Jurus Menumpas Kebencian di Media Sosial

Hate speech atau ujaran kebencian.
Sumber :

VIVA.co.id – Media sosial dan internet, belakangan ini tak hanya sekadar wadah untuk menyampaikan ekspresi pengguna. Kini, fungsi dan pemanfaatannya makin meluas, tak sebatas untuk coretan dan tulisan curahan hati, berbagi pengalaman saja, media sosial, dan internet mulai disesaki oleh konten ujaran kebencian. 

Kemenkominfo Mengadakan Kegiatan Nobar Kreatif di Dunia Digital Sejak Dini

Dengan memanfaatkan keunggulan dan kemudahan menuliskan isi kepala, pengguna internet makin asyik memosting ide, gagasan, sampai konten yang menebar kebencian. 

Soal konten kebencian ini telah menjadi perhatian pemerintah negara di dunia, kalangan masyarakat sipil sampai perusahaan teknologi. Semua menyadari risiko buruk dari meluapnya konten ujaran kebencian di platform online tersebut. 

Heru Budi Bakal Tingkatkan Pengawasan Buntut Kasatpel Numpang Mobil Dishub ke Puncak

Misalnya Presiden Joko Widodo. Orang nomor satu Indonesia itu mengingatkan, soal dampak konten ujaran kebencian di media sosial. Dia mengaku prihatin, sekaligus setengah takut, dengan maraknya ujaran kebencian (hate speech). 

"Oleh sebab itu, sekarang ada ujaran kebencian. Agak ngeri, yang yang sering memberikan informasi yang mengungkapkan kebencian, menyebabkan konflik horizontal, menggiring orang untuk melakukan sesuatu," kata Jokowi dalam sebuah acara di Istana Negara, Rabu 18 November 2016. 

Keluarga Tegaskan Lettu Agam Tak Pernah Lakukan Kekerasan Fisik ke Istrinya

Sementara itu, perusahaan teknologi dunia sudah merasakan bahaya ujaran kebencian yang bertebaran di internet dan media sosial. 

Sejak awal tahun ini, perusahaan teknologi seperti Facebook, Twitter, Google, sampai Microsoft sudah berembug soal kode etik di internet. Mereka satu suara harus mengatasi kebencian di dunia maya.

Melalui kesepakatan dengan Uni Eropa, perusahaan teknologi itu menyatakan komitmennya memerangi konten ujaran kebencian. Malah perusahaan itu berjanji akan membereskan konten ujaran kebencian yang muncul dengan segera, dalam ‘24 jam’.

Penghujung tahun lalu, Google sudah punya rencana menyensor konten ujaran kebencian pada platform mereka. Keinginan itu dilandasi untuk memerangi potensi terorisme pada platform online. 

Langkah Google itu buntut dari permintaan Gedung Putih, yang menginginkan komunitas teknologi ‘turun gunung’ melawan terorisme dengan sumber daya yang dimiliki perusahaan masing-masing. 

Chairman Google, Eric Schmidt dalam sebuah opini di New York Times, sebagaimana dilaporkan Daily Mail, pada pertengahan Desember 2015 lalu mengatakan, Google punya platform untuk menumpas konten ujaran kebencian. 

Dia mengatakan, Google punya tool, atau algoritma yang bisa mendeteksi konten bernada kebencian terhadap sebuah entitas maupun golongan.

"Itu adalah tanggung jawab kita untuk menunjukkan stabilitas dan ekspresi bebas bisa saling membantu," tulis Schmidt dalam tulisannya.

Belakangan, Google bersama Facebook punya sistem yang memfilter dan menandai situs, atau akun yang mendistribusikan konten kebencian dan menyebarkan berita bohong, alias hoax. 

Jika Google punya senjata algoritma, Facebook mengaku langkah memerangi konten ujaran kebencian dan kekerasan dengan manfaatkan kecerdasan buatan. Facebook mengklaim, penyaringan konten tersebut sudah menjadi pedoman platform mereka sejak awal muncul di dunia maya. 

Direktur Teknik Facebook, Joaquin Candela dilansir Daily Mail mengatakan, Facebook berprinsip semakin tinggi mereka menyaring konten negatif itu, maka semakin sedikit konten ofensif yang bisa dilihat di platform media sosial populer tersebut. 

Facebook mengatakan, selain untuk mengawasi foto ofensif, kecerdasan buatan yang dipakai situs besutan Mark Zuckerberg itu juga akan memindai video dan teks yang diunggah pengguna Facebook. Tentunya, yang menjadi perhatian di sini adalah konten kebencian dan ofensif. 

Sebelumnya, dalam menyaring konten-konten di platform-nya, Facebook menggunakan jasa CrowdFlower dan startup asal Filipina, dalam menjelajahi foto yang masuk ke Facebook.

Dalam sebuah kesempatan, Chief Operation Officer Facebook, Sheryl Sadnberg menegaskan, perlawanan Facebook terhadap konten negatif, merupakan tanggung jawab semua pihak, baik secara offline maupun online. 

"Kami berulang kali menekankan bahwa Facebook bukan tempat untuk menyebarkan kebencian terhadap orang lain, ujaran kebencian yang mengundang kekerasan," kata Sandberg. 

Sementara itu, Microsoft punya jurus sendiri. Perusahaan software raksasa itu mengaku ada formula khusus yang memudahkan pengguna untuk melaporkan ujaran kebencian, khususnya yang muncul pada layanan Microsoft. 

"Dalam beberapa tahun, kami telah mencari cara melindungi pelanggan kami dengan melarang ujaran kebencian dan menghapus konten (itu) dari layanan kami," ujar Kepala Keamanan Online Microsoft, Jacqueline Beauchere dalam blog perusahaan dikutip dari Business Insider, Senin 29 Agustus 2016.

Dalam penegasannya, Microsoft mengatakan, kategori ujaran kebencian, yaitu apapun yang menganjurkan kekerasan, atau mempromosikan kebencian berdasarkan usia, disabilitas, suku, ras, agama, dan antargolongan, sampai orientasi seksual. 

Untuk melaporkan ujaran kebencian, Microsoft menyediakan formulir. Pengguna tinggal mengisi data temuan konten yang menyerang itu. Misalnya, di lokasi mana pengguna menemukan konten ujaran kebencian, apakah menemukan pada layanan Docs.com, OneDrive, Outlook, Skype, Sway, Xbox Live sampai dalam mesin pencari Bing.

Kemudian, pengguna juga diminta mengisi data pribadi, asal institusi, dan mencantumkan tautan yang dianggap berisi ujaran kebencian.

Nantinya setelah mengisi, tim Microsoft akan memverifikasinya, apakah layak untuk dicabut dari layanan Microsoft.

Perusahaan yang lekat dengan nama Bill Gatest itu menegaskan, tak segan untuk memblokir, atau menghapus situs, jika memang ditemukan konten ujaran kebencian. 

Berikutnya, cara Twitter melakukan pemblokiran...

Cara Twitter

Beda dengan yang lainnya, Twitter menempuh cara pemblokiran. Platform karakter terbatas itu akan memblokir notifikasi tweet yang memiliki beberapa kata spesifik terkait dengan kebencian, atau informasi hoax.  

Twitter menyebutkan, jumlah penyalahgunaan, intimidasi, dan pelecehan yang telah dilihat oleh mereka di internet telah meningkat tajam selama beberapa tahun terakhir. 

Twitter juga menghadirkan fitur khusus untuk melawan akun pengumbar kebencian dan intimidasi di media sosial berlogo burung biru tersebut. 

Fitur 'pembasmi' konten ujaran kebencian itu bernama 'mute'. Fitur ini sejatinya telah hadir sejak lama, tetapi sekarang Twitter memutuskan memperluas fungsinya, seiring makin meluapnya konten ujaran kebencian. 

Twitter mengatakan, dengan 'mute', pengguna bisa menonaktifkan kata kunci, frasa sampai seluruh percakapan yang mempromosikan kebencian. 

"Kami telah melihat tren yang berkembang dari orang-orang yang mengambil keuntungan dari keterbukaan itu. Mereka menggunakan Twitter untuk mengucapkan hal kasar kepada orang lain," jelas Twitter dalam keterangannya di blog perusahaan, Rabu 16 November 2016. 

Twitter mengaku jika konten ujaran kebencian dan intimidasi terus dibiarkan, bukan tak mungkin hal itu akan menggerus orang yang mau berpendapat dan mengekspresikan isi kepala di Twitter. 

Media sosial berbasis karakter itu menegaskan, belum tahu efektivitas cara mereka membasmi konten ujaran kebencian. Twitter hanya mengatakan, jika konten itu dibiarkan akan mengancam martabat manusia, terlebih platform ini menghadirkan informasi dan peristiwa secara real time. 

"Sekarang, kami telah memiliki beberapa tantangan untuk menjaga dan membatasi perilaku kasar," kata Twitter. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya