Wajah Belang Pers Indonesia

Sejumlah jurnalis memegang poster saat aksi memperingati Hari Kebebasan Pers se-Dunia di bawah jembatan layang Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (3/5/2016).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Darwin Fatir

VIVA.co.id – Hari Pers Nasional tak sekadar peringatan, elok menjadi momentum refleksi pers, penyuara kepentingan rakyat sekaligus saksi sejarah. Termutakhir, hoax dan media sosial menjadi tantangan bagi dunia pers. Pula kekerasan terhadap jurnalis yang masih jamak. Namun begitu, peran pers diharapkan tetap krusial di Indonesia, salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.

Jurnalis Tempo Diretas, Negara Harus Hadir dan Tangkap Pelaku

Rabu pagi, Presiden Joko Widodo bertolak ke Ambon, Maluku. RI 1 akan menghadiri peringatan Hari Pers Nasional 2017. Acara puncaknya dilangsungkan pada Kamis, 9 Februari 2017, tepat pada tanggal hari pers yang awalnya dikenal sebagai hari lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), salah satu organisasi wartawan di Indonesia.

Dalam beberapa kesempatan sebelum berangkat ke Ambon, Jokowi mengatakan ingin mengangkat soal isu hoax di acara hari pers. Soal hoax ini belakangan merebak dan menjadi persoalan tersendiri. Jika dipercaya, hoax menyesatkan masyarakat. Karena hal itulah Presiden menimbang perlunya isu hoax menjadi pesan penting dalam peringatan hari wartawan kali ini.

Apakah Charlie Hebdo Wujud Kebebasan Pers Prancis?

Bertolak belakang dengan hoax itu sendiri, pekerjaan wartawan dalam informasi publik menjadi krusial. Sebagai profesi yang diakui dan diatur dalam Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999, pers menjadi pilar demokrasi ke-4 yang justru harus menyampaikan berita-berita yang bisa dipertanggungjawabkan. Pers harus bekerja dengan memegang kode etik dan mengharamkan menuliskan kebohongan apalagi narasumber fiktif dalam produknya.

Usai Reformasi, setelah pers kembali “menghirup” udara kebebasan, kerja wartawan diatur dalam UU tentang Pers. Dijelaskan di dalamnya hakikat pers adalah mandat konstitusi, dasar hukum tertinggi di negara ini.

Jokowi Santai Soal Sampul Majalah Tempo, Beda dengan Pendukungnya

“Bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal Undang Undang Dasar 1945 harus dijamin."

Jaminan Undang Undang dan perlindungan hukum tak lantas menjadikan pekerja media menjadi imun konsekuensi. Namun kode etik menjadi batasan dalam kerja-kerja jurnalistik termasuk yang termuat dalam Pasal 6 ayat 5 UU Pers bahwa tujuan pekerjaan pers adalah  untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Dengan kondisi itu, kebebasan pers yang bekerja untuk keadilan dan kebenaran dijamin untuk berlangsung. Oleh karena itu pihak-pihak yang mengganggu pekerjaan jurnalis bisa dikenakan pasal pidana hingga denda.

“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan  tindakan  yang  berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat  (2) dan ayat  (3) dipidana dengan penjara paling lama  2  (dua) tahun  atau  denda  paling  banyak  Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah),” demikian Pasal 18 ayat 1 UU Pers.

Menyoal hoax dan peran pers ditanggapi oleh peneliti senior Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Ignatius Haryanto. Menurut dia, tersebarnya hoax tak bisa dilepaskan dari maraknya media yang bermunculan namun tidak bekerja dengan kode etik. Buntutnya, media yang lebih kerap disebut “abal-abal” itu memberitakan isu yang tak dijamin kebenarannya namun beritanya ditangkap oleh publik. Tak sampai di sana, masyarakat yang semakin familiar dengan media sosial menyebarkannya dan isu-isu palsu lantas beredar.

Hal tersebut menurutnya bisa ditangkal apabila masyarakat makin terdidik untuk mengenali media-media yang bisa dipercaya dan kredibel dalam pemberitaan. Sayangnya selama ini, konsumen berita mudah tergiur dengan berita-berita kontroversial hingga judul bombastis yang kemudian dijadikan peluang oleh pembuat media-media tak bertanggung jawab.

“Ironis memang mendengar kabar dari media abal-abal karena kliknya yang lebih besar dapat iklan yang lebih besar juga daripada menerapkan prinsip jurnalis. Masyarakat harus dididik,” kata Ignatius Haryanto ketika dihubungi VIVA.co.id pada Rabu malam, 8 Februari 2017.

Tak hanya soal media abal-abal, Ignatius menilai “wajah” pers masa kini yang belang. Diakuinya masih ada media yang profesional meski jelas terlihat adanya media-media yang partisan dan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan pemilik modal meskipun pengaruhnya bisa berbeda-beda di masing-masing media tersebut.

Tantangan media masa kini makin kompleks. Gencarnya media sosial hingga intervensi kepentingan dan kekuasaan menjadi hal yang harus diwaspadai mengingat hakikat pers seharusnya independen. Tak hanya itu, media dituntut harus bisa beradaptasi dan menelurkan berita-berita yang relevan bagi masyarakat. Lebih jauh, informasi media massa layaknya menjadi pegangan bagi orang banyak.

“Wajah pers sekarang belang, ada yang profesional, ada yang partisan, ada yang menerapkan etika dengan baik, ada juga yang abal-abal,” katanya.
   
 
Wajah Belang Pers

Hal kemerdekaan pers juga ditanggapi oleh Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah. Dia mengatakan bahwa perlu diingat, kebebasan pers adalah freedom of the press bukan freedom of the owner alias kebebasan pemilik media. Politikus PKS ini menilai bahwa independensi seharusnya sudah menjadi tradisi melekat bagi para jurnalis sehingga mampu menyampaikan berita yang berdasarkan fakta dan kebenaran. Dia sedikit banyak setuju dengan wajah belang pers yang menjadi tantangan para jurnalis.

“Posisi jurnalis sebagai institusi yang netral juga perlu didengungkan supaya masyarakat sadar justru jurnalis itu pelanjut dan penyambung lidah dan kepentingan rakyat,” kata Fahri Hamzah kepada VIVA.co.id.

Fahri menyesalkan jamaknya media yang jelas berpihak pada kepentingan tertentu seakan mengingkari khitahnya yang harus bebas intervensi. Dia menyampaikan kritik kepada para pemilik media agar bisa menempatkan diri lebih bijaksana dan meminimalisir intervensi terhadap korporasi media yang dibangun selama ini. Media bukanlah industri kebanyakan yang hanya berorientasi bisnis melainkan memiliki panggilan menyuarakan kepentingan rakyat agar didengarkan penguasa.

“Ini media harus punya sistem yang dibangun, penguatan independensinya,” kata Fahri.

Selain itu, Fahri juga mengomentari masih banyaknya kekerasan terhadap insan pers di Indonesia. Menurut data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), angka kekerasan jurnalis pada tahun 2016 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2015 dicatat ada 42 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Sementara pada tahun 2016 meningkat menjadi 78 kasus di berbagai daerah.

Fahri menilai, angka tersebut harus mengingatkan kembali perlunya perlindungan terhadap wartawan.
 
“Teman-teman media di komunitas media dan pers sendiri harus memiliki mekanisme internal untuk menanggulangi sebab dan akibat kepada jurnalis itu sendiri,” katanya.

Fahri mengimbau publik agar menempuh mekanisme hak jawab apabila memang merasa dirugikan oleh pemberitaan media. Tak hanya itu, pengaduan bisa dilakukan ke Dewan Pers sebagai lembaga yang diatur dalam UU Pers untuk menanggulangi sengketa terkait pers.

Minim Diproses

Sejak lama kekerasan memang menjadi salah satu musuh kebebasan pers. Meningkatnya kekerasan terhadap wartawan dibenarkan Ketua AJI Indonesia, Suwarjono, saat dihubungi wartawan VIVA.co.id. Dia menyoroti pentingnya peran aparat hukum dalam melindungi jurnalis. Sayangnya pelaku kekerasan justru ada yang berasal dari aparat.

“Tahun 2016 ada 78 kasus, hampir tidak ada pelaku yang diproses. Kita tahu ada kekerasan oleh oknum polisi dan TNI tetap semuanya tidak ada yang dibawa ke pengadilan,” kata Suwarjono.

Preseden buruk itu yang menurutnya membuat kekerasan terhadap jurnalis meningkat. Menurut data AJI, selama 10 tahun terakhir, ada 577 kasus kekerasan terhadap wartawan.
 
Data kekerasan terhadap wartawan pada tahun 2006 ada 54 kasus, tahun 2007 ada 75 kasus, tahun 2008 terdapat 58 kasus, tahun 2009 ada 38 kasus, tahun 2010 terdapat 51 kasus, tahun 2011 dicatat 45 kasus, tahun 2012 ada 56 kasus, tahun 2013 diketahui 40 kasus, tahun 2014 terdapat 40 kasus, tahun 2015 dicatat 42 kasus dan meningkat tajam pada tahun 2016 hingga 78 kasus.

Sementara pelaku kekerasan terhadap wartawan pula beragam. Pada tahun 2016 misalnya, satu kasus dilakukan oleh advokat, satu kasus oleh aparat pemerintah, oleh hakim satu kasus, oleh kader partai politik 6 kasus, oleh pejabat pemerintah 7 kasus, oleh pelajar atau mahasiswa 2 kasus, oleh polisi 13 kasus, oleh Satpol PP 6 kasus, oleh TNI 6 kasus, oleh warga 26 kasus dan oleh pelaku yang tidak dikenal 6 kasus.

“Polisi harus melakukan kontrol terhadap kekerasan pers. Ini sebagai indikator pembanding agar masyarakat lebih aware terhadap jurnalis,” kata dia lagi.

Ihwal kekerasan jurnalis ini juga direspons Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Hendriana Yadi. Dia mengatakan, masyarakat harus paham bahwa tugas pers dilindungi oleh UU dan bekerja untuk rakyat. Wajah pers yang masih sarat dengan kekerasan ini menjadi noda apalagi Indonesia pada tahun ini akan menjadi tuan rumah World Press Freedom Day, ‘Hari Kebebasan Pers Sedunia’.

Namun dia juga mengoreksi peran pers agar tetap menjaga kualitas berita yang disampaikan kepada publik. Pula harus ketat memegang kode etik dan aturan yang berlaku.

“IJTI menangkap kebebasan pers terancam. Indikasi itu sudah ada,” kata Yadi.

Dia melanjutkan, bahkan indikasi pembredelan pers yang menjadi “penyakit” masa lalu juga sempat kembali mengemuka. Yadi mengatakan, dua tahun silam muncul rekomendasi triwarsana bahwa pers pada saat itu sudah kebablasan. Artinya harus dikontrol. Tak lama setelah itu, ada upaya dari kelompok tertentu yang ingin merevisi UU Pers dan sempat pula muncul di salah satu pasal PKPU Nomor 1 Tahun 2013 soal pemberitaan pers bisa dibredel oleh KPU dengan berpegangan terhadap UU Pemilu.

“Kami tidak akan membiarkan itu, bahaya bagi kebebasan pers. Upaya mengontrol pers itu sudah ada,” ujarnya. (one)

Laporan: Pius Yosep Mali

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya