Waspada Modus Baru Penculik Incar Anak-anak

Ilustrasi remaja
Sumber :
  • Pixabay/ wokandapix

VIVA.co.id – Orang tua kembali diminta meningkatkan kewaspadaan dalam mendidik dan mengawasi anak. Sebab, di era milenial sekarang ini, anak tak hanya memiliki teman di sekolah maupun di lingkungan rumah, tetapi juga berteman di media sosial.

Diduga Sakit Jiwa, Bule Amerika di Bali Nekat Culik Bocil Perempuan

Hal itulah yang tak bisa sepenuhnya dipantau oleh keluarga. Berteman di media sosial tak disalahkan, tetapi jika tidak dibekali dengan pengetahuan yang luas, maka bisa keluar dari alam bawah sadar.

Banyak contoh yang terjadi belakangan ini, di mana anak diculik oleh orang tak dikenal lantaran berkenalan di media sosial. Biasanya, penculik anak mengincar korban yang lemah atau mudah untuk dirayu sehingga mau menuruti apa yang mereka inginkan. Kasus tersebut bukan hanya sekali terjadi, bahkan sudah berkali-kali dan pelakunya sudah banyak yang ditangkap polisi.

6 Tahun Hilang, Bocah Ini Ditemukan di Negara Lain

Komisi Nasional Perlindungan Anak mendata, sejak tahun 2014 hingga 2017, kasus penculikan anak terus meningkat. Latar belakang penculikan diklasifikasikan menjadi lima. Diculik untuk diadopsi secara ilegal, untuk balas dendam atau meminta tebusan, dipekerjakan secara paksa menjadi anak jalanan, pembantu rumah tangga dan pengemis, untuk eksploitasi seks komersial dan tidak menutup kemungkinan juga untuk penjualan organ tubuh.

Pada tahun 2014, data kasus penculikan anak yang masuk ke Komnas Anak sebanyak 51 Kasus. Dari kasus tersebut, enam di antaranya merupakan penculikan bayi. Sementara itu tahun 2015 ada 87 kasus, 21 di antaranya adopsi ilegal, 25 kasus dipekerjakan secara paksa, 24 kasus seks komersial dan 17 kasus balas denam atau tebusan.

Attila Syach Lapor Polisi Atas Penculikan Anaknya, Curiga Ada Campur Tangan Mantan Istri

Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mengungkapkan pada tahun 2016 jumlah kasus penculikan anak naik menjadi 112 kasus. Dengan perincian adopsi ilegal sebanyak 32 kasus, dipekerjakan secara paksa 27 kasus, seksual komersial 24 kasus, dan balas dendam atau meminta tebusan sebanyak 29 kasus.

"Untuk tahun 2017, yang dihitung sampai bulan Januari hingga Maret terdapat 23 kasus penculikan. Latar belakangnya yaitu, adopsi ilegal 6 kasus, dipekerjakan secara paksa 9 kasus, seksual komersial 4 kasus, dan balas dendam atau minta tebusan sebanyak 4 kasus," ujar Arist di kantornya, Jumat.

Arist mengungkapkan, selain kasus-kasus tersebut, modus penculikan saat ini juga terbilang baru. Para pelaku mengamati situasi agar mudah masuk dalam lingkungan anak-anak.

"Sekarang sudah tidak ada lagi penculik menggunakan motor langsung ambil anak, atau memasukkan ke dalam mobil. Tidak seperti itu. Sekarang sudah banyak macamnya," kata Arist.

Dia mengungkapkan, cara penculikan anak yang sedang marak saat ini yaitu dengan berpura-pura menjadi orang gila. Untuk mengelabui orang di sekitar lingkungan, para pelaku kerap berpura-pura menjadi orang gila. Jika nanti upaya menculiknya gagal dan tercium oleh orang lain, ia dapat berpura-pura gila untuk meloloskan diri dari jerat hukum.

"Selain itu, ada juga para penculik yang sengaja berpura-pura sebagai pengemis. Seperti yang terjadi di Surabaya," kata Arist

Ada juga cara yang dilakukan para penculik dengan mengaku sebagai suruhan orang tua atau keluarga terdekatnya. "Bisa saja pelaku penculik mengaku disuruh oleh ayah atau ibu si anak untuk menjemput dan mengantar anak. Itu bisa terjadi," lanjut dia.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat dari Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono, melontarkan hal senada. Menurut dia, biasanya pelaku tawarkan iming iming atau mengaku kenal dengan teman dan keluarga korban. “Jadi kalau ada tipu rayu, tolong diwaspadai. Terutama orang tak dikenal, jangan langsung percaya,” kata Argo.

Cara berikutnya yang kerap digunakan oleh para pelaku penculikan, lanjut Arist, yakni dengan menyamar sebagai pedagang keliling. Seperti pedagang jajanan anak atau pedagang kebutuhan rumah tangga.

"Ini tentu perlu kewaspadaan dari para orang tua agar jangan sampai lepas kontrol terhadap anak," ujarnya.

Namun, menurut Argo, modus ini terlalu berisiko bagi pelaku. Walaupun bisa saja itu terjadi, cara itu bisa dibilang sulit dilakukan.

“Kan kalau jual makanan, banyak orang. Nggak lah kalau jualan di sekolah, karena lingkungan sekitar kenal, termasuk guru. Jadi lebih karena orang sekitar yang mengiming-imingi [korban],” kata Argo.

Selanjutnya...Tips Hindari Penculik

Tips Hindari Penculik

Sebagai aparat hukum, Argo meminta kewaspadaan masyarakat terhadap orang yang tidak dikenal di lingkungan mereka. Kewaspadaan patut dilakukan orang tua atas anak-anak mereka yang masih kecil.

“Awasi anak anaknya, baik yang masih sekolah maupun tidak sekolah. Dipantau. Kita ada gadget dan bisa pantau kalau mereka pergi. Jadi kita tahu perginya ke mana dan pulang jam berapa,” kata Argo.

Sebagai pemerhati, Arist menambahkan bahwa orang tua diharapkan mampu menjaga anaknya agar terhindar dari penculikan. Arist membagi beberapa tips untuk orang tua. Sebagai langkah awal, pertama, tanamkan sikap waspada sejak usia dini kepada anak-anak.

"Ajak anak untuk skeptis dan kritis terhadap orang lain. Beri pemahaman kepada anak bahwa bahaya bisa saja terjadi di lingkungan sekitarnya," kata Arist.

Selain itu, anak juga harus diajarkan untuk menghafal identitas diri. Seperti nama panjangnya, nama lengkap ayah ibu, hingga alamat rumahnya. Selain itu, ajarkan juga kepada anak agar dapat menghafal nomor telepon rumah, nomor telepon keluarga, dan juga anggota keluarga lainnya.

"Orang tua juga harus berani mengatakan 'tidak' pada pemberian, ajakan, atau bujuk rayu orang lain yang tak ia kenali," ujar Arist.

Menurut Arist, anak juga perlu diajarkan agar tidak langsung percaya kepada orang yang tak dikenal, yang mengaku suruhan ayah, ibu, atau keluarga lainnya. 

"Dalam lingkungan sekolah, ajarkan anak untuk selalu berangkat dan pulang bersama teman-temannya, jangan sampai sendirian," ujar Arist.

Orang tua juga diharapkan dapat membekali anak jika dalam kondisi darurat atau di bawah ancaman penculikan. "Anak harus diajarkan berteriak, menggigit, menendang, berlari sambil meminta pertolongan dalam keadaan bahaya," kata Arist.

Orang tua juga harus sebisa mungkin mendampingi anak ke mana pun pergi. Jika memang tidak bisa, orang tua harus melimpahkan tugas itu kepada orang-orang yang benar-benar dipercaya, dengan tetap meningkatkan kewaspadaan.

Selain itu, orang tua juga harus mengajarkan keterbukaan kepada anak. Ajak anak untuk dapat menceritakan bagaimana lingkungan sekolahnya, atau pun bagaimana kondisi tempat ia bermain. 

Orang tua juga harus menjalin komunikasi dengan tempat sekolah anak. Hal ini untuk menghindari penculik menjalankan aksinya dengan berpura-pura menjemput anak.

"Jangan biarkan anak-anak lepas dari kontrol orang tua. Itu yang paling penting," ujarnya.

Terakhir, orang tua diharuskan untuk selalu waspada dan mengawasi orang-orang yang berasa di sekeliling anak. Seperti pedagang keliling, pengemis atau orang lainnya yang tak dikenal.

"Jika menemukan orang yang dianggap mencurigakan, segera laporkan ke otoritas yang berwajib, seperti kepolisian, RT, RW atau lainnya. Jangan main hakim sendiri," ujar Arist. 

Selanjutnya...Maraknya Hoax Penculikan

Maraknya Hoax Penculikan

Waspada boleh, namun jangan langsung berprasangka buruk, apalagi sampai main hakim sendiri. Apalagi sampai menghilangkan nyawa orang lain hanya karena disangka “penculik” - apalagi berdasarkan kabar kaleng lewat media sosial yang diragukan kebenarannya, alias hoax.

Nasib naas itulah yang menimpa seorang pria berpakaian compang-camping tanpa identitas di Kota Cilegon, Banten, yang meregang nyawa setelah dihakimi massa, pada Sabtu, 18 Maret 2017. Massa menghakimi pria nahas tersebut setelah muncul informasi di media sosial, yang belum diketahui kebenarannya. Isu yang berkembang dalam pesan berantai di media sosial terjadi penculikan anak oleh orang gila dan pengemis.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Rikwanto, mengimbau masyarakat untuk tidak mudah terpancing emosi menanggapi adanya pesan berantai penculikan anak yang diduga dilakukan orang gila atau pengemis. Imbauan ini karena marak terjadi aksi pemukulan terhadap orang yang digambarkan mengalami gangguan kejiwaan di beberapa daerah.

"Kita cerdas saja dalam membaca fenomena berita di medsos, jangan sampai terpancing," kata Rikwanto beberapa waktu lalu.

Dia menegaskan, terkait kasus ini, polri akan tetap serius mengawasi jejaring media sosial yang ada pesan berantai sehingga menyebabkan tindakan penganiyaan. "Mana kira-kira yang mengundang permasalahan di masyarakat, kita antisipasi," lanjut mantan Kabid Humas Polda Metro Jaya itu.

Rikwanto menambahkan, kepolisian akan menindak tegas jika ada tindakan perilaku pemukulan atau penganiyaan terhadap orang gila yang dituduh menculik anak kecil.

"Kalau orang tanpa sebab ya penganiayaan walaupun itu orang gila," katanya.

Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Kombes Martinus Sitompul menambahkan, jika pesan berantai benar maka sebaiknya melaporkan kepada pihak yang berwenang. Namun, jika informasi itu tak benar, maka jangan memposting di jejaring media sosial yang berpotensi menjadi kegaduhan berujung anarki massa.

"Informasi yang disebar secara masif bisa membentuk persepsi publik yang berakibat kepada persepsi sebuah kebenaran, yang akhirnya kita mengikuti kebenaran itu dan melakukan tindakan main hakim sendiri," katanya.

Martinus mengakui adanya aksi pemukulan terhadap orang yang dianggap mengalami gangguan jiwa karena ada pesan berantai hoax. Peristiwa pemukulan ini terjadi di beberapa tempat seperti Surabaya, Madura, Bandung. Karena itu, Martinus berharap kepada semua lapisan masyarakat agar tak melakukan tindakan main hakim sendiri.

"Penting menjaga ketertiban di sekitaran wilayah kita. Jangan main hakim sendiri dan berakibat ke diri kita sendiri," ujarnya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya