Putra-putri Indonesia di Balik Efek Visual Film Hollywood

Samuel Simanjuntak (kiri), Faza Sulthon (tengah), Denny Ertanto (kanan)
Sumber :
  • Dok.Ist

VIVA.co.id – Gedung-gedung runtuh dalam sekejap, kota porak-poranda, dan serbuan makhluk-makhluk asing ke bumi membuat kita sebagai penonton film melongo takjub. Kehebatan efek visual dalam film-film Hollywood, sering kali membuat penonton terpukau. Bagaimana bisa semua yang berasal dari komputer itu terlihat sangat nyata di depan mata.

10 Film Terbaik Hollywood yang Rilis Tahun 2023, Ada Favoritmu?

Meski Indonesia belum punya bujet yang cukup besar untuk membuat film dengan efek visual sekeren Hollywood, tetapi jangan salah, karena secara Sumber Daya Manusia, sebenarnya Indonesia tak kalah luar biasa. Di antara begitu banyak para kreatif di bidang efek visual Hollywood, rupanya terdapat sejumlah anak muda Indonesia di sana.

Kepada VIVA.co.id, tiga anak muda Indonesia berikut ini berbagi cerita serunya terlibat di balik proses pengerjaan efek visual film-film Hollywood. Siapa saja mereka? Yuk, ikuti kisah selengkapnya.

Gak Balik Modal, The Flash Cuma Raup Rp800 Milyar di Box Office Global

Samuel Ebijeser Simanjuntak

Pria yang akrab disapa Sam ini merupakan salah satu tim efek visual untuk sederet film blockbuster Hollywood. Beberapa di antaranya ada Wonder Woman, Suicide Squad, X-Men Days of Future Past, Cinderella, Pan, Tarzan, The Martian, dan X-Men Apocalypse. Saat ini, Sam juga sedang terlibat dalam pengerjaan Murder of the Orient Express yang akan dibintangi Johnny Depp.

Intip Serunya Pertarungan Iko Uwais Lawan Jason Statham dalam Trailer EXPEND4BLES

Sam bekerja sebagai seorang environment TD/artist yang bertugas membuat lingkungan digital dengan menggunakan komputer. Ia mencontohkan, salah satu karyanya dalam film Wonder Woman adalah pembuatan pulau dan tebing yang ada pada adegan Gal Gadot berperang melawan tentara Jerman di pantai. Saat syuting, tebing-tebing dan pulau itu sesungguhnya tak ada di pantai asli.

Pria kelahiran Solo ini mengakui, keterlibatannya dalam dunia efek visual bermula dari kesukaannya dengan 3D Computer Graphics. Lulus S1, dia pun pergi ke Vancouver, Kanada, untuk belajar bidang ini lebih dalam. Setelah itu, Sam mulai bekerja di MPC untuk film-film besar, setelah delapan bulan di perusahaan berproyek serial TV sebelumnya.

 

MPC 3ddmp/Environment Xmen Team #vfxartist #xmenapocalypse #mpc

A post shared by Samuel Simanjuntak (@sam_jesser) on

Lebih lanjut, ayah satu anak ini menjelaskan, pengerjaan efek visual dalam satu film memakan proses yang begitu panjang dengan tim yang juga tak sedikit jumlahnya. Karena itu, hampir empat tahun bekerja di industri Hollywood, ia memahami, ketika namanya tak selalu tercatut dalam credit scene yang muncul di akhir film.

"Di beberapa film yang saya kerjakan, ada yang enggak masuk credit di akhir film, contohnya X-Men Days of Future Past, Cinderella, Tarzan, dan Suicide Squad. Tapi itu sudah biasa karena terkadang kalau terlalu banyak vfx (efek visual) artisnya, jadi enggak masuk semua, soalnya klien masukin secara random hehehe," jawab Sam.

Nama Sam namun pernah muncul di akhir film PAN, The Martian, X-Men Apocalypse, dan Wonder Woman. Namun, baginya, momen pertama kali ikut proyek Hollywood masih lebih mengharukan dibanding melihat nama di layar credit.

Berikutnya, Faza Amaly>>>

Faza Amaly Sulthon

Tak kalah membanggakan, sosok satu ini bernama Faza, wanita Indonesia yang juga bekerja di bidang efek visual, tepatnya sebagai compositor. Faza bertugas menggabungkan seluruh elemen menjadi satu dan menambah efek-efek visual, sehingga membuatnya terlihat nyata di mata, misalnya menambah asap, api, batu jatuh, dan sebagainya.

The Finest Hour, X-men: Apocalypse, Pirates of the Caribbean: Dead Men Tell No Tales, Ghost in The Shell, Wonder Woman, The Mummy, dan Jumanji. Jadi, beberapa film yang pernah melibatkannya. Pernah mencicipi rasanya kerja di industri Hollywood, tentunya membuat wanita muda kelahiran Surabaya, tahun 1993, ini bangga.

"Waktu melihat nama saya di credit, saya merasa sangat dihargai dan keren. Aku langsung foto dan share di Facebook, Snapchat, Path. Terus juga, satu keluarga aku suruh nonton filmnya dan nunggu sampai namaku muncul, hehehe," ujarnya bersemangat.

 

This was a real pain in the ass, but finally managed to get it done on time??

A post shared by Faza Amaly S (@fazaas) on

Dengan pengalaman 2,5 tahun yang tak bisa dilupakannya itu, Faza memutuskan kembali ke Indonesia untuk mengejar mimpi awalnya, yakni membuat film sendiri. Kini, dia tengah merintis usaha film animasi bernama Hompimpa di tanah kelahirannya.

"Alhamdulillah saat ini kita (perusahaan yang didirikannya) sudah banyak berkembang. Kita punya karya sendiri, namanya Gob and Friends dan kita juga dapat project mengerjakan film animasi dari luar," tuturnya.

Selanjutnya, Denny Ertanto>>>

Denny Ertanto

Visual effects artist asal Indonesia ini akrab disapa Denny yang bekerja di bagian digital compositor. Dalam prosesnya, Denny menyatukan cuplikan video hasil dari syuting live action dengan Computer Generated Imagery (CGI). Selain itu, dia juga mengganti layar hijau, atau biru greenscreen/bluescreen) dengan latar belakang yang disediakan dari departemen lain.

"Yang diutamakan dari pekerjaan saya adalah memastikan sebuah adegan yang sudah di-edit terlihat nyata dan tidak bisa dibedakan mana asli atau edit-an," terangnya.

Pria kelahiran Jakarta, 1989, ini pernah terlibat dalam War of the Planet of the Apes, Fantastic Beasts and Where to Find Them, A Monster Call, The Martian, Into the Woods, Pan, Cinderella, Hugo, dan lain sebagainya. Denny juga tengah menggarap proyek film lain, namun belum bisa diungkapkannya saat ini.

Mengerjakan film box office Hollywood sejak tahun 2011, membuat Denny punya banyak cerita seru dan menantang, salah satunya pada Fantastic Beasts. Ia dan para rekannya mendapat kesempatan untuk menciptakan konsep beberapa Beast dalam film tersebut.

 

Crew Photo! Happy to be part of this show!

A post shared by Denny Ertanto (@dennyert) on

Tak hanya itu, untuk menciptakan kemiripan dengan aslinya, reference study pun dilakukan. Dengan mengambil latar New York sekitar tahun 1920-an, mereka harus mencari referensi kota New York pada saat itu, mulai dari foto-foto, kondisi udara, jalanan, gedung-gedung, dan lain sebagainya. Namun, tak hanya film spin-off Harry Potter itu saja yang seru, setiap film punya cerita menantang masing-masing.

"Semua film lain sama berkesannya dengan film ini, karena pada akhirnya, kerja keras yang kami kerjakan untuk berberapa detik di setiap adegan bisa dilihat dan dinikmati banyak orang di dunia," tutur Denny mensyukuri pekerjaannya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya