mining (GCM) yang merupakan rekanan PT Wijaya Karya Tbk selaku pelaksana proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).

Mundur Lagi, Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Beroperasi Juni 2023

Sementara itu, dua WNI bernama Yohanes Adi (40) dan Ikfan Kusnadi (71) yang merupakan pekerja lepas CGM.

Yang menarik adalah dua karyawan lepas tersebut bekerja sebagai sopir dan interpreter atau penerjemah, karena lima orang China ditengarai tak bisa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.

Ada dua hal yang menjadi pokok pelanggaran aktivitas yang dilakukan para warga asing. Pertama, para pekerja gelap bermasalah dengan dokumen keimigrasian. Kedua, mereka melakukan pekerjaan di wilayah milik TNI secara senyap.

"Kalau saya dengar, empat orang sudah punya Kitas (Kartu Izin Tinggal Sementara) dan hanya satu yang visa bisnis. Ini jadinya ada dua kasus, yakni masalah imigrasi dan masuk Halim yang dilanggar," kata Direktur Utama KCIC, Anggoro Budi Wiryawan dalam konferensi pers di Kawasan Halim Perdanakusuma, Jakarta Kamis, 28 April 2016.

Sementara itu, sebelumnya, Ditjen Imigrasi menyatakan bakal tak segan-segan segera mendeportasi pekerja liar ke negaranya. Pihak Imigrasi sedang mendalami, sehingga keberadaan orang asing itu bisa direspons sesuai dengan hukum dan perundangan yang berlaku.

“Kalau memang menyalahgunakan izin tinggal keimigrasiannya atau visa yang diberikan, itu bisa kami deportasi atau kami proses secara hukum," kata Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi, Heru Santoso.

Dan, peristiwa ini kemudian ditanggapi beragam. Parlemen meminta pemerintah tidak tinggal diam menyikapi fenomena pekerja asing ilegal yang turut mengais rezeki di Indonesia.

Apalagi, ternyata orang- orang tersebut bukan melakukan pekerjaan spesifik yang tidak mampu dilakukan orang lokal. Hal ini adalah pekerjaan rumah bagi pemerintah yang sudah membuka pintu lebar- lebar arus modal dan investasi ke dalam negeri.

"Harus koreksi bagi pemerintah. Saya juga dapat laporan bahwa banyak buruh dari RRC, mereka buruh kasar tidak bisa bahasa Indonesia," kata Wakil Ketua DPR, Fadli Zon di Gedung DPR, Jakarta.

Politikus Partai Gerindra itu menegaskan, Indonesia masih menghadapi persoalan kurangnya lapangan pekerjaan. Pembangunan dengan menggandeng investasi luar negeri, seharusnya menjadi salah satu solusi penyediaan lapangan kerja. Bukan justru menjadi peluang mudah bagi pekerja asing di bawah tangan.
 
"Yang orang Indonesia tak ada? Sekarang kita butuh pekerjaan. Masa gali tanah orang China sana. Harus dikoreksi," kata Fadli.

Sementara itu, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno membenarkan bahwa Halim adalah salah satu titik proyek kereta cepat di Jakarta. Dia tak menampik adanya pengecekan komposisi tanah atau soil test.

Namun, menurut Rini, masih dalam tahap pembicaraan dengan pihak Angkatan Udara.

Nah, itu ada dua area, yang satu memang dipakai oleh AU, yang satu warga. Tapi, itu sebenarnya area AU. Jadi, timnya yang soil test, pikir ini tempat warga, sehingga enggak usah dapat izin karena itu bagian dari warga. Itu kesalahannya,” kata Rini Soemarno di Kompleks Kepresidenan, Kamis petang, 28 April 2016.

Selanjutnya...Ekses Buruk?

Ekses Buruk?

Proyek prestisius kereta cepat Jakarta-Bandung yang menggandeng China itu lalu dikhawatirkan tak menguntungkan masyarakat Indonesia. Benar adanya, proyek transportasi ini sebagian besar memang ditalangi oleh China.

Sebanyak 75 persen atau setara US$4,125 miliar didapatkan melalui pinjaman dari China Development Bank (CDB). Belum lagi dana dari China Railway International (CRI). Jadi, sekitar 85 persen dari US$5,5 miliar atau setara Rp75,9 triliun biaya proyek dikucurkan dari China.

Meskipun demikian, skema itu seyogianya tak lalu menyebabkan China menjadi bebas melakukan transfer pekerjanya. Di Indonesia, berlaku aturan terhadap pekerja asing yang mensyaratkan sejumlah hal.

Selain Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ada pula Permenakertrans Nomor 12 tahun 2013 yang khusus mengatur Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA).

Dalam aturan itu, ada empat jenis pekerjaan bersifat sementara yang bisa menyewa tenaga asing, yaitu pemasangan mesin, peranti elektronik, layanan purnajual, dan produk dalam masa penjajakan usaha.

Sementara itu, untuk mendapatkan izin, TKA harus memiliki kompetensi yang dibuktikan melalui sertifikat atau bisa diganti dengan riwayat pengalaman kerja pada bidang yang sama selama lima tahun.

Yang tak kalah penting adalah, pengawasan pekerja asing melalui perusahaan yang mempekerjakan masing-masing, adalah Dinas Tenaga Kerja. Menurut data Kementerian Tenaga Kerja pada 2013, ada lima negara yang menyumbang pekerja asing terbanyak di Indonesia yaitu, China, Jepang, Korea Selatan, India, dan Malaysia.  

Selanjutnya...Salah Siapa?

Salah Siapa

Masuknya pekerja asing lalu diartikan sebagai “ancaman” bagi Indonesia. Dengan skema Free Trade Area (FTA) antara China dan ASEAN termasuk Indonesia, persaingan lapangan kerja tak lagi mudah. Apalagi, ternyata tak semua dilakukan di bawah payung hukum.

Pengawasan ketenagakerjaan seakan kebobolan di tengah geliat pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla membangun infrastruktur dengan pinjaman asing. Bahkan, melalui kebijakan mutakhir tentang TKA, mereka tak lagi diwajibkan harus bisa berbahasa Indonesia.

Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri sebelumnya membantah adanya serbuan pekerja asing ke Indonesia. Sementara itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Sofyan Djalil mengatakan bahwa pekerja asing jangan serta-merta dianggap hal yang membahayakan.

Namun, selain soal kebobolan pengawasan, maka hal yang perlu menjadi sorotan adalah posisi dan tabiat China sebagai investor yang  belakangan menjadi mitra bisnis super penting Indonesia di rezim Jokowi.

Perlu dicatat, negara yang disebut the rising dragon dalam percaturan ekonomi internasional itu memiliki penduduk paling besar di dunia. Menurut data portal statistik internasional, Statista, pada 2015, China memiliki lebih dari 1,3 miliar penduduk. Pada 2020 diprediksi, China akan berpenduduk di atas 1,4 miliar  jiwa.

Sayangnya, satu dekade belakangan, setelah krisis pada 2007, ekonomi China, negara industri terbesar itu, melambat. Tak ayal, banyak investor asing di sana mengencangkan ikat pinggang dan melakukan pemutusan hubungan kerja.

Sejak tahun lalu, arus protes di sejumlah wilayah industri China banyak terjadi akibat derasnya gelombang PHK. Para pemodal mulai memilih penggunaan mesin untuk menekan biaya produksi.

Meskipun demikian, China seakan tetap “dermawan” menjadi mitra pengucur dana bagi sejumlah negara yang dianggap cukup strategis. Termasuk untuk Indonesia, negara potensi besar emerging economy.

Poyek kerja sama Indonesia dengan China kini makin jamak di Tanah Air. Di satu sisi pantas diapresiasi. Dari segi fisik, kasatmata hal tersebut akan terlihat sebagai kemajuan.

Namun, pemerintah haruslah peka menyadari keuntungan yang tak hanya ada di pihak sendiri. China dipastikan harus menerima faedah.

Setelah proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung diresmikan awal tahun ini, maka seharusnya pemerintah bisa mengetatkan pengawasan. Itu perlu dilakukan agar tak terjadi ekses-ekses negatif dari sebuah proyek investasi.

Masing-masing, baik Indonesia dan China memang harus mujur sebagaimana filosofi win-win solution dalam ikatan kerja sama. Namun “kue” investasi itu harus dinikmati sesuai porsinya.

Jika pemerintah membuka pintu lebar masuknya pendanaan asing, ekses yang tak diharapkan harus diantisipasi. Termasuk mendeteksi susupan tenaga kerja ilegal yang mencari nafkah di negara ini.

Sudah tugas negara menyediakan lahan penghidupan bagi rakyatnya. Atau minimal melindungi agar “lahan” itu tidak dicaplok secara diam-diam.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya