Provokasi 'Perang Nuklir' Korea utara

Kim Jong-un, pemimpin Korea Utara
Sumber :
  • REUTERS/KCNA

VIVA.co.id – Korea Utara kembali menguji coba senjata mutakhirnya, peluru kendali balistik. Tak tanggung-tanggung, kali ini sengaja diarahkan ke arah wilayah Jerman, negara yang sedang menjadi lokasi konferensi tingkat tinggi atau KTT Negara G-20.

Kim Jong-un Hilang Jelang Parade Militer Massal Korea Utara

Dikutip dari Reuters, 4 Juli 2017 peluru kendali tersebut terbang awalnya sekitar 40 menit dan sempat mendarat di zona ekonomi eksklusif Jepang. Sebagai respons, Jepang melakukan protes dan menilai bahwa tindakan Korut jelas melanggar aturan senjata yang ditetapkan PBB.

Misil tersebut terbang dengan jarak 930 Kilometer. Sementara ketinggiannya disebut pihak Korut masih dalam tahap analisis. Sementara soal protes Jepang dari Perdana Menteri Shinzo Abe juga diabaikan pihak Korut. Abe sebelumnya meminta agar dua negara utama yaitu Amerika Serikat dan Rusia lebih aktif dalam melakukan langkah konstruktif untuk menyetop program senjata Korut yang agresif.

Meradang Dengar Misi Kim-Jong un, Militer Korsel Bikin Pasukan Anti-Nuklir Korea Utara

Salah satu proses peluncuran rudal milik Korea Utara.

Pada Kamis 8 Juni 2017 lalu, Korut juga menembakkan beberapa rudal dengan banyak proyektil dari darat ke kapal di wilayah Pantai Timur Korea Utara. Uji coba rudal ini adalah edisi terbaru dari serangkaian tindakan agresif yang dilakukan negara yang dipimpin Kim Jong-un.

Korsel Membalas, Rudal Kendali Udara Teror Situs Nuklir Korea Utara

Rudal yang diluncurkan dari kota pesisir Wonsan, Korea Utara itu terbang sekitar 200 kilometer (124 mil) dari lokasi penembakan. Peluncuran rudal antikapal ini merupakan bagian dari pengembangan rudal Korut untuk menyerang kapal musuh.

Korut juga sebelumnya pernah menembakkan sebuah proyektil yang diyakini sebagai rudal balistik ke arah Jepang. Proyektil tersebut diluncurkan dari wilayah Wonsan, pantai timur Korea Utara, dan mengarah ke timur. Menurut sumber dari Korsel, proyektil tersebut diyakini sebagai rudal tipe Scud, yang menempuh jarak sekitar 280 mil sebelum mendarat di Laut Timur.

Salah satu menteri Jepang pun telah mengonfirmasi bahwa rudal tersebut diduga telah mendarat di perairan jepang. Namun dikatakan bahwa tidak ada kerusakan yang terjadi.

"Jepang sama sekali tidak dapat mentolerir tindakan provokatif Korea Utara yang berulang. Kami telah memprotes keras tindakan ini kepada Korea Utara dan mengutuk hal tersebut," kata Sekretaris Kabinet Jepang, Yoshihide Suga, yang dikutip Independent, Senin, 29 Mei 2017 silam.

Menurutnya, peluncuran rudal balistik oleh Korea Utara sangat mengganggu, baik itu dari perspektif lalu lintas pengiriman maupun keamanan laut, dan merupakan pelanggaran terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB.

Korut  telah melakukan uji coba sejumlah rudal dalam beberapa pekan terakhir. Peluncuran terbaru dilakukan pada 21 Mei lalu, ketika sebuah roket mendarat di laut lepas pantai timur Korut. Korut juga baru-baru ini memulai produksi rudal balistik jarak menengah berskala besar, yang mampu mencapai daratan Jepang dan pangkalan militer utama Amerika Serikat (AS).

Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengatakan dalam sambutannya di Tahun Baru bahwa negara itu dalam waktu dekat akan melakukan tes meluncurkan rudal balistik antar benua dan media pemerintah mengatakan peluncuran bisa datang setiap saat.

Seperti diketahui dalam beberapa waktu terakhir, Korut tengah mengembangkan rudal nuklir yang mampu menjangkau AS, yang berjarak sekitar 8.000 km dari Pyongyang. Rudal balistik terbaru, yang diberi nama Hwasong-12, ditembakkan melalui sudut tertinggi dan terbang sejauh 787 km setelah mencapai ketinggian 2.111 km.

Dunia gusar

Presiden Amerika Serikat Donald Trump kemudian menanggapi hal tersebut melalui akun Twitter-nya,  "Korea Utara telah meluncurkan misilnya yang baru. Saya bertanya-tanya apa orang ini enggak punya kerjaan lain dalam hidupnya," kata Trump.

Bahkan Trump mengaku kesabarannya sudah habis melihat Korea Utara. Menurutnya, waktu yang diberikan untuk dialog dengan negara pimpinan Kim Jong-un itu, sia-sia. Hal itu disampaikan Trump saat bertemu dengan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in di Gedung Putih, sebagaimana dilansir BBC. "Terus terang, kesabaran kami sudah habis," kata Trump, beberapa waktu lalu.

Dia mengatakan bahwa Amerika dan sekutunya harus segera mengambil sikap. Sementara Korut harus siap dengan konsekuensi tindakannya selama ini termasuk dalam hal pengayaan nuklir dan agresivitas perlombaan senjata. "Kita bersama-sama menghadapi ancaman dari rezim yang brutal dan serampangan," kata Trump lagi.

Berbeda dengan Trump, Presiden Korsel justru menyampaikan dengan diplomatis bahwa masih diperlukan dialog dengan Korea Utara yang selama ini berkonflik dengan negaranya. Dialog dengan Korea Utara kata dia tetap akan menjadi prioritas.

"Korea Utara meluncurkan beberapa proyektil yang tampak seperti rudal jelajah antikapal jarak pendek hari ini di lepas pantai timur di wilayah Wonsan," kata pejabat Kantor Staf Gabungan Korsel sebagaimana dilansir Reuters, Kamis 8 Juni 2017.

Beberapa waktu lalu, pengamat dunia menilai, tindakan agresif Korut ini menjadi sebuah sinyal yang sangat mengkhawatirkan bagi kestabilan Semenanjung Korea dan AS. Negara tertutup tersebut mengumumkan bahwa peluncuran rudal, yang diawasi langsung oleh pemimpin Korut Kim Jong-un tersebut, ditujukan untuk membuktikan kemampuan hulu ledak nuklir skala besar.

Bahkan, Washington belakangan memang memerintahkan kapal induk USS Carl Vinson untuk berlayar ke perairan Semenanjung Korea sebagai tanggapan atas meningkatnya kekhawatiran akan uji coba nuklir dan rudal yang akan dilakukan Korea Utara. Pyongyang juga mengancam akan menyerang Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di Asia. Demikian seperti dilansir Reuters, Senin 24 April 2017.

Pemerintah AS sendiri hingga kini belum menentukan lokasi di mana kapal akan 'standby' saat mendekati daerah tersebut. Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence mengatakan pada hari Sabtu, pihaknya akan tiba dalam beberapa hari, namun tidak memberikan rincian lebih lanjut.

Padahal Korut juga mengancam Australia dengan rencana serangan bom nuklir apabila Canberra mengikuti jejak AS memusuhi Pyongyang. Ancaman serangan nuklir disampaikan pada Sabtu 22 April 2017 lalu.

Kantor berita negara Korut KCNA mempublikasi ancaman itu yang disampaikan Kementerian Luar Negeri Korut, di mana mereka mengecam Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop karena dianggap sudah mengeluarkan serangkaian pernyataan buruk terhadap Korea Utara.

”Jika Australia terus mengikuti langkah AS untuk mengisolasi, menahan DPRK dan tetap menjadi brigade kejut dari tuan rumah AS, ini akan menjadi tindakan bunuh diri untuk berada dalam jangkauan serangan nuklir pasukan strategis DPRK,” sebut KCNA mengutip Kementerian Luar Negeri Korut. 

Ancaman mengerikan Pyongyang terhadap Canberra ini muncul saat Wakil Presiden AS Michael Richard "Mike" Pence berkunjung ke Australia. Seperti diketahui, Australia merupakan salah satu sekutu utama Washington.

Sanksi tegas

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK-PBB) mengecam peluncuran rudal Korut. PBB mendesak negara anggota untuk mempertegas upaya penegakan sanksi terhadap negara komunis tersebut. 

"Anggota Dewan Keamanan PBB menyesalkan semua kegiatan rudal balistik Korea Utara, termasuk peluncuran ini. DK-PBB menyerukan semua negara anggota untuk melipatgandakan aksi tegas atas ancaman rudal ini," tulis pernyataan Dewan Keamanan, seperti dilansir Reuters, Selasa, 14 Februari 2017 lalu.

Meski demikian, DK-PBB tidak menyebutkan secara jelas resolusi mana yang telah dilanggar dan langkah apa yang mungkin telah dilanggar oleh Korut, yang telah melakukan serangkaian uji coba nuklirnya sejak 2006.

Sementara itu, sebagai salah satu negara yang menyerukan pertemuan darurat DK-PBB, Jepang mengaku senang dengan tekad DK-PBB dalam membahas peluncuran rudal terbaru Korut.

"Ada kesamaan suara dalam mengutuk peluncuran dan keprihatinan yang sama dalam situasi ini. Jelas kami harus menjalankan resolusi yang kuat, yang telah kami miliki. Ini adalah titik awal," ujar Duta Besar Jepang untuk PBB, Koro Bessho.

Bagi Korut, setiap sanksi terhadap rudal maupun program nuklir negaranya merupakan suatu pelanggaran kedaulatan dan hak untuk membela diri. Korut dan Korsel secara teknis masih berada di bawah status perang, karena konflik yang terjadi pada 1950-1952. Hanya berakhir dengan gencatan senjata, dan bukan dengan perjanjian damai. Hingga kini, Pyongyang kerap mengancam Korsel dan sekutu utamanya, Amerika Serikat.

Sementara itu Pemerintah AS punya berkomitmen memperkuat sekutu dan pengamanannya di kawasan Pasifik, untuk menghadapi setiap tindakan bermusuhan dari Korut. "Pesannya adalah kita akan memperkuat aliansi penting kami di kawasan Pasifik, sebagai strategi untuk mencegah meningkatnya permusuhan rezim Korea Utara dalam beberapa tahun terakhir," kata penasihat Gedung Putih, Stephen Miller, dilansir Reuters, Senin 13 Februari 2017.

Keberhasilan uji coba rudal Musudan membuat Kim Jong-un jemawa bisa kalahkan AS.

Duta Besar AS untuk PBB Nicky Haley mengatakan, jika terpaksa, pemerintahnya siap menggunakan kekuatan militer besar-besaran. Pernyataan tersebut ia sampaikan di hadapan anggota DK PBB. Menurut Nikki, uji rudal balistik antarbenua yang dilakukan Korut pada Selasa, 4 Juli 2017, telah menutup kemungkinan solusi diplomatik. "Amerika bersiap menggunakan kemampuan penuh untuk mempertahankan diri dan sekutu kami," ujar Nikki, seperti diberitakan oleh BBC, 6 Juli 2017.

"Salah satu kemampuan kami terletak pada kekuatan militer yang besar. Kami akan menggunakannya, jika kami terpaksa. Namun sejauh ini kami memilih untuk tidak menuju ke arah itu," ujarnya menegaskan. Nikki  menilai uji rudal Korut menandai eskalasi militer yang terus meninggi. Sebagai respons atas uji coba tersebut AS akan mengajukan resolusi baru terhadap Pyongyang. Selain itu, AS juga mengancam Korut dengan sanksi perdagangan.

Pernyataan Nikki mengundang komentar dari perwakilan negara lain. Duta Besar Prancis mengatakan negaranya mendukung resolusi baru terhadap Korut. Perwakilan Rusia juga mengecam uji rudal Korut, namun mereka meminta kemungkinan menggunakan langkah militer terhadap Pyongyang "harus dikesampingkan."

Delegasi China mengatakan tak bisa menerima aksi Korut, namun Cina dan Rusia menyeru pada AS untuk membatalkan rencana menggelar sistem antirudal di Korea Selatan dan melaksanakan latihan militer gabungan dekat Korut.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya