Menuntut Si Perusak Surga Raja Ampat

Kepulauan Raja Ampat Papua Barat
Sumber :
  • crossingindonesia.com

VIVA.co.id – Sebuah kapal pesiar Inggris berbendera Bahama meluluhlantakkan 1.600 meter persegi gugusan karang Kepulauan Raja Ampat Papua Barat. Usai itu, dengan tenang kapal pengangkut 102 orang turis itu melenggang menuju Filipina.

Mahfud MD: Saya Tidak Melihat Pemerintah Lakukan Langkah-langkah Menjaga Kelestarian Lingkungan

Kabar ini pun baru meluas setelah dua pekan kejadian. Indonesia pun bereaksi dan berencana untuk menuntut kapal sepanjang 90 meter itu. Kini investigasi dan proses penghitungan kerugian masih dilakukan.

Namun demikian, kini Raja Ampat yang sejak lama dikenal memiliki 75 persen jenis karang di dunia itu telah rusak. Butuh waktu puluhan hingga ratusan tahun lagi agar gugusan karang itu pulih.

Ganjar: Jika Masih Pakai Energi Fosil, Tinggal Tunggu Kerusakan Lingkungan

Lalai pengawasan
Kepulauan Raja Ampat sudah menjadi destinasi wisata dunia yang populer. Banyak yang menyebut jika kawasan ini ibarat kepingan surga yang terjatuh di langit.

Panorama alamnya yang benar-benar mengagumkan membuat siapa pun pasti memiliki mimpi untuk berkunjung ke gugusan pulau di Kabupaten Raja Ampat Papua Barat tersebut.

Ketum Hanura OSO Dukung Jokowi Ekspor Pasir Laut, Begini Penjelasannya

Dan salah satu yang paling eksotis adalah bahwa Kepulauan Raja Ampat yang terdiri atas Pulau Misool, Salawati, Batanta, dan Waigeo itu memiliki pemandangan bawah laut yang menggiurkan.

Hal ini jugalah yang kemudian menobatkan Raja Ampat sebagai salah satu dari 10 perairan terbaik di dunia untuk penyelaman.

Sunset Raja Ampat Papua.

FOTO: Salah satu sudut kecantikan surga Raja Ampat Papua Barat

Selanjutnya, Luruh karena kelalaian

Namun kini, kegagahan kepingan surga ini kini luruh karena ada kelalaian sebuah kapal pesiar asing. Gugusan karang yang menjadi khas Raja Ampat luluh lantak lantaran kapal berbobot 4.200 Gross Ton kandas.

Laporan Kepala Kantor SAR Sorong Prasetyo Budiarto, ketika kapal itu melaporkan kejadiannya, terungkap bahwa kapal canggih yang dinakhodai oleh Kapten Keith Michael Taylor itu mengabaikan fenomena perairan pasang surut di kawasan Raja Ampat.

Sebab dari pengakuan nakhoda, instrumen MV Caledonia Sky menunjukkan bahwa kedalaman air di lintasan mereka adalah lima meter. Sementara itu, faktanya, karena air sedang surut, kedalaman air menjadi dua meter. "Jadi kapal ini seperti duduk di atas karang," kata Prasetyo.

Kapal MV Caledonia saat kandas di kawasan perairan Raja Ampat Papua Barat

FOTO: Kapal MV Caledonian Sky saat kandas di perairan surut Kepulauan Raja Ampat Papua Barat, 4 Maret 2017/facebook@Hugo Mattsson

Profil Kapal MV Caledonian Sky
Nakhoda: Kapten Keith Michael Taylor
Penumpang: 102 Orang, 79 ABK
* Amerika Serikat (3)
* Kanadia (2)
* Inggris (86)
* Irlandia (2)
* Indonesia (2)
* Swedia (7)
Bobot kapal: 4.200 GT
Panjang: 90 Meter (295 feet)
Rute: Papua Nugini(25 Februari)-Filipina (14 Maret)


Pengabaian fenomena alam itu lah yang kemudian membuat kapal pesiar raksasa itu tetap memaksa melintas lantaran harus membawa rombongan turis ke tempat lain.

Bahkan, kapal ini juga sempat meminta kapal SAR untuk menarik mereka. Namun sia-sia, air surut dan kapal yang besar tak bisa ditarik. Kapal itu pun baru bisa dievakuasi setelah air kembali naik pada malam hari, sekira pukul 22.30 waktu setempat.

Menurut Prasetyo, diakui memang sangat riskan membawa kapal besar khususnya yang memiliki draft (kedalaman kapal) hingga lebih dari dua meter masuk ke Raja Ampat.

Sebab, kawasan itu memiliki pasang surut. Ketika pasang air memiliki kedalaman hingga 5 meter lalu surut dengan kedalaman kurang dari 2 meter.

"Banyak sekali spot di Raja Ampat yang dangkal kalau surut. Karena itu, kapal dengan kedalaman draft 2 meter harus hati-hati sekali," kata Prasetyo.

Kapal MV Caledonia saat kandas di kawasan perairan Raja Ampat Papua Barat

FOTO: Kondisi pertama kapal MV Caledonian Sky saat pertama kali kandas di perairan Raja Ampat Papua Barat, 4 Maret 2017

Selanjutnya, Kerusakan Terumbu Karang

Sementara itu, Kepala Pusat Riset Sumber Daya Kelautan Pasifik Universitas Negeri Papua Ricardo Tapilatu menyebutkan bahwa kerusakan terumbu karang itu seharusnya bisa tak terjadi, jika kapal mewah tersebut mengetahui fenomena pasang surut di Raja Ampat.

Sebab, meski kapal canggih ini memiliki GPS dan radar serta ecosounder, pasang surut adalah fenomena alam yang harus menjadi perhatian penting kapal yang akan melintas di Raja Ampat.

Tak cuma itu, Tapilatu juga mengisyaratkan ada unsur kelalaian dari sejumlah petugas di kawasan Raja Ampat. Sebab, ketika MV Caledonian Sky melaporkan kapal mereka kandas, kapal tunda bernama Audrey Bob Tanjung Priok justru membantu proses evakuasi dengan menarik kapal tersebut agar bisa mengapung lagi.

"Seharusnya itu tidak dilakukan karena akan merusak terumbu lebih parah. Mereka (kapal tunda) seharusnya menunggu laut pasang," kata Tapitalu.

Atas itu, maka ada dua kemungkinan kesalahan manusia dalam kejadian itu. Pertama lalainya Nakhoda MV Caledonian memperhatikan fenomena pasang surut Raja Ampat, dan kedua lalainya pemerintah setempat yang justru membantu menarik kapal secara paksa tanpa ikut memperhatikan pasang surut air.

Cukup ganti kerugian?
Terlepas itu, kini proses investigasi atas hancurnya karang di Raja Ampat sedang dilakukan pemerintah Indonesia.

Sementara itu, kerugian terhitung diperkirakan mencapai US$1,28 juta atau US$1,92 juta atau lebih dari Rp25 miliar yang harus menjadi kompensasi MV Caledonian Sky kepada Indonesia atas kerusakan itu.

Namun, hal ini masih tetap perlu didalami, baik itu penghitungan valuasi ekonomi kerusakan karang, kelengkapan dokumen kapal MV Caledonia Sky, dan siapa yang bertanggung jawab penuh di balik insiden yang disayangkan itu.

"Juga akan dicari pihak-pihak yang terlibat dalam penanganan hingga kapal tersebut dilepas. Memastikan pemilik/agen kapal serta kelengkapan dokumen kapal," tulis akun twitter resmi Kementerian Kelautan dan Perikanan RI usai rapat koordinasi menindaklanjuti kasus MV Caledonia Sky, Rabu, 15 Maret 2017.

Tim peneliti mendata kerusakan karang yang disebabkan kandasnya Kapal MV Caledonian Sky berbendera Bahama di perairan Raja Ampat, Papua Barat.

FOTO: Tim peneliti mendata kerusakan karang yang disebabkan kandasnya Kapal MV Caledonian Sky berbendera Bahama di perairan Raja Ampat, Papua Barat, Sabtu, 4 Maret 2017.

Dalam rapat koordinasi itu, diketahui tim akan melibatkan Kementerian Koordinator Kemaritiman, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pariwisata dan Kementerian Hukum dan HAM.

Selanjutnya, Ancaman pidana

Yang jelas, bila merujuk ke Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka perusakan sumber daya alam seperti terumbu karang, gambut atau pun hutan dipastikan tindakan kriminal yang memiliki ancaman hukuman pidana penjara.

Atas itu, meski kemudian MV Caledonian Sky membayar ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkannya, ia tetap tak bisa lepas dari jeratan pidana yang diatur sesuai UU di Indonesia.

"(Jadi) Kendati perusahaan asuransi bersedia membayar kerusakan lingkungannya, namun hal itu tidak dapat menghilangkan aspek pidananya," ujar Jekson Simanjuntak, ketua Eco Diver Journalists, dalam siaran persnya.

Lalu, mungkinkah proses hukum terhadap perusak kawasan Raja Ampat ini bisa ditegakkan? Sejauh ini, keinginan itu memang belum bisa dibuktikan sebab masih dalam proses dan baru komitmen.

Yang pasti, kapal MV Caledonian Sky yang berada di bawah naungan perusahaan Noble Caledonia di Inggris ini, mengaku siap mengganti rugi kerusakan terumbu karang.

"Kami bekerja sama dengan ahli lokal yang memahami bagaimana memperbaiki terumbu karang. Kami juga menghargai persahabatan kami di seluruh dunia dengan orang lokal. Dan kami memohon maaf ada dampak (Kapal Caledonia) kepada komunitas lokal," tulis Caledonia dilansir dalam exprees.co.uk.

Hanya memang, jika berkaca pada insiden Minyak Montara yang meledak dan tumpah di Laut Timor, milik sebuah perusahaan Australia pada 2009, faktanya hingga kini penyelesaiannya masih belum tuntas.

Hampir delapan tahun, desakan ganti rugi atas tumpahan 500 ribu liter minyak per hari dan menyebar sejauh puluhan kilometer hingga pesisir pantai Pulau Rote itu belum juga dibayarkan.

Pencemaran minyak di laut

FOTO: Ilustrasi/Tumpahan minyak di laut/globalspillcontrol.wordpress.com

Padahal, saat itu, estimasi kerugian Indonesia senilai Rp22 triliun bahkan telah diserahkan ke Australia untuk ditindaklanjuti pada tahun 2010. Namun demikian, hingga kini di era Presiden Joko Widodo, Montara belum juga selesai.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan bahkan cuma bisa memastikan bahwa masih ada iktikad baik Australia untuk mengganti rugi.

"Dia akan membantu melakukan sesuatu bagi orang di daerah tercemar di bagian timur Indonesia terutama Montara," kata Luhut yang baru usai berdiskusi dengan Perdana Menteri Australia Julie Bishop pada Senin, 6 Maret 2017. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya