Para Disabilitas di Balik Sukses NASA

Relawan tuna rungu menjalani eksperimen antariksa NASA
Sumber :
  • www.space.com/U.S. Navy/Gallaudet University collection

VIVA.co.id – Dalam jagat eksplorasi antariksa, nama Badan Antariksa Amerika Serikat atau NASA, sudah menjadi nama yang populer. NASA menjadi badan yang bisa dibilang salah satu yang terdepan dalam melancarkan misi luar angkasa mereka. 

7 Fakta Sains Menakjubkan di Dunia yang Belum Banyak Terungkap

Setelah Uni Soviet berakhir, praktis NASA melenggang dalam misi-misi antariksa. Prestasi NASA juga sudah berderet-deret, mulai dari keberhasilan pendaratan fenomenal astronaut di Bulan pada 1960-an hingga menjejak kehidupan antariksa lainnya. 

Tak dinyana, di belakang kesuksesan misi NASA tak lepas dari kontribusi karyawan dan orang-orang yang terlibat dalam riset dan pengembangan di badan luar angkasa tersebut.

Bisa Dihuni Manusia, Ini 10 Fakta Stasiun Luar Angkasa ISS

Di balik NASA, ada sejumlah peran unik, orang yang bekerja di badan pemerintah AS itu tak hanya urusan pekerjaan yang rumit dan detail. Ternyata di balik misi sukses pengiriman awak NASA ke antariksa, ada peran relawan tuna rungu. 

Selain itu, ada karyawan NASA yang tugasnya unik dan sepele. Tugasnya mengendus bau semua barang yang akan dibawa wahana antariksa. 

Stasiun Luar Angkasa AS-Rusia Masuk Dalam Ketegangan Geopolitik

Selanjutnya, Relawan Tunarungu

Relawan Tunarungu

Pada masa awal menyiapkan program pengiriman awak ke antariksa, NASA melibatkan 11 tunarungu untuk menjalankan eksperimen reaksi tubuh pada lingkungan gravitasi nol. 

Dikutip dari Space, Jumat 12 Mei 2017, NASA merekrut 11 tunarungu pada akhir 1950-an untuk mempelajari efek jangka panjang keadaan tak berbobot pada tubuh manusia sebelum pengiriman awak ke antariksa. Ada 11 relawan tunarungu yang dinamakan Gallaudet 11, semuanya berasal dari Gallaudet Colloge, Amerika Serikat. 

Relawan Gallaudet 11 tersebut, yaitu Harold Domich, Robert Greenmun, Barron Gulak, Raymond Harper, Jerald Jordan, Harry Larson, David Myers, Donald Peterson, Raymond Piper, Alvin Steele, dan John Zakutney.

NASA menjelaskan, 11 relawan yang mengalami masalah telinga bagian dalam itu tak mengalami efek buruk mabuk perjalanan. Dengan demikian, mereka dianggap relawan yang cocok untuk eksperimen tersebut. 

"Selama satu dekade berbagai eksperimen, peneliti mengukur reaksi relawan tunarungu dan melaporkan secara rinci sensasi dan perubahan persepsi mereka," ujar NASA dalam pernyataannya. 

Selama 1958 hingga 1968, 11 relawan itu menjalani eksperimen keadaan tanpa bobot, keseimbangan dan gerakan tertentu yang membantu NASA memahami dengan lebih baik, serta bagaimana respons tubuh manusia atas lingkungan gravitasi asing.

Pada salah satu percobaan, empat relawan menghabiskan 12 hari berturut-turut di dalam ruang rotasi lambat untuk menguji efek perubahan gravitasi pada tubuh. Eksperimen lainnya, relawan masuk dalam simulasi penerbangan gravitasi nol dan naik kapal feri di atas laut berombak. 

"Percobaan ini, membantu memperbaiki pemahaman bagaimana sistem sensor tubuh relawan merespons lingkungan dalam keadaan fungsi telinga dalam tak tersedia," ujar NASA. 

Tak terbayangkan bagaimana nasib program antariksa NASA tanpa kontribusi tujuh tunarungu tersebut. 

Tujuh relawan tuna rungu dalam eksperimen NASA

Tujuh relawan tunarungu sedang menjalankan eksperimen NASA

Selanjutnya, Mengendus Bau

Mengendus Bau

Tak pernah terbayangkan serumit apa pekerja di NASA. Bekerja dengan bidang yang terkait ruang angkasa, terbayangkan para pekerja melakukan tugas yang sulit dan keras.

Namun, nyatanya di NASA, melansir Gizmodo, terdapat satu pekerja di laboratorium NASA yang unik. NASA mempekerjakan seseorang yang khusus menciumi bau semua barang dan segala hal yang akan dibawa dalam pesawat menuju ke ruang angkasa. 

Pekerja tersebut adalah George Aldrich. Ia tiap hari datang ke laboratorium untuk mengendus.

Uniknya, Aldrich sudah menjalankan pekerjaan menciumi bau barang itu dalam empat dekade. Ia sudah biasa menciumi bau topi, plastik, logam, kaca, dan lainnya. 

Penciuman Aldrich dimanfaatkan NASA untuk menjadi penyaring bau. Untuk diketahui dalam laboratorium NASA tidaklah sebebas ruangan biasa yang mampu mendeteksi bau. 

Untuk itu, penciuman Aldrich dimanfaatkan badan antariksa AS itu. Setiap hari ia bekerja pada fasilitas White Sands Test Lydron B. Johnson Space Center di New Mexico, Amerika Serikat.
 
Tempat ini merupakan fasilitas uji coba mesin roket dan pusat pengujian dan evaluasi materi berbahaya, komponen yang akan diterbangkan ke ruang angkasa. 

"Semua materi yang masuk ke NASA harus diuji coba, sebelum masuk ke ruang angkasa," ujar Aldrich dalam keterangan video.

Disebutkan, Aldrich mampu mengendus lebih dari 10 ribu jenis bau yang berbeda. Tak heran jika setiap hari, ia bekerja dengan mengendus topi, plastik, buku, jam tangan, logam, dan lainnya. 

Tentang pentingnya penciuman atas berbagai barang, Aldrich mengatakan, upaya itu agar memastikan keselamatan astronaut di ruang angkasa, misalnya dari potensi materi racun, menyebabkan sakit atau dan kemungkinan lainnya. 

Susana Harper, manajer proyek White Sands test Facility mengatakan, penciuman itu memang sengaja dilakukan di Bumi, sebab kondisi di ruang angkasa sangat berbeda dengan kondisi di Bumi. Saat berada di Stasiun Antariksa Internasional, para astronaut tak leluasa, bahkan untuk mendapatkan udara dari luar stasiun saja tak diperbolehkan.

Pegawai tunanetra

Selain melibatkan relawan tunarungu, NASA memiliki karyawan tunanetra. Dia adalah Courtney Ritz, yang mengalami kebutaan sejak usia belia, lima tahun. 

Dikutip dari situs NASA, usai kelahiran, Ritz didiagnosis menderita retinoblastoma, suatu bentuk kanker mata yang menyebabkan dia seperti cacat genetik. 

Setelah menjalani segala perawatan dan kemoterapi bahkan pengangkatan kanker, Ritz harus menerima kenyataan dia kehilangan indra penglihatannya sejak usia belia itu. 

Mengalami buta, tak membuat semangat hidupnya surut. Ritz menjalani kehidupan, bersekolah sampai kuliah lulus dari Mississippi State University, AS dengan gelar sarjana administrasi bisnis sistem informasi pada 2001. 

Pada musim semi 2001, saat NASA membutuhkan lulusan teknik, Ritz memberanikan diri bertanya apakah NASA juga menerima lulusan bisnis. Ternyata NASA terbuka dengan jurusan itu, tak sebatas urusan teknik. NASA membuka lebar kondisi karyawannya, termasuk kondisi disabilitas. 

Beberapa hari kemudian, dia dihubungi perwakilan NASA dan memberitahu telah diterima untuk magang di NASA. Setahun kemudian, Ritz menjadi pegawai penuh di Goddard Space Flight Flight Centre.

Pada fasilitas itu, Ritz bertugas sebagai koordinator Aksesibilitas Web. Mengingat dia sebagai penyandang disabilitas, Ritz secara aktif mempromosikan kesadaran aksesibilitas komunitas layanan IT Goddard. Ritz memastikan produk dan layanan IT NASA bisa diakses para penyandang disabilitas. 

Tugas Ritz secara tidak langsung menjalankan amanah poin 508 dalam Undang Undang Rehabilitasi. Aturan ini mewajibkan teknologi elektronik dan informasi badan federal AS bisa diakses pengguna baik karyawan maupun masyarakat. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya