Nasib Setya Novanto Setelah Tersangka

Ketua DPR, Setya Novanto.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVA.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan nama tersangka baru dugaan kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP, pada Senin, 17 Juli 2017. Kali ini, nama yang diumumkan KPK berbeda karena statusnya sebagai pimpinan tertinggi DPR yaitu Setya Novanto.

Setya Novanto Acungkan 2 Jari Saat Nyoblos di Lapas Sukamiskin

Novanto ditetapkan sebagai tersangka baru e-KTP berdasarkan hasil gelar perkara yang sudah dilakukan penyidik KPK. Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan penetapan tersangka sudah dilakukan dengan bukti permulaan yang cukup. Mantan Ketua Fraksi Golkar di DPR itu diduga menguntungkan diri sendiri atau korporasi.

"Setelah mencermati fakta persidangan terdakwa Irman dan Sugiharto berkaitan dengan e-KTP tahun 2011-2012, KPK menemukan bukti permulaan bukti yang cukup untuk menetapkan seorang tersangka. Menetapkan saudara SN selaku anggota DPR RI sebagai 2011-2013," kata Agus di kantornya, Jl Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin 17 Juli 2017.

Polisi Didesak Segera Usut Pernyataan Agus Rahardjo Soal Jokowi Stop Kasus e-KTP

Nama Novanto juga beberapa kali disebut dalam persidangan e-KTP di pengadilan Tipikor Jakarta. Pertama kali nama Novanto disebut dalam pembacaan dakwaan terhadap dua terdakwa yang merupakan mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, 9 Maret 2017.

Dalam dakwaan, Jaksa menyebut, sebanyak 49 persen atau Rp2,5 triliun uang e-KTP dibagi-bagikan kepada pejabat Kemendagri, anggota Komisi II DPR, Badan Anggaran DPR, sampai pimpinan Fraksi. Diduga, Novanto bersama pengusaha yang juga tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong menerima jatah sebesar 11 persen atau Rp574 miliar.

Respon Jokowi Usai Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo Dilaporkan ke Bareskrim Polri

Ditetapkan sebagai tersangka korupsi, Novanto menghormati langkah KPK. Namun, ia menegaskan tuduhan terhadapnya terkait penerimaan fee e-KTP Rp574 miliar bersama Andi Narogong tak benar.

Tudingan terlibat megakorupsi e-KTP dengan mendapat jatah Rp574 miliar menurut Novanto bentuk kezaliman. Ia meminta awak media bisa obyektif dalam menyajikan berita terkait tudingan penerimaan aliran dana e-KTP.

"Saya sebagai manusia biasa. Yang saya lihat disebut terima Rp574 miliar mohon disebutkan saya tidak menerima. Uang Rp574 miliar itu banyak, bagaimana wujudnya, transfernya. Ini kezaliman kepada saya," ujar Novanto di Gedung Nusantara III, komplek parlemen Senayan, Selasa 18 Juli 2017.

Perkara dugaan korupsi e-KTP memang bukan kasus biasa. Selain dugaan kerugian negara yang besar karena mencapai Rp2,3 triliun, terdapat nama-nama besar terseret dalam perkara ini. Ada elite politikus dari sembilan parpol disebut jaksa dalam dakwaan terhadap terdakwa Irman dan Sugiharto. Kemudian, dari swasta dan pihak eksekutif pemerintah.

Baca Juga: Deretan Politikus yang Bantah Nikmati Duit E-KTP

Disebut dalam dakwaan jaksa, para elite ramai-ramai membantahnya. Mulai mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, eks Ketua DPR Marzuki Alie, sampai Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Ada juga Menkumham Yasonna Laoly, mantan Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum, serta Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey.

Selanjutnya, Bagaimana Nasib Politik Novanto?

Nasib Novanto di DPR dan Golkar

Mendapat status tersangka korupsi, spekulasi terkait posisi Setya Novanto terus mencuat. Maklum, menjabat sebagai Ketua DPR dan Ketua Umum Golkar, Novanto bukan orang sembarangan. Apalagi status Golkar yang merupakan salah satu parpol pendukung pemerintah.

Elite Golkar yang menjadi loyalis Novanto langsung pasang badan. Lewat mulut mereka, tak ada pergantian ketua umum melalui musyawarah nasional luar biasa (Munaslub). Internal Golkar diklaim solid mendukung Novanto meski menjadi pesakitan dan terancam tersandera.

Sehari pasca penetapan tersangka Novanto, pengurus Partai Beringin langsung merapatkan barisan dengan menggelar pleno. Ada beberapa hal yang dilakukan Novanto dan Golkar yaitu menyiapkan tim advokasi hukum. Agar masalah ini tak bergejolak, kader Partai Beringin diimbau tetap tenang karena Golkar punya beberapa agenda politik penting ke depan.

"Terlalu cepat kalau misalnya ada kader yang bilang agar Pak Novanto diganti. Tak ada munaslub. Kami tetap satu misi menyiapkan kapal Golkar," kata Ketua Harian Golkar Nurdin Halid, kepada VIVA.co.id, Selasa, 18 Juli 2017.

Suara miring juga datang dari kader Golkar yang meminta Novanto legowo mundur. Saran ini disuarakan agar status Golkar tak tersandera kasus korupsi e-KTP. Posisi Novanto sebagai Ketua Umum Golkar akan membuat elektabilitas partai akan terus menurun jika tak mengundurkan diri.

Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto

Ketua Umum Golkar Setya Novanto saat didampingi Sekjen Golkar Idrus Marham ke KPK.

Kritikan kepada loyalis Novanto disuarakan karena bila pasang badan agar tak menggelar munaslub yang rugi adalah Golkar. Hal ini mengingat Golkar punya beberapa agenda politik ke depan seperti Pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019.

"Baiknya mundur Pak Novanto. Kalau tak mundur ya ada munaslub. Ini supaya Golkar tak tersandera status tersangka Novanto," ujar politisi muda Golkar Ahmad Doli Kurnia kepada VIVA.co.id, Selasa, 18 Juli 2017.

Selain di Golkar, posisi Novanto sebagai Ketua DPR juga menjadi pertanyaan. Namun, pimpinan DPR yang disuarakan Wakil Ketua DPR Fadli Zon menegaskan belum ada pergantian pucuk pimpinan tertinggi. Selain menyesuaikan Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3), kasus yang menjerat Novanto juga belum inkracht atau berkekuatan hukum tetap.

Selama tak ada perubahan dari partai maka Novanto tetap ada di barisan pimpinan DPR.

"Persoalan di pimpinan, sejauh tidak ada perubahan dari partai atau fraksi maka tidak ada perubahan juga mengenai konfigurasi kepemimpinan DPR," kata Fadli di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa, 18 Juli 2017.

Selanjutnya, Posisi Politik Golkar

Posisi Politik Golkar

Peta politik Golkar ikut menjadi pertanyaan pasca Novanto ditetapkan sebagai tersangka. Manuver politik terdekat terkait posisi dukungan Golkar di Pilpres 2019.

Namun, untuk mengubah peta politik dukungan ke Jokowi diprediksi akan sulit. Golkar dinilai akan tetap merapat barisan di pemerintah. Selain mepetnya waktu, Golkar saat ini elektabilitas terus menurun. Waktu dua tahun menuju Pilpres 2019 sulit untuk mendongkrak elektabilitas partai secara signifikan.

Ada masukan baiknya Novanto mundur dan merelakan agar Golkar bisa fokus menuju Pilpres 2019. Kepentingan Golkar ke depan harus menjadi prioritas setiap kader.

"Secara rasional, sulit posisi Novanto. Secara etis, baiknya Novanto mundur karena kita ketahui status tersangka dari KPK ini sulit diubah," ujar pengamat sosial politik Ray Rangkuti kepada VIVA.co.id, Selasa, 18 Juli 2017.

Di sisi lain, penetapan tersangka terhadap Novanto ini mendongkrak kepopuleran KPK. Status Golkar dan Novanto yang merupakan barisan pendukung pemerintah memperlihatkan KPK berani dalam menetapkan putusan. Tapi, konsekuensi penetapan tersangka Novanto, KPK akan menghadapi serangan lain termasuk kemungkinan dari Pansus DPR.

"Ada konsekuensi bagi KPK mungkin di tengah keberanian penetapan terhadap Novanto ini," tutur Ray.

Pembukaan Rapimnas II Partai Golkar

Setya Novanto saat membuka Rapimnas Golkar di Balikpapan, Kalimantan Timur.

Respons Golkar menegaskan tak ada perubahan dalam kebijakan politik dukungan. Partai Beringin tetap memberikan dukungan sepenuhnya tanpa syarat pada pemerintahan Jokowi-JK. Kemudian, tetap memberikan dukungan kepada Jokowi di Pilpres 2019.

"Dan tidak mengubah keputusan rapimnas 2016 yang telah mencalonkan dan mendukung Jokowi pada 2019 mendatang," kata Idrus di gedung DPR, Selasa 18 Juli 2017.

Terkait kebijakan ini, kader Golkar di DPR diminta aktif berkomunikasi dengan fraksi lain untuk memberikan dukungan kepada kebijakan pemerintah. Salah satunya dengan sikap mendukung Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas.

"Untuk memberikan dukungan pada kebijakan pemerintah yang ada. Termasuk Perppu yang dikeluarkan soal ormas," kata Idrus.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya